Rabu, 24 Desember 2014

Cacing-cacing


Oleh : Hudy Majnun

Bagaimana mungkin aku berjalan, sedang kakiku tertinggal di pemberangkatan. Bagaimana aku mencapai tujuan, sedang tujuanku tertinggal di pemberangkatan. 
Lalu bagaimana kabarmu ?
Hari itu aku bangun agak sedikit siang, tepatnya lewat pukul 10 pagi. Yang kulakukan hanyalah berusaha mengingat mimpi-mimpi yang menjadi teman tidurku semalam. Mimpi itu tak terlihat jelas, hanya seperti sebuah potongan cerita, atau seperti cuplikan iklan, atau seperti trailer sebuah film, yang hanya meninggalkan rasa penasaran pada orang yang mengalami atau menontonnya. Aku menyerah untuk mengingat mimpi itu secara lengkap. Aku tak sempat mandi, aku langsung bergegas mencari teman-temanku yang mungkin sama kelaparannya denganku. Bau tanah masih memenuhi tubuhku, lendir-lendirpun sudah biasa, itu tak membuatku terpeleset, dan  selalu seperti itu. 
Teman-temanku sudah menunggu, mereka juga sama kelaparannya. Kami mencari makan di belakang gedung-gedung besar, biasanya di sana terdapat kotoran-kotoran manusia, dan di sana terdapat makanan-makanan lezat yang tak semahal di dalam gedung. Kami bertiga mencari makanan yang paling lezat dan kalau bisa itu kami dapatkan cuma-cuma. Setelah kami makan, tak lupa kami membawakan sedikit makanan untuk adik-adik kami di rumah. Kami bertiga tinggal satu rumah meskipun kami tidur berbeda tempat, termasuk adik-adik kami yang jumlahnya 10. Meskipun mereka adalah adik yang baru kami angkat, mereka adalah adik-adik yang sangat kompak dalam segala hal. Mereka pernah membuat suatu rencana untuk kami, tapi aku bisa mencium bau rencana itu. 

Waktu itu aku sedang mencari-cari sesuatu di rumah kami dan aku menemukan sebuah rencana tertulis di sebuah kertas. Rencana itu belum jelas, hanya seperti sebuah potongan mimpi, atau seperti trailer film. Aku tidak dapat membaca rencana itu, tapi aku yakin rencana itu bukan rencana buruk. Jadi aku biarkan saja mereka berbuat apa saja, selama itu tidak membuat mereka dan aku merugi, atau mencelakakan kami. Rumah kecil yang kami tempati memang sangat sempit, tapi rumah itu bisa menjadi apa saja yang kami mau. Kadang rumah itu bisa menjadi sebuah goa, gelap gulita, dan hanya ada salah satu dari kami yang menetap. Salah satu dari kami bukanlah untuk bertapa. Rumah itu selalu terlihat indah saat siang hari, karena adik-adikku selalu rajin membersihkannya. Aku tak heran melihat mereka serajin itu, itu mungkin karena mereka senang berada dirumah itu.

Pada sebuah kesempatan, semua penghuni rumah berkumpul. Aku tak curiga sedikitpun pada perkumpulan itu. Karena kupikir perkumpulan itu hanya perkumpulan rutin yang kami adakan minimal sebulan sekali. Kecurigaanku mulai muncul ketika aku dipanggil oleh adik-adikku. Mereka menyuruhkan berdiri di tengah-tengah mereka. Karena itu sebuah permintaan, aku menurutinya. “kau tau apa yang telah kamu lakukan?” tanya salah seorang adikku dengan nada sedikit membentak. “aku tidak tau” jawabku. Aku benar-benar tidak tau apa yang mereka maksud dan aku merasa tidak pernah melakukan salah apapun. “kau telah mencuri rencana kami” ucapnya. “apa maksudnya?”, aku semakin bingung. Kemudian mereka menjelaskan bahwa aku diam-diam mencuri rencana mereka. Katanya, aku telah membaca lebih dulu rencana yang mereka buat dan mereka tidak dapat menerima itu. Karena aku tidak senaja membaca rencana itu, aku mengakuinya. Dan aku membalas mereka “kalian terlalu ceroboh menyimpan sebuah rencana”. Mereka hanya diam, karena itulah yang terjadi. Namun mereka tetap memberi hukuman padaku. Aku mereka asingkan. 
        
Waktu terus berlalu dan beberapa jam kemudian mereka mengungkapkan rencana mereka yang sebenarnya. Berlahan aku mulai mempunyai gambaran jelas mengenai cuplikan rencana yang telah kubaca beberapa hari yang lalu. Kali ini aku bukan hanya melihat cuplikannya, tapi melihatnya secara jelas dan utuh, dari awal sampai akhir rencana itu. Ternyata rencana itu hanya sebuah ucapan terimakasih mereka kepada kami, kakak-kakaknya, yang telah menerima dan membina mereka selama beberapa bulan setelah mereka diangkat. “dasar... mereka memang hebat” pikirku. Tapi, karena mereka menganggapku bersalah karena membaca rencana itu lebih awal, mereka sedikit membedakanku dari teman-temanku yang lain. Itu tak masalah bagiku, yang penting aku telah mengerti arti cuplikan yang kubaca sebelumnya. Tapi tidak untuk mimpi-mimpi yang ku alami, mereka tetap menjadi rahasia sang pemilik mimpi. Yang mampu ku lihat dari mimpi-mimpi itu hanya sebuah hitungan angka, tepatnya sebuah pelajaran pengurangan atau bagaimana jumlah itu menjadi semakin sedikit. Diakhir perkumpulan itu, mereka menyatakan bahwa mereka bahagia menjadi cacing-cacing. “cacing-cacing, cizzzz” sorak mereka. Cacing yang kompak.
        
Setelah perkumpulan itu, kami seperti mengalami kehidupan yang baru. Kami dihadapkan dengan banyak rintangan dan rencana-rencana baru untuk kehidupan selanjutnya. Perjalanan itu kami mulai dengan sebuah tekat. Kami membawa satu kain kebanggaan, yang suatu saat nanti akan kita tancapkan ketika sampai di puncak. Sekali lagi rencana itu seperti cuplikan film atau sebuah mimpi. Tapi mimpi ini tidak dihasilkan dengan mata terpejam, sebaliknya, mimpi itu kami dapatkan dengan cara tidak memejamkan mata sampai larut malam. Rencana yang indah. Dari rencana itu, aku dan cacing-caing itu memulai perjalanan pada sebuah ketinggian. Tapi kau tau, cacing-cacing seperti kami tidak mempunyai kecepatan untuk mencapai tujuan. Kami berjalan sangat lambat, bahkan kami bisa saja tergelincir dan mati karena lendir-lendir kami sendiri. Kaki kami tak cukup kuat untuk untuk terus mendaki jalan yang curam. Apalagi bentuk kami yang bulat dan memanjang, seperti sebatang rokok yang lentur.
       
Ketinggian itu dapat kami lihat dengan rencana kami, tapi itu begitu remang. Kami dan adik-adik kami, memulai perjalanan panjang itu. “kalian sudah siap?” tanyaku. “siap” tegas mereka. “selain bekal, persiapkan juga mental kalian”, kuharap mereka tak melupakan itu. Ketika kami sudah lama berjalan, di suatu tempat kami menghadapi segerombolan manusia, menurutku mereka tak tau diri. Manusia itu berjalan sangat tidak hati-hati. Adik-adik kami merasa takut, karena kami sedang berada di tengah-tengah gerombolan manusia itu. “mereka takkan bisa menginjak kita” ucapku, agar adik-adikku tak ketakutan. Ada salah satu dari adikku yang menangis ketakutan menghadapi manusia tak tau diri itu. “aku ingin pulang saja kak, mumpung masih dekat dengan rumah”, ucapnya sambil menangis. Aku tidak dapat mencegahnya, itu haknya untuk mundur secepat ini. “baiklah adikku, kau bisa pulang dengan tenang”. Diperjalanan pulang aku masih memperhatikannya melewati kaki-kaki manusia itu, namun harapannya untuk pulang harus terhenti di salah satu kaki manusia bersepatu biru. Ia terinjak kaki itu dan ia mati. Aku tak bisa membawanya pulang, atau menguburnya dengan terhormat. Tubuhnya sudah hancur, oleh kaki itu, bahkan semakin hancur setelah ia tak bisa bergerak, karena kaki-kaki yang lain tak dapat ia hindari lagi.
     
Segerombolan manusia dapat kami lewati, walau harus kehilangan salah satu dari kami. “sudahlah, dia hanya cacing. Kalian tak usah terlalu larut menyedihkannya” ucap temanku, kakak yang lain. Meskipun kami tidak mengenal air mata, adik-adik kami merasa sangat sedih melihat kepergiannya harus berakhir di kaki manusia tak tau diri itu. Kami takkan mampu membalas kematian adik kami, kami harus meneruskan perjalanan. “bersiaplah untuk rintangan selanjutnya” ucap kakak yang lain. “Perjalanan selanjutnya tidak akan sesulit tadi, tidak akan ada lagi manusia-manusia tak tau diri. Berjalanlah dengan sedikit cepat, tapi tetap hati-hati, karena udara dingin akan membuat lendir-lendir kalian akan semakin banyak dan licin” tambahku agar mereka lebih semangat. Meskipun aku tau kami tak bisa berjalan dengan cepat, aku tetap menyuruh mereka berjalan cepat, agar mereka cepat melupakan kesedihan itu.
       
Lama berjalan, kita berhenti di sebuah tempat. Tempat itu cukup aman dan tanah-tanah masih bersih atau belum tercemar sampah. Mereka beristirahat dengan menghisap tanah-tanah di sekitarnya, ada yang hanya berbaring memanjangkan tubuhnya yang licin. Hari semakin gelap, kupikir itu bukan karena malam akan datang, tapi awan-awan hitam menumpuk di atas kami. “Bersembunyilah di dalam tanah, gali lubang sedalam mungkin. Hujan akan segera turun” aku memperingati semuanya. Mereka langsung bergegas menggali lubang. Aku tidak menggali lubang secepat mereka, aku memperhatikan adik-adikku lebih dulu. Dalam menggali lubang kita tidak langsung berhasil, karena banyak batu dan akar yang harus kita hindari. Hujan mulai berjatuhan, hanya tinggal 2 adikku yang baru memendamkan diri setengah badan, yang lain sudah bersembunyi di dalam tanah. Aku kemudian menggali lubang dan menyembunyikan diri dari guyuran hujan. Beberapa saat kemudian hujan mulai reda, kami semua muncul kepermukaan. Tiga adikku tidak muncul-muncul. “kemana si mayat, si bangkai, dan si polos ?” tanyaku pada semua. Semua muka menunduk, tak ada yang berani menjawab. “hey... cacing-cacing, kemana 3 teman kalian?” aku sedikit membentak.  “mereka berdua hanyut terbawa arus air. Lubang yang mereka buat hancur dan mereka terbawa” ucap salah satu adik cacing dengan muka menyesal. Aku tidak dapat berkata apa-apa, padahal kami-kakak-kakaknya- sudah sering memperingati mereka, kalau mencari lubang harus di tanah yang benar-benar kuat dan aman. Aku yang salah atau mereka yang ceroboh. Mereka sudah tiada, entah kemana, hidup atau mati, kami tidak dapat mengetahuinya, karena arus air sangat deras. Mencari mereka dalam arus air sama saja membunuh diri kami.
      
Empat adik kami telah hilang, kini adik kami hanyat tinggal 6 cacing. Mereka sesekali terlihat lucu, aku sangat terhibur ketika melihat mereka bercanda dengan kekonyolannya. Sekuat mungkin aku melindungi mereka dari berbagai rintangan, tapi takdir mereka lebih kuat dari usahaku. Tak mungkin kulawan sebuah takdir, itu seperti aku melawan manusia-manusia itu. Kami hanya seekor cacing penuh lendir. Kami hanya mempunyai tujuan dengan kaki-kaki yang begitu lamban.
     
“Puncak itu sudak dekat” kata salah satu kakak cacing yang lain. Itu seperti sebuah motivasi, aku menyukainya, ya.. agar adik-adik yang lain tak terlalu meratap sedih, meskipun kehilangan anggota cacing adalah hal yang sangat menyedihkan. Beberapa bulan kami terus berjalan dengan lamban. Kami tak mengenal lelah, karena kami tek pernah terburu-buru. Itu tips juga buatmu, berjalanlah perlahan untuk tujuan yang sangat panjang. Selanjutnya memang rintangan semakin berat, tidak hanya hujan dan kaki-kaki manusia itu. Kali ini ketika kami harus menyebrang jalan, mobil-mobil siap membuat tubuh kita jadi penyet. Tapi kami bisa melewati hal tersebut, karena kami lebih kompak setelah mengambil hikmah dari kehilangan anggota cacing-cacing yang lain.
     
Kami beristirahat beberapa hari di bawah pohon besar. Pohon itu sangat rimbun. Manusia sering menyebut pohon itu sangat angker. Pohon seperti itu merupakan tempat para hantu. Tapi kami tidak takut pada hantu-hantu itu, itu adalah hantu manusia, bukan hantu para cacing. Karena dalam dunia cacing hantu-hantu seperti itu tidak ada. Bagi kami, hantu-hantu itu adalah kalian para manusia, hantu yang sekaligus menjadi maut. Di bawah pohon besar yang kami tidak tau namanya itu, kami tinggal untuk waktu yang cukup lama. Tidak ada yang membosankan, hanya saja bayangan tentang anggota cacing yang lain sering menjadi hantu bagi kami. Sesekali adik-adik itu berpikir ulang untuk meneruskan perjalanan yang tak berujung ini. Di bawah rumah sementara ini kami sering berkumpul untuk mencurahkan perasaan-perasaan terpendam, mengenai perjalanan atau mengenai cacing lain yang telah tiada. Hal itu kadang membuat mereka -adik-adik- ragu untuk meneruskan perjalanan.
      
Malam itu kami mempersiapkan perjalanan untuk esok hari. “aku tidak sanggup kak. Aku tinggal di rumah ini saja” ucap si pisang. “aku sebenarnya juga tidak ingin ikut, tapi aku sudah terlanjur jauh ikut berjalan” sahut si botol. Entah apa yang terjadi pada mereka, kupikir mereka sudah mempunyai mental yang kokoh untuk menghadapi perjalanan tak breujung ini. “baiklah, aku tak akan memaksa kalian untuk ikut”. Si botol tetap ikut meskipun ragu-ragu, tapi tidak untuk si pisang, dia memilih untuk tinggal karena berbagai alasan yang rumit. Hanya ada 5 adik cacing yang ikut, namun di tengah perjalan Si Botol yang ragu-ragu tadi berhenti, tanpa pamit ia meninggalkan rombongan. Tidak ada yang ia katakan sebelum ia pergi. Kami tidak dapat mencegah atau menunggunya, karena kami tak punya cukup tangan yang panjang untuk mencegahnya, dan hal itu akan menghambat kami pada tujuan. 4 cacing masih setia mengikuti perjalanan, tapi tak jarang sesekali dari mereka mengeluh dan ingin mundur. Tapi, keadaan dan teman-teman cacing beserta kakak-kakaknya meyankinkannya kembali untuk tetap ikut berjalan.
      
Kami terus meneruskan perjalanan itu, dengan sedikit keraguan yang akan hilang oleh kebersamaan. Sesekali kami berhenti untuk istirahat. Pada salah satu tempat istirahat, saat semua sedang tidur terlentang, aku banyak merenungkan berbagai hal, mengenai apa saja, tentang diri sendiri, perjalanan ini, dan tentang apa saja yang melintas di kepalaku. Tiba-tiba muncul cacing lain yang tak ku kenal dari bawah tanah. Ia cacing hitam yang lebih gesit dari pada kami, tapi cacing hitam itu tidak terlalu suka hidup berkelompok. Ia suka hidup sendiri-sendiri. 

“apakah aku mengganggumu?” tanyanya.
“tidak. Apa ada yang bisa aku bantu?” ucapku.
“tidak ada, aku hanya tersesat. Dan selalu tersesat”
“kemana tujuanmu?”
“itulah yang membuatku tersesat. Aku tak punya tujuan jelas”
“itu karena kau tak punya kelompok, jadi hidupmu akan selalu tersesat, wahai cacing hitam”
“hidupku memang tak punya kelompok, tapi aku punya mimpi”

Cacing hitam itu kemudian masuk kembali ketanah, dan hilang entah kemana. Kata-kata terakhirnya membuatku mengingat tentang mimpi-mimpi yang dulu pernah kualami saat tidur. Mimpi itu tentang pengurangan. Aku mulai memikirkan mimpi itu dan mencari-cari apa artinya. Ku arahkan pandanganku kepada adik-adik cacing yang sedang tidur. “mereka tinggal empat cacing” pikirku. Semakin dalam aku memikirkannya, mungkin ada kaitan dengan mimpiku dulu. Pikiranku mulai terbuka ketika aku mengingat bagaimana adik-adik cacing yang lain mati dan hilang. Awal perjalanan mereka 10 cacing tapi kini  hanya tinggal 4 cacing. “mungkin itu yang dimaksud mimpiku dulu”, pikirku. Sebuah pengurangan dengan caranya masing-masing. 10 adikku mengawali perjalanan, 1 mati terinjak kaki manusia, 3 hilang terbawa arus air, 1 memutuskan tinggal, itu artinya mundur, 1 lagi menghilang tanpa kabar, kini hanya 4 cacing yang bertahan dengan perasaan yang tak mampu kuduga, ragu-ragu ataukah sudah bermental super seiya. Saat itu aku sudah mengetahui secara jelas mengenai mimpi pengurangan itu, tepatnya kehilangan. Tapi, aku tidak tau apakah pengurangan itu sudah berakhir atau tidak, aku tau perjalan masih panjang dan tujuan masih jauh.

Aku dan kakak-kakak yang lain sudah tak mungkin terlalu jauh lagi mengantarkan 4 cacing itu. Kakiku sudah tak sekuat mereka, lendirku sudah tak selicin mereka. Di kehidupan kami, semakin licin dan banyak lendir yang kami miliki, menandakan semakin kuat kami berjalan. Lendir itu bisa sebagai senjata utama kami ketika menghadapi musuh. Lendir itu muncul karena proses di otak kami, kemudian lendir-lendir itu dengan sendirinya keluar dari mulut kami.

Matahari sudah mulai menampakkan diri, embun-embun yang dingin mulai berguguran dari ujung daun dan sesekali menimpa tubuh kami. Itu membuat adik-adikku terbangun, dan kami menjemur diri disaat pagi. Kami bercanda konyol, tertawa tak tau diri, melihat sekitar begitu lucu dan manusia-manusia itu tak dapat mengusik kami, mereka hanya berlari-lari di sekitar kami. Mereka tidak mungkin menginjak kami, karena kami berada di bawah pohon, dan mereka tak mungkin berlari-lari di bawah pohon. Manusia itu juga suka bercanda, sama seperti kami, tapi manusia itu punya air mata, tidak seperti kami. “selanjutnya kalian yang akan memimpin perjalanan, jadi persiapkanlah diri kalian” ucapku, sebelum memulai perjalanan itu. Kain kebanggaan itu masih kami simpan baik-baik. Hanya sesekali berkibar di tempat persinggahan sementara.

Mengenai Cacing Hitam yang pernah muncul tiba-tiba di malam itu, ternyata ia diam-diam mengikuti perjalanan kami. Dan ia mencatat tentang semua perjalanan yang kami lewati, dari awal sampai akhir. Kau tau, apa yang kau baca saat ini adalah catatan dari si cacing Hitam itu. Ia mencatat baik-baik perjalanan kami, ia juga berharap mendapatkan hikmah dari perjalanan kami dan kisah cacing lain. Aku sangat berterimakasih pada cacing hitam itu. Berkat cacing hitam itu aku dapat mengerti sebuah pengurangan (kehilangan) dengan caranya masing-masing. Cacing Hitam itu akan tetap mengikuti perjalanan cacing-cacing itu. Tapi cacing itu tak mau dianggap sebagai adik atau kakak, ia lebih suka dianggap sebagai Cacing Hitam.

Satu lagi, Cacing Hitam itu juga memberiku sebuah kenang-kenangan yang tak dapat kulupakan. Kenangan-kenangan yang sangat sederhana, kalau kau ingin tahu lihatlah di sini, https://www.youtube.com/watch?v=sj3eFkoQC38&feature=youtu.be

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar