Oleh
: Hudy Majnun
Bagaimana mungkin aku berjalan, sedang kakiku tertinggal di pemberangkatan. Bagaimana aku mencapai tujuan, sedang tujuanku tertinggal di pemberangkatan.
Lalu bagaimana kabarmu ?
Hari itu aku bangun
agak sedikit siang, tepatnya lewat pukul 10 pagi. Yang kulakukan hanyalah
berusaha mengingat mimpi-mimpi yang menjadi teman tidurku semalam. Mimpi itu
tak terlihat jelas, hanya seperti sebuah potongan cerita, atau seperti cuplikan
iklan, atau seperti trailer sebuah film, yang hanya meninggalkan rasa penasaran
pada orang yang mengalami atau menontonnya. Aku menyerah untuk mengingat mimpi
itu secara lengkap. Aku tak sempat mandi, aku langsung bergegas mencari
teman-temanku yang mungkin sama kelaparannya denganku. Bau tanah masih memenuhi
tubuhku, lendir-lendirpun sudah biasa, itu tak membuatku terpeleset, dan selalu seperti itu.
Teman-temanku sudah menunggu, mereka juga sama
kelaparannya. Kami mencari makan di belakang gedung-gedung besar, biasanya di
sana terdapat kotoran-kotoran manusia, dan di sana terdapat makanan-makanan
lezat yang tak semahal di dalam gedung. Kami bertiga mencari makanan yang
paling lezat dan kalau bisa itu kami dapatkan cuma-cuma. Setelah kami makan,
tak lupa kami membawakan sedikit makanan untuk adik-adik kami di rumah. Kami
bertiga tinggal satu rumah meskipun kami tidur berbeda tempat, termasuk
adik-adik kami yang jumlahnya 10. Meskipun mereka adalah adik yang baru kami
angkat, mereka adalah adik-adik yang sangat kompak dalam segala hal. Mereka
pernah membuat suatu rencana untuk kami, tapi aku bisa mencium bau rencana itu.
Waktu
itu aku sedang mencari-cari sesuatu di rumah kami dan aku menemukan sebuah
rencana tertulis di sebuah kertas. Rencana itu belum jelas, hanya seperti
sebuah potongan mimpi, atau seperti trailer film. Aku tidak dapat membaca
rencana itu, tapi aku yakin rencana itu bukan rencana buruk. Jadi aku biarkan
saja mereka berbuat apa saja, selama itu tidak membuat mereka dan aku merugi,
atau mencelakakan kami. Rumah kecil yang kami tempati memang sangat sempit,
tapi rumah itu bisa menjadi apa saja yang kami mau. Kadang rumah itu bisa
menjadi sebuah goa, gelap gulita, dan hanya ada salah satu dari kami yang
menetap. Salah satu dari kami bukanlah untuk bertapa. Rumah itu selalu terlihat
indah saat siang hari, karena adik-adikku selalu rajin membersihkannya. Aku tak
heran melihat mereka serajin itu, itu mungkin karena mereka senang berada
dirumah itu.
Pada sebuah kesempatan, semua penghuni rumah berkumpul.
Aku tak curiga sedikitpun pada perkumpulan itu. Karena kupikir perkumpulan itu
hanya perkumpulan rutin yang kami adakan minimal sebulan sekali. Kecurigaanku
mulai muncul ketika aku dipanggil oleh adik-adikku. Mereka menyuruhkan berdiri
di tengah-tengah mereka. Karena itu sebuah permintaan, aku menurutinya. “kau
tau apa yang telah kamu lakukan?” tanya salah seorang adikku dengan nada
sedikit membentak. “aku tidak tau” jawabku. Aku benar-benar tidak tau apa yang
mereka maksud dan aku merasa tidak pernah melakukan salah apapun. “kau telah
mencuri rencana kami” ucapnya. “apa maksudnya?”, aku semakin bingung. Kemudian
mereka menjelaskan bahwa aku diam-diam mencuri rencana mereka. Katanya, aku
telah membaca lebih dulu rencana yang mereka buat dan mereka tidak dapat
menerima itu. Karena aku tidak senaja membaca rencana itu, aku mengakuinya. Dan
aku membalas mereka “kalian terlalu ceroboh menyimpan sebuah rencana”. Mereka
hanya diam, karena itulah yang terjadi. Namun mereka tetap memberi hukuman
padaku. Aku mereka asingkan.
Waktu terus berlalu dan beberapa jam kemudian mereka
mengungkapkan rencana mereka yang sebenarnya. Berlahan aku mulai mempunyai
gambaran jelas mengenai cuplikan rencana yang telah kubaca beberapa hari yang
lalu. Kali ini aku bukan hanya melihat cuplikannya, tapi melihatnya secara
jelas dan utuh, dari awal sampai akhir rencana itu. Ternyata rencana itu hanya
sebuah ucapan terimakasih mereka kepada kami, kakak-kakaknya, yang telah
menerima dan membina mereka selama beberapa bulan setelah mereka diangkat. “dasar...
mereka memang hebat” pikirku. Tapi, karena mereka menganggapku bersalah karena
membaca rencana itu lebih awal, mereka sedikit membedakanku dari teman-temanku
yang lain. Itu tak masalah bagiku, yang penting aku telah mengerti arti
cuplikan yang kubaca sebelumnya. Tapi tidak untuk mimpi-mimpi yang ku alami,
mereka tetap menjadi rahasia sang pemilik mimpi. Yang mampu ku lihat dari
mimpi-mimpi itu hanya sebuah hitungan angka, tepatnya sebuah pelajaran
pengurangan atau bagaimana jumlah itu menjadi semakin sedikit. Diakhir
perkumpulan itu, mereka menyatakan bahwa mereka bahagia menjadi cacing-cacing. “cacing-cacing,
cizzzz” sorak mereka. Cacing yang kompak.
Setelah perkumpulan itu, kami seperti mengalami kehidupan
yang baru. Kami dihadapkan dengan banyak rintangan dan rencana-rencana baru
untuk kehidupan selanjutnya. Perjalanan itu kami mulai dengan sebuah tekat.
Kami membawa satu kain kebanggaan, yang suatu saat nanti akan kita tancapkan
ketika sampai di puncak. Sekali lagi rencana itu seperti cuplikan film atau
sebuah mimpi. Tapi mimpi ini tidak dihasilkan dengan mata terpejam, sebaliknya,
mimpi itu kami dapatkan dengan cara tidak memejamkan mata sampai larut malam. Rencana
yang indah. Dari rencana itu, aku dan cacing-caing itu memulai perjalanan pada
sebuah ketinggian. Tapi kau tau, cacing-cacing seperti kami tidak mempunyai
kecepatan untuk mencapai tujuan. Kami berjalan sangat lambat, bahkan kami bisa
saja tergelincir dan mati karena lendir-lendir kami sendiri. Kaki kami tak
cukup kuat untuk untuk terus mendaki jalan yang curam. Apalagi bentuk kami yang
bulat dan memanjang, seperti sebatang rokok yang lentur.
Ketinggian itu dapat kami lihat dengan rencana kami, tapi
itu begitu remang. Kami dan adik-adik kami, memulai perjalanan panjang itu. “kalian
sudah siap?” tanyaku. “siap” tegas mereka. “selain bekal, persiapkan juga
mental kalian”, kuharap mereka tak melupakan itu. Ketika kami sudah lama
berjalan, di suatu tempat kami menghadapi segerombolan manusia, menurutku
mereka tak tau diri. Manusia itu berjalan sangat tidak hati-hati. Adik-adik
kami merasa takut, karena kami sedang berada di tengah-tengah gerombolan manusia
itu. “mereka takkan bisa menginjak kita” ucapku, agar adik-adikku tak
ketakutan. Ada salah satu dari adikku yang menangis ketakutan menghadapi
manusia tak tau diri itu. “aku ingin pulang saja kak, mumpung masih dekat
dengan rumah”, ucapnya sambil menangis. Aku tidak dapat mencegahnya, itu haknya
untuk mundur secepat ini. “baiklah adikku, kau bisa pulang dengan tenang”.
Diperjalanan pulang aku masih memperhatikannya melewati kaki-kaki manusia itu,
namun harapannya untuk pulang harus terhenti di salah satu kaki manusia bersepatu
biru. Ia terinjak kaki itu dan ia mati. Aku tak bisa membawanya pulang, atau
menguburnya dengan terhormat. Tubuhnya sudah hancur, oleh kaki itu, bahkan
semakin hancur setelah ia tak bisa bergerak, karena kaki-kaki yang lain tak
dapat ia hindari lagi.
Segerombolan manusia dapat kami lewati, walau harus
kehilangan salah satu dari kami. “sudahlah, dia hanya cacing. Kalian tak usah
terlalu larut menyedihkannya” ucap temanku, kakak yang lain. Meskipun kami
tidak mengenal air mata, adik-adik kami merasa sangat sedih melihat
kepergiannya harus berakhir di kaki manusia tak tau diri itu. Kami takkan mampu
membalas kematian adik kami, kami harus meneruskan perjalanan. “bersiaplah
untuk rintangan selanjutnya” ucap kakak yang lain. “Perjalanan selanjutnya
tidak akan sesulit tadi, tidak akan ada lagi manusia-manusia tak tau diri.
Berjalanlah dengan sedikit cepat, tapi tetap hati-hati, karena udara dingin
akan membuat lendir-lendir kalian akan semakin banyak dan licin” tambahku agar
mereka lebih semangat. Meskipun aku tau kami tak bisa berjalan dengan cepat, aku
tetap menyuruh mereka berjalan cepat, agar mereka cepat melupakan kesedihan
itu.
Lama berjalan, kita berhenti di sebuah tempat. Tempat itu
cukup aman dan tanah-tanah masih bersih atau belum tercemar sampah. Mereka
beristirahat dengan menghisap tanah-tanah di sekitarnya, ada yang hanya
berbaring memanjangkan tubuhnya yang licin. Hari semakin gelap, kupikir itu
bukan karena malam akan datang, tapi awan-awan hitam menumpuk di atas kami. “Bersembunyilah
di dalam tanah, gali lubang sedalam mungkin. Hujan akan segera turun” aku
memperingati semuanya. Mereka langsung bergegas menggali lubang. Aku tidak
menggali lubang secepat mereka, aku memperhatikan adik-adikku lebih dulu. Dalam
menggali lubang kita tidak langsung berhasil, karena banyak batu dan akar yang
harus kita hindari. Hujan mulai berjatuhan, hanya tinggal 2 adikku yang baru
memendamkan diri setengah badan, yang lain sudah bersembunyi di dalam tanah.
Aku kemudian menggali lubang dan menyembunyikan diri dari guyuran hujan.
Beberapa saat kemudian hujan mulai reda, kami semua muncul kepermukaan. Tiga
adikku tidak muncul-muncul. “kemana si mayat, si bangkai, dan si polos ?”
tanyaku pada semua. Semua muka menunduk, tak ada yang berani menjawab. “hey...
cacing-cacing, kemana 3 teman kalian?” aku sedikit membentak. “mereka berdua hanyut terbawa arus air. Lubang
yang mereka buat hancur dan mereka terbawa” ucap salah satu adik cacing dengan
muka menyesal. Aku tidak dapat berkata apa-apa, padahal kami-kakak-kakaknya-
sudah sering memperingati mereka, kalau mencari lubang harus di tanah yang benar-benar
kuat dan aman. Aku yang salah atau mereka yang ceroboh. Mereka sudah tiada,
entah kemana, hidup atau mati, kami tidak dapat mengetahuinya, karena arus air sangat
deras. Mencari mereka dalam arus air sama saja membunuh diri kami.
Empat adik kami telah hilang, kini adik kami hanyat
tinggal 6 cacing. Mereka sesekali terlihat lucu, aku sangat terhibur ketika
melihat mereka bercanda dengan kekonyolannya. Sekuat mungkin aku melindungi
mereka dari berbagai rintangan, tapi takdir mereka lebih kuat dari usahaku. Tak
mungkin kulawan sebuah takdir, itu seperti aku melawan manusia-manusia itu.
Kami hanya seekor cacing penuh lendir. Kami hanya mempunyai tujuan dengan
kaki-kaki yang begitu lamban.
“Puncak itu sudak dekat” kata salah satu kakak cacing
yang lain. Itu seperti sebuah motivasi, aku menyukainya, ya.. agar adik-adik
yang lain tak terlalu meratap sedih, meskipun kehilangan anggota cacing adalah
hal yang sangat menyedihkan. Beberapa bulan kami terus berjalan dengan lamban.
Kami tak mengenal lelah, karena kami tek pernah terburu-buru. Itu tips juga
buatmu, berjalanlah perlahan untuk tujuan yang sangat panjang. Selanjutnya
memang rintangan semakin berat, tidak hanya hujan dan kaki-kaki manusia itu.
Kali ini ketika kami harus menyebrang jalan, mobil-mobil siap membuat tubuh
kita jadi penyet. Tapi kami bisa melewati hal tersebut, karena kami lebih
kompak setelah mengambil hikmah dari kehilangan anggota cacing-cacing yang
lain.
Kami beristirahat beberapa hari di bawah pohon besar.
Pohon itu sangat rimbun. Manusia sering menyebut pohon itu sangat angker. Pohon
seperti itu merupakan tempat para hantu. Tapi kami tidak takut pada hantu-hantu
itu, itu adalah hantu manusia, bukan hantu para cacing. Karena dalam dunia
cacing hantu-hantu seperti itu tidak ada. Bagi kami, hantu-hantu itu adalah
kalian para manusia, hantu yang sekaligus menjadi maut. Di bawah pohon besar
yang kami tidak tau namanya itu, kami tinggal untuk waktu yang cukup lama.
Tidak ada yang membosankan, hanya saja bayangan tentang anggota cacing yang
lain sering menjadi hantu bagi kami. Sesekali adik-adik itu berpikir ulang
untuk meneruskan perjalanan yang tak berujung ini. Di bawah rumah sementara ini
kami sering berkumpul untuk mencurahkan perasaan-perasaan terpendam, mengenai
perjalanan atau mengenai cacing lain yang telah tiada. Hal itu kadang membuat
mereka -adik-adik- ragu untuk meneruskan perjalanan.
Malam itu kami mempersiapkan perjalanan untuk esok hari.
“aku tidak sanggup kak. Aku tinggal di rumah ini saja” ucap si pisang. “aku
sebenarnya juga tidak ingin ikut, tapi aku sudah terlanjur jauh ikut berjalan”
sahut si botol. Entah apa yang terjadi pada mereka, kupikir mereka sudah
mempunyai mental yang kokoh untuk menghadapi perjalanan tak breujung ini. “baiklah,
aku tak akan memaksa kalian untuk ikut”. Si botol tetap ikut meskipun
ragu-ragu, tapi tidak untuk si pisang, dia memilih untuk tinggal karena berbagai
alasan yang rumit. Hanya ada 5 adik cacing yang ikut, namun di tengah perjalan
Si Botol yang ragu-ragu tadi berhenti, tanpa pamit ia meninggalkan rombongan. Tidak
ada yang ia katakan sebelum ia pergi. Kami tidak dapat mencegah atau menunggunya,
karena kami tak punya cukup tangan yang panjang untuk mencegahnya, dan hal itu
akan menghambat kami pada tujuan. 4 cacing masih setia mengikuti perjalanan,
tapi tak jarang sesekali dari mereka mengeluh dan ingin mundur. Tapi, keadaan
dan teman-teman cacing beserta kakak-kakaknya meyankinkannya kembali untuk
tetap ikut berjalan.
Kami terus meneruskan perjalanan itu, dengan sedikit
keraguan yang akan hilang oleh kebersamaan. Sesekali kami berhenti untuk
istirahat. Pada salah satu tempat istirahat, saat semua sedang tidur terlentang,
aku banyak merenungkan berbagai hal, mengenai apa saja, tentang diri sendiri,
perjalanan ini, dan tentang apa saja yang melintas di kepalaku. Tiba-tiba
muncul cacing lain yang tak ku kenal dari bawah tanah. Ia cacing hitam yang
lebih gesit dari pada kami, tapi cacing hitam itu tidak terlalu suka hidup
berkelompok. Ia suka hidup sendiri-sendiri.
“apakah aku
mengganggumu?” tanyanya.
“tidak. Apa ada
yang bisa aku bantu?” ucapku.
“tidak ada, aku
hanya tersesat. Dan selalu tersesat”
“kemana
tujuanmu?”
“itulah yang
membuatku tersesat. Aku tak punya tujuan jelas”
“itu karena kau
tak punya kelompok, jadi hidupmu akan selalu tersesat, wahai cacing hitam”
“hidupku memang
tak punya kelompok, tapi aku punya mimpi”
Cacing
hitam itu kemudian masuk kembali ketanah, dan hilang entah kemana. Kata-kata
terakhirnya membuatku mengingat tentang mimpi-mimpi yang dulu pernah kualami
saat tidur. Mimpi itu tentang pengurangan. Aku mulai memikirkan mimpi itu dan
mencari-cari apa artinya. Ku arahkan pandanganku kepada adik-adik cacing yang
sedang tidur. “mereka tinggal empat cacing” pikirku. Semakin dalam aku
memikirkannya, mungkin ada kaitan dengan mimpiku dulu. Pikiranku mulai terbuka
ketika aku mengingat bagaimana adik-adik cacing yang lain mati dan hilang. Awal
perjalanan mereka 10 cacing tapi kini
hanya tinggal 4 cacing. “mungkin itu yang dimaksud mimpiku dulu”,
pikirku. Sebuah pengurangan dengan caranya masing-masing. 10 adikku mengawali
perjalanan, 1 mati terinjak kaki manusia, 3 hilang terbawa arus air, 1 memutuskan
tinggal, itu artinya mundur, 1 lagi menghilang tanpa kabar, kini hanya 4 cacing
yang bertahan dengan perasaan yang tak mampu kuduga, ragu-ragu ataukah sudah
bermental super seiya. Saat itu aku
sudah mengetahui secara jelas mengenai mimpi pengurangan itu, tepatnya
kehilangan. Tapi, aku tidak tau apakah pengurangan itu sudah berakhir atau
tidak, aku tau perjalan masih panjang dan tujuan masih jauh.
Aku
dan kakak-kakak yang lain sudah tak mungkin terlalu jauh lagi mengantarkan 4
cacing itu. Kakiku sudah tak sekuat mereka, lendirku sudah tak selicin mereka.
Di kehidupan kami, semakin licin dan banyak lendir yang kami miliki, menandakan
semakin kuat kami berjalan. Lendir itu bisa sebagai senjata utama kami ketika
menghadapi musuh. Lendir itu muncul karena proses di otak kami, kemudian
lendir-lendir itu dengan sendirinya keluar dari mulut kami.
Matahari
sudah mulai menampakkan diri, embun-embun yang dingin mulai berguguran dari
ujung daun dan sesekali menimpa tubuh kami. Itu membuat adik-adikku terbangun,
dan kami menjemur diri disaat pagi. Kami bercanda konyol, tertawa tak tau diri, melihat sekitar begitu lucu dan manusia-manusia
itu tak dapat mengusik kami, mereka hanya berlari-lari di sekitar kami. Mereka
tidak mungkin menginjak kami, karena kami berada di bawah pohon, dan mereka tak
mungkin berlari-lari di bawah pohon. Manusia itu juga suka bercanda, sama
seperti kami, tapi manusia itu punya air mata, tidak seperti kami. “selanjutnya
kalian yang akan memimpin perjalanan, jadi persiapkanlah diri kalian” ucapku,
sebelum memulai perjalanan itu. Kain kebanggaan itu masih kami simpan
baik-baik. Hanya sesekali berkibar di tempat persinggahan sementara.
Mengenai Cacing Hitam yang pernah muncul tiba-tiba di malam itu, ternyata ia diam-diam
mengikuti perjalanan kami. Dan ia mencatat tentang semua perjalanan yang kami lewati, dari
awal sampai akhir. Kau tau, apa yang kau baca saat ini adalah catatan dari si
cacing Hitam itu. Ia mencatat baik-baik perjalanan kami, ia juga
berharap mendapatkan hikmah dari perjalanan kami dan kisah cacing lain. Aku sangat
berterimakasih pada cacing hitam itu. Berkat cacing hitam itu aku dapat
mengerti sebuah pengurangan (kehilangan) dengan caranya masing-masing. Cacing Hitam itu akan tetap mengikuti perjalanan cacing-cacing itu. Tapi cacing itu
tak mau dianggap sebagai adik atau kakak, ia lebih suka dianggap sebagai Cacing
Hitam.
Satu lagi, Cacing
Hitam itu juga memberiku sebuah kenang-kenangan yang tak dapat kulupakan.
Kenangan-kenangan yang sangat sederhana, kalau kau ingin tahu lihatlah di sini, https://www.youtube.com/watch?v=sj3eFkoQC38&feature=youtu.be
Tidak ada komentar:
Posting Komentar