Sabtu, 14 Februari 2015

Cerita Untuk Pak Presiden




Oleh : Hudy Majnun


Kepada Pak Presiden, Pemprov, Pemda, dan aparatur negara lainnya, yang masih normal. Pak, anda harus benar-benar turun kebawah, jangan hanya kebawah kaki, tapi turunlah sampai kebawah keset. Andai bapak tau, praktek pungli masih sangat marak di berbagai daerah, termasuk tempat daerah saya tinggal. Nama Desa saya adalah Wonokusumo, Kec. Tapen, Bondowoso. Setelah beberapa tahun tidak mengurusi hal-hal yang berhubungan dengan birokrasi pemerintahan atau desa, saya kira hal-hal demikian sudah tidak ada lagi. Apalagi saya melihat dan mendengar -kalau tidak salah- pak presiden pernah berkata bahwa pemerintahan harus bersih dari KKN dan Pungli (pemungutan liar), semoga saja saya salah. Sebagai pejabat dan masyarakat yang normal tentunya ingin memliki pemerintahan yang bersih. Tetapi dugaan saya sangat keliru. Praktek-praktek demikian masih sangat marak, di desa saya terutama. Saya sempat menjadi saksi praktek pungli yang terjadi di desa saya. Waktu itu saya sedang mengantarkan seorang teman membuat Surat Keterangan Domisili dan surat pengantar pembuatan SKCK. Bacalah ceritaku pak. 


Awalnya saya berpikir sangat baik tentang birokrasi desa. Karena sebelum ke balai desa, teman saya yang bernama Santu harus minta surat pengantar dari kepala dusun. “Kalau tidak ada surat pengantar dari kepala dusun tidak bisa mendapatkan tanda tangan dari kepala desa” begitu kata petugas di balai desa. Akhirnya Santu datang ke kepala dusun dan saya menemaninya. Saya rasa hal demikian merupakan alur birokrasi yang baik dan cukup benar, karena harus melalui aparatur desa terkecil, kalau bisa ada pengantar dari RT/RW, sayangnya itu tidak ada. Tapi itu tidak masalah, saya pikir sudah ada perkembangan dari 4 tahun lalu ketika saya pernah membuat SKCK. Dulu saya langsung ke kecamatan dan ke Polsek, sudah selesai sampai disitu saja. Sekarang sudah mulai tertata dengan baik, setidaknya lebih baik dari 4 tahun yang lalu. Entah kapan mulai seperti itu aku tidak cukup tahu. Kepala dusun di desa saya baik, karena mau melayani masyarakatnya meskipun diluar jam kerja, saya dan Santu datang sekitar pukul 7.00 malam. Ketika di rumah kepala dusun, ada kata-kata yang saya ingat, setelah saya mengucapkan bahwa administrasi sekarang sudah tertib ya pak. Kemudian Kasun menjawab “iya dek, sekarang sudah mulai tertib. Ya, biar masyarakat tau kalau masih punya kasun”. Entah apa maksudnya ia berkata seperti itu, mungkin sebelumnya Kasun seperti kekasih yang tak dianggap. Untuk surat pengantar ini, Santu tidak dikenakan biaya apapun. Memang sewajarnya seperti itu, sudah tugas Kasun melayani masyarakatnya, karena ia sudah dibayar oleh pemerintah untuk melayani rakyat. 


Keesokan harinya, saya diajak kembali oleh teman saya untuk mengurusi kelanjutan surat keterangan domisili dan SKCK di balai desa sampai ke Polres. Kami tiba di balai desa sekitar pukul 08.30 pagi, waktu itu hanya ada tiga orang petugas. Saya rasa tidak mungkin hanya ada tiga petugas. Kepala Desa juga tidak ada di kantor. Surat Domisili dan SKCK dikerjakan oleh salah satu petugas yang ada, mungkin dia sekretarisnya. Sambil menunggu, petugas yang lainnya mulai berdatangan, ada 2 orang yang baru datang. Untungnya tidak ada guru yang menghukum mereka meskipun telat masuk kantor. Seharusnya jam kantor dimulai pukul 08.00 kan pak. Karena pak Kades tak kunjung datang sampai pukul 09.00 maka petugas yang membuat surat mendatangi rumah kades untuk minta tanda tangan dan stempel. Mungkin pak Kadesnya sedang sakit atau sedang ada keperluan keluarga, sehingga tidak bisa masuk kantor. Setelah petugas itu datang, ia menyerahkan surat pengantar tersebut ke teman saya. Sebelum saya dan Santu pergi, petugas wanita itu berkata “uang kasnya sudah ?”, “belum mbak” jawab Santu. “berapa mbak ?” tanya Santu, “satu surat 10 ribu, 2 surat berarti 20 ribu” katanya. Tanpa pikir panjang Santu menyerahkan uang 20 ribu tersebut ke petugas itu. Surat Domisili cukup sampai di situ, tapi SKCK harus terus berjalan sampai ke Polres. 


Kami melanjutkan perjalanan menuju Kantor Camat/Kecamatan dengan motor. Waktu perjalanan, pikiran saya dihantui tentang uang kas yang dibayar Santu. Karena jalanan agak menurun maka saya matika mesin motor, namun tetap bisa berjalan meskipun mesin mati. Dalam benak selalu bertanya-tanya, bukankah tidak ada biaya apapun hanya untuk membuat surat keterangan Domisili dan surat pengantar SKCK ?. Ada yang aneh ketika petugas itu meminta uang dengan alasan untuk Kas. Entah kas apa, mungkin saja kas desa, atau kas pribadi. Saya tidak tahu. Seharusnya untuk pembayaran seperti itu juga disertakan kwitansi, agar jelas pembayaran yang dilakukan untuk apa dan masuk ke kantong siapa. Karena saya rasa itu mencurigakan, maka proses selanjutnya di kecamatan, saya dan Santu sepakat untuk menanyakan penarikan tersebut dan kami berniat untuk mengadukan pemungutan liar tersebut. Sesampainya di Kecamatan kami lapor ke Pol PP yang berjaga di pintu masuk. Ia kemudian menanyakan keperluan kami, “ngurusi keperluan SKCK pak” kata Santu. Kami dipersilahkan duduk di depan kecamatan dan ia meminta surat pengantar dari desa, kemudian membawanya masuk ke dalam kantor kecamatan. “tunggu sebentar” katanya. Berselang beberapa menit, bapak itu kembali. 


“sudah selesai dek” kata bapak itu, dengan wajah wibawa dan sangar karena seragamnya. 


“terimkasih pak” jawab Santu. 


“uang kasnya 10 ribu dek” ucap bapak itu. 


“lohh, tadi sudah bayar di kantor desa pak”


“wahh, ya beda lagi kalau disini”


Sepertinya ini tidak beres lagi, pikirku menyaksikan percakapan itu. Kemudian aku menyarankan agar temanku minta kwitansi sebagai bukti pembayaran. 


“yasudah pak. Saya minta kwitansi ya pak” lanjut Santu.


“tidak ada kwitansi dek, ini cuma buat kas saja” jawab bapak itu. 


“kalo kas kok minta ke saya pak?”


“kan untuk biaya suratnya”


“kan hanya stempel dan tanda tangan camat saja ini pak”


“ya, tapi memang peraturannya seperti itu dek”.


Pembicaraan semakin memanas, terdengar nada Santu dan bapak itu semakin meninggi.


“kalau hanya buat kas itu bisa minta dari iuran tiap pegawai yang ada disini kan pak. Saya kan hanya minta tanda tangan saja pak. Bukannya sudah tugas pewagai kecamatan untuk melayani masyarakatnya pak”. 


“tapi, peraturannya dari dulu memang seperti itu dek” ngotot bapak itu. 


“kalau memang ada aturannya, boleh tunjukan kepada saya aturan tertulisnya pak?” 


Bapak itu terdiam beberapa saat. Mungkin memang tidak ada aturan tertulis mengenai penarikan kas kepada masyarakat yang membuat surat-surat di tingkat desa ataupun kecamatan. Kalaupun ada pastilah surat itu ilegal, dan kalau pak presiden tahu, pasti mereka yang terkait akan dipecat. 


“yasudah dek ngak apa-apa kalau ngak mau bayar, ini kan hanya buat kas kecamatan” lanjut bapak itu dengan nada menyerah.


“memang kasnya buat apa nanti pak?” tanya Santu lagi. 


“ya nanti buat keperluan kecamatan, seperti beli cat, ngeprint baner-baner, dan buat keperluan lainnya” 


“lohh, bukannya untuk anggaran seperti itu bisa ngajukan ke pemda pak?. Kan juga ada APBD untuk hal-hal semacam itu pak?”. 


Bapak itu kembali terdiam. Setelah beberapa saat ia mulai berbicara lagi. Sepertinya ia menyerah. “ya sudah dek, bawa saja suratnya. Ngak perlu bayar kalau tidak mau”


“bukannya saya tidak mau bayar pak, tapi hanya ingin tahu peraturannya. Kalau memang ada aturan seperti itu, pasti saya bayar pak. Saya hanya khawatir saja pak, soalnya kan sekarang rawan sekali pemungutan liar (Pungli). Itu masalah pemerintahan yang tak kunjung usai solanya pak” dengan berani Santu mengatakan itu.


“yasudah dek, silahkan bawa suratnya dan tidak perlu bayar”


“beneran ini pak?. Kalau memang peraturannya harus bayar, ya saya bayar pak” jawab santu dengan nada sedikit bercanda.


“iya, iya. Tidak usah bayar tidak apa-apa”


“yasudah kalau begitu pak. Terimakasih banyak ya pak”


Kami melangkah menuju parkiran motor, sesekali kami mendengar mereka sedang bergerumul, sepertinya mereka membicaraka kejadian tersebut. Kami tidak meliriknya. Kurasa sudah benar yang Santu lakukan. Sudah seharusnya hal seperti itu dibersihkan, agar ucapan para pemimpin tidak sia-sia, sebagai orang yang sadar, kita harus menyadarkan mereka yang berbuat seperti itu. Walaupun cukup beresiko melakukan seperti itu di desa. Biasanya mereka akan membenci kita atau bahkan mengancam. Semoga hal kecil itu tidak luput dari perhatian pak presiden. 


Niat untuk mengadukan pemungutan di kantor desa urung begitu saja. Sepertinya di kecamatan juga sama seperti di kantor desa. Entah kami harus mengadukan kepada siapa. Kalau ada pak presiden, pasti kami mengadu langsung. Kami yakin pak presiden akan membela rakyat, apalagi kami adalah rakyat yang mendukung pak presiden, meskipun dalam pemilihan presiden saya sendiri memilih untuk golput. Hal-hal semacam itu kadang membuat rakyat enggan untuk mengurusi hal-hal yang terkait dengan pemerintahan, banyak tetangga-tetangga saya yang tidak mempunyai KTP, KK, Akte, dan sebagainya. Alasan mereka bermacam-macam, ada yang bilang ribet, lama, harus bayar, dan sebagainya. 


Selanjutnya kami menuju ke Polsek yang jaraknya hanya sekitar 50 Meter dari Kecamatan. Disana tidak ada masalah, hanya saja teman saya diusir karena mengenakan celana pendek. Ia disuruh pulang untuk ganti celana panjang, tapi akhirnya mereka memberikan solusi untuk bertukar celana denganku. Untungnya saya mengenakan celana panjang. Kami menumpang kamar mandi Polsek untuk bertukar celana, beruntung tidak ada yang tau kami berdua berada di dalam kamar mandi. Kalau ada yang melihat pasti mereka akan berpikir negatif. 


Santu kemudian masuk ke ruang petugas SKCK, saya tidak diperbolehkan masuk karena celana pendek. Katanya itu tidak sopan, itu tidak terlalu salah. Aku menunggu di luar kantor sambil melihat kendaraan yang melintas di jalan, itu cukup menjenuhkan. Sekitar 20 menit di dalam ruangan, Santu kemudian keluar. 


“Gimana, ditarik biaya lagi apa ngak?” tanyaku. 


“Aku beri dia 10 ribu” jawab Santu.


“Loh, kok mau bayar toh kamu?”


“sebenarnya ia tidak minta, aku cuma pengen ngasik saja, sebagai ucapan terimakasih. Orangnya baik” jawab Santu sambil memamerkan giginya yang tidak terlalu putih.


“oohhh... yasudah kalau begitu”.


Selanjutnya kami bergegas menuju Polres. Sampai di pintu masuk kami diarahkan menuju ke tempat pembuatan SKCK. Kali ini kami disambut dengan ramah, celana pendek pun tidak masalah masuk ke dalam kantor. Kami mencari ruangan pengambilan sidik jari, disana Santu harus mengisi formulir, kemudian mengecek sidik jarinya. Setelah selesai dan hendak masuk ke ruangan pembuatan SKCK, petugas sidik jari meminta uang lagi pada Santu. “sepuluh ribu” kata petugas itu. Santu langsung memberikan uangnya. Kali ini ia tidak lagi curiga dengan penarikan biaya tersebut, karena Santu tahu mengenai peraturan penarikan biaya untuk pengambilan sidik jari. Selanjutnya masuk ke ruang administrasi pencetakan SKCK. Disana Santu ditarik biaya lagi sebesar 10 ribu. Tanpa curiga lagi ia membayarnya. Peraturan mengenai biaya pembuatan SKCK baru dan pengambilan sidik jari jelas tertera dalam Undang-Undang RI No.2 Tahun 2002, tentang kepolisian Negara Republik Indonesia, dan PP RI No.50 Tahun 2010, tentang Tarif atas penerimaan bukan pajak yang berlaku pada Instansi Polri. Maka pembuatan SKCK baru/perpanjangan dikenakan tarif administrasi sebesar Rp. 10.000 dan pengambilan sidik jari Rp. 10. 000.


Sebagai rakyat biasa saya hanya takut pak presiden, takut kalau pemerintahan anda dianggap gagal oleh sebagian orang hanya gara-gara orang-orang semacam itu. Saya tahu rencana dan pemikiran anda bagus, tapi saya tidak yakin rencana dan pemikiran anda akan sampai di pelosok desa tempat saya tinggal. Desa saya cukup jauh, berada di ujung timur Pulau Jawa, kalau dari jakarta mungkin membutuhkan waktu sekitar 30 jam perjalanan darat, kecuali anda pakai helikopter. Tapi saran saya, jangan naik pesawat pak, karena di tempat saya tidak ada lapangan terbang. Ada tapi di kota sebelah. Baru aktif beberapa bulan lalu, setelah lama mati dan menjadi arena balap liar. Pak presiden, saya senang sekali melihat anda senang blusukan, tapi mustahil sepertinya anda akan blusukan di daerah saya, apalagi anda sekarang sangat disibukkan dengan konflik-konflik di pemerintahan anda sendiri. Ada KPK vs POLRI, Partai anda, banjir, pesawat jatuh, BBM, dan sebagainya. 


Sebenarnya saya ingin menceritakan ini kepada Polsek atau Polres, tapi saya khawatir mereka sudah tidak senormal yang saya bayangkan. Pak presiden merupakan urutan kedua yang saya percayai, yang pertama saya percaya kepada Tuhan. Kalau ini saya adukan kepada orang selain pak presiden, saya takut ini akan berbalik menjadi bumerang bagi saya. Saya hanya ingin membantu mewujudkan impian pak presiden, dari bagian Indonesia yang jauh dari tempat anda. Saya juga prihatin dengan daerah saya, setelah beberapa saat yang lalu saya membuka internet kemudian membuka web yang berisi daftar daerah 3T (terluar, tertinggal, terdepan). Ternyata Kabupaten Bondowoso masuk dalam kategori daerah Tertinggal. Sebenarnya Bondowoso kaya akan alam pak, tempat wisata, perkebunan, pertanian, dan sebagainya. Tapi entah mengapa Kota Tape ini masih termasuk kota tertinggal. Saya khawatir orang-orang seperti yang saya ceritakan di atas yang membuat Kota Tape ini masuk dalam kategori Tertinggal. Sebenarnya tidak hanya itu, mungkin masih banyak permasalahan lainnya dalam pemerintahan Bondowoso, sehingga Bondowoso bisa di olok-olok seperti itu. Bahkan ada yang bilang kalau Bondowoso merupakan Kota Mati, itu sering saya dengar selama saya tinggal di Kota Jember, tetangga Kota Tape. Tentu anda tidak mau kan, ada bagian dari Indonesia mendapatkan hujatan semacam itu, tentu anda juga tidak akan menganaktirikan bagian dari Indonesia ini. 


Sekian cerita ini saya sampaikan. Saya tidak tau cerita ini akan sampai kemana, semoga saja tidak hanyut oleh banjir yang terjadi di ibu kota negara ini. Dari ujung timur Pulau Jawa, saya sampaikan salam hangat untuk yang merasa dingin.


Minggu, 08 Februari 2015

Hangat Dengan Cinta



Hangat Dengan Cinta “Ketika Dingin Melanda” -26/06/2014

Oleh : Hudy Majnun

Bukan agenda apalagi Proker. Ini hanya sebuah catatan perjalanan dari sebagian - yang sangat kecil- anggota PORSA. Saat libur panjang melanda dan bagian kecil ini masih bertahan di tahan perantauan, Djember. Tidak ada kuliah, rapat, jadwal latihan rutin, apalagi tugas, mungkin kalau ngelesi masih ada. Salah seorang dari kami mempunyai ide cemerlang untuk mengatasi kekosongan, “jalan-jalan yuk...” katanya. Itu ditanggapi dengan gembira oleh teman-teman yang masih bertengger di Djember, termasuk diriku. Maka palu di ketok, kami sepakat untuk berangkat hari kamis pagi. Karena kesepakatan berangkat kamis pagi, jadi kami berangkat kamis siangnya, soalnya banyak alasan yang membuat kesepakatan awal gagal, tapi bukan alasan ngelesi. 

Perjalan menuju lokasi air terjun berlangsung cukup lama, karena kami harus sering istirahat. Maklum, olahraga yang kami lakukan tidak pernah seperti itu. Paling, kami hanya lari-lari kecil di alun-alun atau lapangan Unet, kemudian malamnya ngopi sampai pagi. Jadi, stamina kami cukup baik jika dibanding dengan kakek kami. Sekitar 2 jam berjalan, kami baru sampai di bawah air yang terjun bebas itu, namanya Air Terjun, letaknya di Panti, tepatnya di Hutan. Tapi, sebelum sampai di lokasi ada cerita kecil yang sedikit lucu dan menjijikkan. Salah satu teman kami kakinya terkena hewan kecil nan imut namun menjijikkan, namanya pacet. Dia harus berjingkrak-jingkrak karena hewan itu. Ada yang tertawa dan ada yang membantunya, tapi semuanya tetap bersama. Kaki temanku berdarah dan hewan itu tak mau melepaskan dirinya. Untungnya aku masih ingat saran teman saya yang mengaku dirinya Backpacker & photografer, ia pernah bilang “kalau ke tancak jangan lupa bawa minyak kayu putih”. Saran itu cukup ampuh untuk melepaskan gigitan pacet dan menghentikan pendarahan akibat gigitannya. 

Selama berada dekat air terjun kami menghabiskan waktu dengan mandi, makan-makan, foto bersama, sesekali selfie, dan membuat api. Api yang buat tak kunjung jadi, tapi untungnya lagi ada yang membawa minyak tanah, api pun jadi. Di sana dinginnya sangat luar biasa, bisa menembus sampai ke tulang sum-summu. Jadi jangan pernah sendirian kalau kesana, apalagi pernah terjadi tragedi anak yang meninggal disana, entah apa penyebabnya, yang jelas Tuhan penyebab utamanya. Datanglah ke sana bersama teman-teman atau pacar-kalau ada, agar tak kedinginan.

Mengenai keindahan air terjunnya, itu tidak bisa saya umpamakan dengan apapun, indah sekali, lebih indah dari mantan kekasih. Setelah beberapa jam kami mandi dengan hanya menggunakan kolor (hanya laki-laki), kami merasa kedinginan. Sesekali menghangatkan diri dekat api, tapi itu tidak cukup. Jadi, kami menghangatkan diri dengan bercanda sekonyol mungkin hingga menyebabkan tawa yang menguras banyak tenaga. Itulah cara ter-ampuh untuk menghangatkan tubuh saat dingin melanda. Menurut teori, tertawa itu seperti olahraga dan membuat kita awet muda serta jauh dari resiko stres, tapi terlalu banyak tertawa apalagi sendiri bisa dianggap gila/edan. Karena, tertawa membuat seluruh bagian tubuh bekerja termasuk saraf-saraf, katanya sich. Tapi percayalah, ini sering kurasakan. 

Mengawali sebuah tawa sulit-sulit-gampang, apalagi kalau bersama orang-orang baru. Harus ada yang jadi pemantik, sehingga bisa meledakkan sebuah tawa yang besar. Saya punya keyakinan, untuk menghadir sebuah tawa dalam anggota PORSA tidaklah sulit, karena selama ini kita terlatih hidup bersama, susah senang bersama, makan sebungkus beramai-ramai, dan sebagainya. Jadi, jangan ragu-ragu mengawali sebuah kekonyolan, apalagi di saat semua merasa kedinginan, tawa akan menghangatkan tubuhmu. Tapi jangan membuat tawa pada saat yang tidak tepat, misal saat rapat, diskusi seriuz, dll. Meskipun kadang kita terbiasa berbuat hal yang konyol, kita juga harus tau tempat. Apalagi pada saat RAT, itu adalah hal yang sangat seriuz dan tidak boleh ada tawa saat sidang berjalan, kecuali keceplosan. Meskipun sudah terlanjur keceplosan dan itu konyol atau lucu, kita harus tetap memasang wajah seriuz meskipun sebagian orang tengah ngedhen menahan tawa. Sekian tips tawa dari saya. Lanjut pada cerita di tancak ya.

Sore hampir tiba, makanan sudah habis, amunisi tawa juga sudah habis, awan-awan hitam juga sedang mengintai kami, kami bergegas pulang sebelum hujan menyerang. Sampai di bawah, hampir dekat dengan parkiran, ternyata, semua teman-teman saya terserang oleh hewan imut menjijikkan itu. kaki-kaki temanku yang basah menjadi sarang hangat bagi para pacet. Harus terulang lagi jingkrak-jingkak oleh salah satu teman seperti perjalanan awal, aku menyiramnya dengan minyak kayu putih, sesuai saran temanku. Ada juga yang masih mendokumentasikan hewan yang menempel di kakinya. Kali ini saya juga terserang hewan itu, hanya satu yang menempel di sela jariku. Saya telah melakukan kesalahan karena telah membasaih kaki saat perjalanan. Itu bisa menjadi sasaran hangat bagi hewan itu. Jadi, saran lagi dari saya – bisa dipakai atau hanya ditampung - , kalau ke tancak, saat perjalanan, jangan sampai kakimu atau sandalmu basah, ingat,,! Terimakasih, itu cerita dan tips dan saran juga dari saya.