Natal dalam Islam
Sekarang
sedang ribut berita soal ucapan selamat natal dari seorang muslim
kepada umat Kristen yang diharamkan oleh ulama Aceh. Alasannya, perayaan
Natal merupakan ritual keagamaan non-Muslim yang tidak dibenarkan bagi
umat Islam untuk mengikutinya.
"Haram juga ucapan Natal,
jangankan ikut mengucapkan, menyerupai saja dengan yang bukan budaya
Islam sudah haram, apa lagi ikut terlibat dengan mengucapkannya," kata
ketua Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Banda Aceh, Abdul Karim
Syeikh, Sabtu (14/12) saat dihubungi merdeka.com.
Sejak dulu
sebenarnya masalah seperti ini sudah menjadi polemik di tengah
masyarakat Indonesia yang majemuk. Ada sebagian yang menilai haram, ada
juga yang tidak. Nah, untuk memperkaya referensi, ada baiknya anda tahu
bagaimana pendapat Gus Dur soal masalah ini.
Gus Dur pernah
menulis artikel di Koran Suara Pembaruan pada 20 Desember 2003 berjudul:
Harlah, Natal dan Maulid. Menurut Gus Dur , kata Natal yang menurut
arti bahasa sama dengan kata harlah (hari kelahiran), hanya dipakai
untuk Nabi Isa al-Masih belaka. Jadi ia mempunyai arti khusus, lain dari
yang digunakan secara umum -seperti dalam bidang kedokteran ada istilah
perawatan pre-natal yang berarti "perawatan sebelum kelahiran".
Dengan demikian, maksud istilah 'Natal' adalah saat Isa Al-Masih
dilahirkan ke dunia oleh 'perawan suci' Maryam. Karena itulah ia
memiliki arti tersendiri, yaitu saat kelahiran anak manusia bernama
Yesus Kristus untuk menebus dosa manusia.
Sedangkan Maulid, Gus
Dur menjelaskan, adalah saat kelahiran Nabi Muhammad Saw. Pertama kali
dirayakan kaum Muslimin atas perintah Sultan Shalahuddin al-Ayyubi atau
dalam dunia barat dikenal sebagai Saladin, dari Dinasti Mamalik yang
berkebangsaan Kurdi. Tujuannya untuk mengobarkan semangat kaum Muslimin,
agar menang dalam perang Salib (crusade).
Dia memerintahkan
membuat peringatan hari kelahiran Nabi Muhammad, enam abad setelah
Rasulullah wafat. Peristiwa Maulid itu hingga kini masih dirayakan dalam
berbagai bentuk, walaupun Dinasti Sa'ud melarangnya di Saudi Arabia.
Karya-karya tertulis berbahasa Arab banyak ditulis dalam puisi dan prosa
untuk menyambut kelahiran Nabi Muhammad itu.
Dengan demikian,
Gus Dur melanjutkan, dua kata (Natal dan Maulid) mempunyai makna khusus,
dan tidak bisa disamakan. Dalam bahasa teori Hukum Islam (fiqh) kata
Maulid dan Natal adalah "kata yang lebih sempit maksudnya, dari apa yang
diucapkan" (yuqlaqu al'am wa yuradu bihi al-khash). Penyebabnya adalah
asal-usul istilah tersebut dalam sejarah perkembangan manusia yang
beragam. Artinya jelas, Natal dipakai orang-orang Kristiani, sedangkan
maulid dipakai orang-orang Islam.
Menurut Gus Dur , Natal dalam
kitab suci Alquran disebut sebagai "yauma wulida" (hari kelahiran, yang
secara historis oleh para ahli tafsir dijelaskan sebagai hari kelahiran
Nabi Isa, seperti terkutip: "kedamaian atas orang yang dilahirkan (hari
ini)" (salamun yauma wulid) yang dapat dipakaikan pada beliau atau
kepada Nabi Daud. Sebaliknya, firman Allah dalam surat al-Maryam:
"Kedamaian atas diriku pada hari kelahiranku" (al-salamu 'alaiyya yauma
wulidtu), jelas-jelas menunjuk kepada ucapan Nabi Isa.
Bahwa
kemudian Nabi Isa 'dijadikan' Anak Tuhan oleh umat Kristiani, adalah
masalah lain lagi. Artinya, secara tidak langsung Natal memang diakui
oleh kitab suci al-Qur'an, juga sebagai kata penunjuk hari kelahiran
beliau, yang harus dihormati oleh umat Islam juga. Bahwa, hari kelahiran
itu memang harus dirayakan dalam bentuk berbeda, atau dalam bentuk yang
sama tetapi dengan maksud berbeda, adalah hal yang tidak perlu
dipersoalkan.
"Jika penulis ( Gus Dur ) merayakan Natal adalah
penghormatan untuk beliau (Isa) dalam pengertian yang penulis yakini,
sebagai Nabi Allah SWT."
Dengan demikian, Gus Dur melanjutkan,
"menjadi kemerdekaan bagi kaum Muslimin untuk turut menghormati hari
kelahiran Nabi Isa, yang sekarang disebut hari Natal. Mereka bebas
merayakannya atau tidak, karena itu sesuatu yang dibolehkan oleh agama.
Penulis ( Gus Dur ) menghormatinya, kalau perlu dengan turut bersama
kaum Kristiani merayakannya bersama-sama."
Dalam litelatur
fiqih, Gus Dur mengimbuhkan, jika seorang muslim duduk bersama-sama
dengan orang lain yang sedang melaksanakan peribadatan mereka, seorang
Muslim diperkenankan turut serta duduk dengan mereka asalkan ia tidak
turut dalam ritual kebaktian. Namun hal ini masih merupakan ganjalan
bagi kaum muslimin pada umumnya, karena kekhawatiran mereka akan
dianggap turut berkebaktian yang sama.
"Karena itulah, kaum
Muslimin biasanya menunggu di sebuah ruangan, sedangkan ritual kebaktian
dilaksanakan di ruang lain. Jika telah selesai, baru kaum Muslimin
duduk bercampur dengan mereka untuk menghormati kelahiran Isa al-Masih."
sumber:www.merdeka.com diunduh tgl 15-12-2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar