Jumat, 03 April 2015

Surat Impian



Oleh : Hudy Majnun



Kekasihku –di Surga- yang baik, semoga kabarmu sedang baik saat membaca surat ini, dan terus baik setelah kau membaca surat ini.


Saat ini aku membayangkan banyak hal, yang penting dan yang tidak penting. Pada akhirnya, aku memutuskan untuk membuat surat ini, karena bayangan yang lewat adalah, kita saling berbicara via surat, dan bayangan lain yang lewat ketika aku menulis ini adalah kita sedang berada di tempat yang jauh berbeda, dan tak ada teknologi yang membuat kita mudah berkomunikasi. Oleh sebab itu, hanya dengan surat ini kita bisa saling berbagi kabar, berbagi cerita, pikiran, gagasan, dan sebagainya. Sekaligus kita bisa saling belajar menulis walau dengan kata-kata yang begitu rapuh. 


Aku pernah mendengar kata-kata begini “penulis yang baik selalu menyampaikan sesuatu dengan cara seperti orang berbicara, ringan dan menarik”, tapi aku tidak ingat betul mendengarnya dari mana dan siapa, yang jelas itu seperti sebuah motivasi bagiku, untuk terus belajar. Coba saja bayangkan, berapa banyak kita saling berbicara setiap hari, baik via Hp, medsos ataupun ketika bertemu langsung. Kupikir pembicaraan kita –kalau ditulis- bisa melampaui 1000 kata setiap harinya. Ya, betapa mudahnya menciptakan kata-kata, tapi betapa sulit merangkainya menjadi sebuah tulisan. 


Aku ingat pada masa kecilku dulu, ketika tanteku sedang berada di luar negeri. Itu sekitar tahun 2000an awal, dan waktu itu keluargaku masih tidak mengenal tlpn, apalagi Hp. Jadi komunikasi kita lakukan dengan cara saling kirim surat. Kau tau kan, membuat sebuah surat atau tulisan sebanyak satu halaman itu rasanya sangat sulit, apalagi kita kehabisan inspirasi untuk melanjutkan tulisan. Yang menurutku menarik adalah, secara tidak langsung orang dulu sudah belajar untuk menulis, walau itu hanya sebuah curhatan atau cerita biasa mengenai hidupnya. Aku sering membaca surat-surat yang dikirimkan oleh tanteku itu, gaya bahasanya sangat ringan, mudah, dan menarik, seolah tanteku adalah seorang penulis hebat. Ia mampu membuat orang yang membaca suratnya mempunyai gambaran/bayangan yang cukup jelas mengenai apa yang diceritakan, hingga kadang orang yang membaca surat tanteku mengeluarkan air mata, ya, aku kadang ikut menangis juga, walau dulu aku tidak begitu lancar membaca, karena dulu aku masih SD. 


Kadang, ketika keluargaku ingin membalas surat itu, aku juga ikut terlibat membantu pembuatan surat, baik membantu menulis ataupun membantu mengarang dan merangkai kata, walau hanya sedikit. Biasanya, dulu kakak sepupuku yang selalu menulis surat, dia adalah anak tanteku yang masih SMP. Dia begitu pandai menulis surat, apalagi tulisan tangannya sangat bagus. Tapi ia sering kehabisan kata, saat itulah dia selalu memanggilku untuk minta pendapat harus menulis apa. Aku selalu memberinya saran walau hanya beberapa cerita pendek yang bisa disampaikan ke luar negeri. Kami tidak ingin rugi mengirim surat ke luar negeri hanya dengan tulisan sedikit dan kurang bagus, karena biaya kirim surat ke luar negeri cukup mahal. Jadi, keluargaku selalu berusaha menulis begitu banyak, cerita ini dan itu, tapi yang paling dalam adalah masalah kerinduan mereka. Mengenai harapan-harapan ketika tanteku pulang, dan rencana-rencana untuk berlibur bersama, ke pantai, ziarah makam, dan sebagainya. Aku sangat merindukan hal semacam itu, rindu saling bertukar surat, apalagi dulu masih harus tulis tangan. 


Sekarang sudah sangat berbeda, kita dimudahkan dengan teknologi untuk berkomunikasi, dengan Hp canggih dan media sosial lainnya. Secara tidak langsung, hal itu membuat kita berhenti belajar menulis. Termasuk kakak sepupuku dan juga tanteku. Kini kakak sepupu sudah memiliki android, juga tanteku. Mereka sekarang lebih sering berkomunikasi via BBM ataupun video call. Kemampuan mereka menulis sudah sangat menurun daripada dulu, kakak sepupuku paling tidak hanya bisa membuat paling banyak delapan kalimat pada status akun media sosial miliknya, berikut tanteku juga. Lebih parahnya lagi, yang mereka tulis adalah hal yang kurang penting, seperti keluhan, rencana, ataupun sesuatu yang mereka lakukan. Contohnya “jalan-jalan sambil makan tusuk sate. Enak beuddd” begitu. 


Kekasihku, ku yakin, di tempatmu sekarang, di Surga, tidak ada teknologi seperti disini. Engkau tentu akan kesulitan untuk berkomunikasi dengan orang-orang yang berada jauh darimu, tapi aku punya keyakinan lain, yaitu kau dikaruniai kemampuan untuk berkomunikasi via batin. Semoga itu benar. Karena aku tidak mempunyai kemampuan sepertimu, maka aku hanya bisa menulis surat ini, dan aku berharap engkau bisa membalasnya. 


Dalam surat ini aku tidak ingin membahas sesuatu yang berat denganmu, aku tidak ingin orang yang aku sayang merasa pusing karena harus memikirkan suatu yang berat, seperti filsafat misalnya, aku kira itu akan membuat pikiranmu terkuras. Melalui surat ini, aku atau kamu bebas untuk menulis apa saja, tapi kita harus saling membalas surat. Terserah kamu ingin menceritakan apa, masalahmu dengan Tuhan, dengan teman-teman di Surga, dan sebagainya. Aku akan senantiasa menjadi pendengar yang baik ketika kau membalas suratku, dan aku akan berusaha menjadi pencerita yang baik ketika membalas suratmu. 


Sebenarnya, aku punya satu rahasia yang ingin aku ceritakan padamu, dan itu cukup tidak masuk akal. Begini : dua malam kemarin, setelah terguyur hujan deras, aku lupa membasuh kepalaku dengan air yang bukan air hujan. Aku hanya mengeringkannya dengan handuk, tapi rambutku masih sedikit basah, aku langsung saja tidur. Lalu, di pertengahan malam, sekitar pukul 2 dini hari aku terbangun, aku sangat merasa pusing, badanku meriang. Aku berusaha tidur lagi, nampaknya aku berhasil tidur, saat itulah aku mengalami mimpi buruk tentangmu. Aku bermimpi kau sedang dilanda masalah. Saat itu, kau memutuskan untuk pergi ke suatu tempat yang cukup beresiko -aku tidak ingat betul tepat apa itu. Lalu dalam mimpi itu aku menasehatimu :  

“asal kau tau saja kasih, disana  banyak sekali masalah yang akan menguras pikiran, bukan untuk membuatmu semakin buruk, tapi untuk membuat pikiran dan mentalmu semakin terasah. Pesanku, ketika kamu menghadapi suatu masalah, kendalikan dirimu, emosimu. Ingat, sesuatu yang buruk tidak boleh dibalas dengan yang buruk pula. Itu bukan sedekar nasehat dariku, manusia manapun sudah mengerti itu, dan itu sudah terbukti. Memang mengendalikan diri itu tak semudah mengendalikan bola ketika kita menggiringnya, tapi yakinlah kau akan menemukan sebuah titik dimana kamu akan mengenal dan mampu mengendalikan dirimu, apalagi kamu sudah punya dasar yang cukup. Sesungguhnya belajar filsafat itu adalah untuk mengenal diri kita lebih dalam, agar kita menggunakan diri kita lebih baik. Kalau yang ini hanya menurutku saja, kau boleh tidak setuju, tapi inilah yang aku rasakan”.


Itu hanya sekedar nasehat dalam mimpi. Aku tau itu mimpi, kerena setelah bangun kondisiku semakin parah. Orang-orang di rumah sibuk melihat keadaanku, dan aku dibawa kerumah sakit oleh mereka. Dan setelah tiga hari dirawat, kau baru menjengukku dalam keadaan sudah baik. 


Kasih, aku masih ingat saat pertama kita berjumpa, kita bertemu karena kau takut terguyur hujan dan basah. Ya, setidaknya kamu punya antisipasi yang baik untuk menghadapi masalah. Seandainya kau terguyur hujan waktu itu, lalu kau lupa membasuh rambutmu yang panjang, mungkin kau akan mengalami sakit yang lebih parah dariku. Tapi itu tidak pernah terjadi. 


Kasih, semoga gagasan mengenai surat ini akan membuahkan sesuatu yang baik, baik untukku ataupun untukmu. Dulu aku sering berkata padamu, kita mempunyai cara untuk ber-romantis yang sedikit berbeda dari biasanya, mungkin berbeda dengan pasangan lainnya. sebenarnya itu untuk mengalihkan bahwa diriku tak mampu membuat momen yang romantis denganmu. Aku lebih suka kita saling bercanda dan tertawa, dan kau boleh menganggapku gila. 


Kasih, mungkin saat ini kau lebih dekat dengan Tuhan. Jika itu benar, aku ingin kau mendoakanku. Doakan, semoga aku tidak pernah berhenti bercerita dengan surat seperti ini, dan semoga aku tidak mengalami nasib yang sama dengan kakak sepupuku dan tanteku. Sebenarnya yang bernasib seperti itu bukan hanya kakak dan tanteku, banyak teman-temanku yang berhenti menulis/bercerita, bahkan banyak yang tak pernah menulis. Padahal, ketika sekolah dulu mereka masih sering menulis surat, seperti surat ijin ataupun surat sakit kepada wali kelas, meskipun itu hanya surat bohong yang ditanda tangani oleh teman mereka sendiri, seolah dia adalah orang tuanya. Seandainya mereka terus mengembangkan menulis surat itu, mungkin mereka sekarang sudah menjadi penulis hebat, walaupun hanya penulis Fiksi. Saat ini, banyak dari mereka telah diperkosa teknologi, mereka tak pernah menulis surat lagi, mereka lebih banyak membuat status-status aneh di akun media seosial mereka. Aku cukup prihatin dengan hal itu, ya meskipun tak semua seperti itu. 


Ada banyak hal yang ingin aku ceritakan, tapi sebaiknya aku menceritakannya pada surat berikutnya, setelah kau membalasnya, via apapun yang bisa kau gunakan. Tapi jangan via batin, karena aku tak memiliki kemampuan itu. Aku tidak menemukan tempat pelatihan komunikasi via batin di sini.  


Sekian sebuah surat awal ini kasih, semoga kau selalu dalam kebaikan dan lindungan Tuhan. Terserah kamu mau Tuhan yang mana. Sekian!.










Tidak ada komentar:

Posting Komentar