Kamis, 18 Juni 2015

Buku Kekasihku


Oleh : Hudi Majnun 
Hari itu, ketika malam sudah berada pada akhir perjalanan, aku harus terbangun karena sebuah mimpi buruk. Mimpi itu terasa begitu nyata, hingga membuatku terbangun dalam keadaan menangis. Kurasakan air mata membasahi pipi. Dalam mimpi itu aku menghadiri acara pemakaman orang yang paling aku kasihi, ya dia kekasihku. Ia meninggal, dan aku pembunuhnya, tapi tidak ada yang tahu bahwa aku yang telah membunuhnya. Aku membawa karangan bunga dan kartu ucapan duka cita. Kartu ucapan itu memang sedikit berbeda dengan orang kebanyakan, dan itu cukup menarik perhatian orang. Ketika aku meletakkan karangan bunga itu, orang-orang melihatku dengan aneh. Seperti mata yang memperhatikan sebuah kebodohan. Kartu itu aku tuliskan, “Akulah yang paling berduka atas kepergianmu. Aku menyesalinya dan semoga kamu masih mencintaiku”.
Atas kejadian dalam mimpi itu, aku mengalami ketakutan yang berlebih. Aku takut kehilangan orang yang aku kasihi. Oleh sebab itu, sesering mungkin aku mengajaknya bertemu, untuk sekedar ngobrol, jalan bareng, berlibur, ke toko buku, dan sebagainya. Setidaknya, aku dapat melupakan ketakutanku itu, atau paling tidak, kalau ia memang benar akan pergi, aku masih bisa menikmati kebersamaan diakhir hidupnya. Aku melakukan banyak cara agar bisa melupakan mimpi itu, termasuk mengabadikan kisahku dengan kekasihku melalui sebuah tulisan. Akan kususun menjadi sebuah kisah yang nantinya bisa dibukukan. Aku selalu menulis kejadian yang menarik dan aneh dengan kekasihku, termasuk kejadian aneh yang kadang aku alami sendiri.
Semakin lama aku menulis, semakin aku lupa dengan mimpi buruk itu. Tapi kemudian, kisahku dengan kekasihku sudah tak ada yang menarik lagi untuk ditulis. Kau tau, saat itu aku pun berhenti menulis. Aku kehabisan inspirasi. Sudah cukup banyak kejadian yang aku tulis saat bersama kekasihku. Ini salah satunya :
Suatu malam, ketika sedang minum kopi di cafe, aku harus sedikit berdebat panas dengan kekasihku. Ia tak setuju dengan pendapatku mengenai suatu kebaikan yang harus dilakukan orang.
Aku berkata “kita tidak boleh membalas orang yang jahat dengan jahat pula”
“Jadi, aku harus diam walau ada orang yang menyakitiku?” sahut kekasihku dengan mengertukan dahinya.
“Tidak seperti itu. Kejahatan itu seperti api, tidak mungkin kita memadamkan api dengan api kan. Pastinya harus dengan air”
“Lalu, apa yang harus aku lakukan kepada orang yang pernah sangat sombong padaku dan ia juga sangat meremehkanku?”.
“Kalau itu hanya pernah, tapi tidak dia ulangi sekarang, sebaiknya kau menyambutnya dengan baik”
“Tidak semudah itu. Aku terlanjur sakit hati dengan sikapnya. Hanya ketika ada butuhnya saja ia mendekatiku”
“Bagus dong kalau dia ingin akrab denganmu. Berarti dia sudah berubah, tapi jangan kau tanggapi niat baiknya dengan buruk. Ia bisa saja berubah lagi menjadi seperti yang sebelumnya”
Alahh, ia seperti itu hanya karena butuh bantuanku” nadanya meninggi.
“Jangan terlalu berpikir buruk. Apa salahnya berbuat baik kepada orang, sekalipun ia tidak baik dengan kita”
“Sudahlah, aku malas denganmu, kau tak pernah membelaku”
Perdebatan itu berhenti. Kekasihku terlihat sangat marah, aku bisa membaca raut mukanya yang cemberut. Aku pun diam, karena tak ingin ia tambah marah. Jadi kami saling diam sampai kopi di gelas aku habiskan dan kita pulang kerumah masing-masing. Sampai aku mengantarnya di depan rumahnya, ia tak bicara apapun, hanya ucapan “Terimakasih telah mengantarku” katanya, itupun tanpa melihatku.
*
Keesokan harinya kami masih tetap saling diam. Setelah tiga hari ia baru sembuh dari penyakit diamnya, aku turut bahagia. Lima hari setelah perdebatan itu aku mengalami hal aneh. Malam itu, tepatnya malam jum’at, aku mendapati tubuhku basah kuyup dan berbau amis. Aku terbaring di tengah kerumunan orang, di antara orang-orang itu aku melihat orang bersurban putih sedang komat-kamit dengan segelas air tangan kirinya dan seutas tasbih di tangan kanannya. Kulihat tasbih itu digerak-gerakkan dengan jempol. Kemudian ia meminum air itu dan menyemburkannya ke mukaku ”bhuuuhh...”. Karena bau air yang kurang sedap, aku balas menyemburnya dengan air yang jatuh ke mulutku, sambil berteriak “wooyy....”. Tiba-tiba orang-orang yang lain memegangiku dengan kencang, kemudian orang bersurban itu memegang keningku, tangannya sangat dingin. Aku diam saja, takut orang-orang itu memegangku dengan kencang lagi. Setelah aku tenang, aku di dudukkan.
“ada apa ini ?” kataku, kemudian orang bersurban itu menjawab.
“kau sudah sadar nak?” sahut orang bersurban itu.
“memangnya aku kenapa pak ?”
“barusan kamu kesurupan”
“aku tidak tahu itu. Kenapa bapak menyemburku barusan ?”
“itu biar setannya keluar dari tubuhmu. Tadi setannya melawan, dia menyemburku juga. Tapi untungnya dia keluar setelah aku membacakan mantra pamungkas”.
“tapi aku ingat tadi, ketika bapak menyemburku”
Bapak itu terdiam, beberapa saat kemudian ia baru menjawab lagi, “berarti setannya tinggal sedikit tadi”.
“iya mungkin”
Setelah itu aku disuruh membersihkan diri. Mandi dan ganti baju. Setelah aku rapi dan wangi, aku ke ruang tamu. Ternyata sudah sepi, hanya tinggal ibu dan ayahku.
“kemana bapak yang pakai surban itu bu ?” tanyaku.
“dia sudah pergi, kamu terlalu lama mandinya” jawab ibuku.
Aku bertanya kepada orang tuaku tentang apa yang telah terjadi. Katanya, aku mengalami kesurupan. Saat sedang duduk di depan komputer, tiba-tiba aku mengerang-erang dan melompat-lompat. Sampai akhirnya aku terjatuh di kolam ikan yang ada di depan rumah. Kemudian mereka mengangkatku ke ruang tamu dan memanggilkan seorang ustad.
Aku hanya ingat saat duduk di depan komputer. Waktu aku sedang menulis sebuah cerita tentang kekasihku. Dan waktu itu, aku kehabisan kata untuk menulis. Aku membayangkan kekasihku sedang marah, dan aku juga terbawa emosi membayangkannya. Aku coba mengosongkan pikiran, agar tidak terbawa emosi. Tiba-tiba aku merasa dingin dan mengantuk dan aku tidak ingat apa-apa lagi. Sadar-sadar aku sudah seperti itu. Mungkin benar aku kesurupan, atau mungkin hanya sekedar mengigau yang berlebihan, entahlah. Yang jelas, saat itu aku sedang kehabisan inspirasi untuk menulis, tidak ada kisah yang menarik lagi dengan kekasihku. Mungkin saja, karena pikiranku saat itu kosong, hingga setan bisa masuk dengan sesuka hati. Seperti kata orang, orang yang pikirannya kosong akan gampang kesurupan.
**
Untuk meneruskan tulisan yang tak kunjung usai itu, aku melakukan sebuah skenario dengan kekasihku, tanpa ia mengetahuinya. Hari itu, aku ingin menguji seberapa besar rasa kasihnya untukku. Aku mengajaknya ke sebuah pantai yang ombaknya cukup tenang, dan kami bisa menikmati pantai itu dari atas tebing yang tak terlalu tinggi, hanya sekitar 1-2 meter saja. Aku mengajaknya naik. Beberapa saat kemudian, aku berpura-pura mengambilkan sebuah bunga yang tumbuh di pinggir tebing itu. Ya, saat mengambil bunga itulah aku pura-pura terpleset dan jatuh ke laut. Aku berani melakukan itu, karena aku cukup pandai berenang. Selain itu, rencana ini sudah aku persiapkan. Jadi Hp, dompet, dan benda penting lainnya aku tinggalkan di atas tebing itu. Aku ingin tahu, apa yang kekasihku lakukan melihatku terjatuh.
Aku menjatuhkan diri dan pura-pura tidak bisa berenang. Aku melihat kekasihku panik, tidak ada orang yang bisa ia mintai pertolongan. Ia melepaskan sandal dan tasnya, kemudian ia nekat menceburkan diri. “byuuurrr”, ia tenggelam beberapa detik di dalam air yang agak dangkal itu, kemudian ia muncul dengan cara mengambang, tak bergerak sedikitpun. Aku panik. Segera aku menghampiri dan menggendongnya kepermukaan. Kulihat ada darah mengalir dari sela-sela rambutnya. Ia tak sadarkan diri, aku membawanya ke pos pengamanan pantai. “harus segera dilarikan ke rumah sakit” kata petugas itu.  Petugas itu menelepon mobil ambulan dan segera mengamankan lokasi kejadian.
Beberapa saat kemudian mobil ambulan berwarna putih datang. Aku menemami kekasihku menuju rumah sakit terdekat. Kulihat wajahnya begitu pucat, aku menahan darah yang keluar dari kepalanya dengan tanganku. Tangannya terasa sangat dingin, aku menggenggamnya. Sesampainya di rumah sakit, ia langsung dibawa ke ruang UGD. Ia tak sadarkan diri selama 2 hari, dan baru di hari ketiga ia dipastikan telah meninggal dunia. Kata dokter ia mengalami gegar otak dan pendarahan. Jangan tanya bagaimana perasaanku.
Setelah ia dikubur, aku pergi ke makamnya dengan membawa karangan bunga. Saat itulah aku kembali teringat pada mimpi buruk yang pernah aku alami. Oleh sebab itu, aku membuat karangan bunga dan kartu ucapan sama persis dengan mimpi itu “Akulah yang paling berduka atas kepergianmu. Aku menyesalinya dan semoga kamu masih mencintaiku”. Setelah meletakkan bunga itu, aku tidak lagi pulang kerumahku, karena polisi sudah siap membawaku sebagai saksi kejadian sekaligus tersangka.
Sampai di kantor polisi, beberapa orang menanyaiku banyak hal, mulai dari yang penting dan yang tidak penting. Menurutku.
“Kenapa kamu pergi ke tempat itu?. Sudah jelas ada papan yang bertuliskan, bahwa tempat itu dilarang” tanya polisi itu.
“Aku ingin melakukan sesuatu yang indah bersama kekasihku pak. Karena aku pernah bermimpi bahwa kekasihku akan pergi” jawabku.
“Apa hubungannya dengan mimpimu?. Lalu bagaimana kalian bisa terjatuh ?, jawab dengan jujur”
“Mimpi itu tentang kekasihku pak, bapak tahu kan, bahwa mimpi itu adalah petanda. Aku sengaja melompat pak. Aku ingin tau seberapa sayang kekasihku, dan apa yang akan ia lakukan jika melihatku terjatuh”
“Lalu apa yang dilakukan kekasihmu itu?”
Kurasa polisi itu menggunakan rumus “5W+1H” saat menanyaiku. Aku melanjutkan “ia melompat karena ingin menolongku pak. Aku senang melihatnya melompat, itu tandanya ia sangat menyayangiku” aku menjawabnya sejujur mungkin, aku tidak ingin bertambah dosa karena bohong.
“Teruskan. Selanjutnya apa yang terjadi padanya?”
“Aku tidak tahu pak. Waktu dia melompat, ia masuk ke dalam air selama beberapa detik, kemudian muncul dalam keadaan tak sadarkan diri. Mungkin kepalanya terbentur batu atau karang yang ada disana”
“Berarti kamu sengaja melakukan itu?”
“Iya pak”
“Terimakasih atas kejujurannya”
“Sama-sama pak” aku tersenyum pasrah.
Setelah itu, aku langsung dimasukkan ke dalam jeruji besi. Dua orang memegangku dari kanan dan kiri. Seolah aku adalahpenjahat paling berbahaya yang membutuhkan pengamanan ketat.
Aku dianggap bersalah dalam kejadian itu. Mungkin aku terlalu jujur, bahkan saat sidang di pengadilan aku menjawab hal yang sama dengan jujur. Pengadilan memutuskan bahwa aku divonis hukuman penjara selama sembilan tahun, dengan tuduhan kasus pembunuhan terencana. Padahal kau tau kan, aku hanya ingin menguji kekasihku, bukan untuk membunuhnya.
Aku tidak dapat berbuat apa-apa lagi, kekasihku telah mati. Aku percaya, pasti ada hikmah dibalik semua kejadian. Hikmah yang kurasakan, aku dapat meneruskan menulis-meski dalam penjara-, dan tulisan tentang kekasihku itu akan aku buat sedikit berbeda dengan kejadian aslinya. Aku akan membuat ending yang bahagia, sampai kami menikah, punya rumah, keliling dunia, punya anak, masuk surga bersama, dan sebagainya. Dengan begitu, kekasihku tidak akan pernah mati, kekasihku akan terus hidup. Aku akan terus menulisnya hingga menjadi sebuah buku dan aku akan selalu membacanya. Nantinya, Buku itu adalah kekasihku.
***
Oya, ada hal yang aku lupakan. Kau bisa memanggilku dengan nama Soir, dan kekasihku bernama Lala, tepatnya Almarhum Lala. Tokoh lain seperti orang tuaku, pak ustad, petugas pantai, pak polisi, supir ambulan, dan juga setan yang pernah merasukiku, tak perlu aku sebutkan namanya. Karena pada dasarnya kita adalah sama, yang beda mungkin hanya setan itu.