Selasa, 16 Mei 2017

PERANG




Oleh : Hudi Majnun

Sejak SMA saya sudah menyukai buku. Waktu itu, buku paling berkesan adalah LKS (Lembar Kerja Siswa), yang wajib saya beli dari sekolah. Di dalamnya terdapat materi singkat-mengenai berbagai macam mata pelajaran-, dan dilengkapi dengan soal-soal latihan. Tentu semua orang yang bersekolah pernah mengalami, dan mungkin buku itu masih menjadi kenangan indah sampai saat ini. Meskipun begitu, saya sangat kesulitan memahami isi buku tersebut. Karena waktu itu, saya tidak mengerti bagaimana cara membaca yang baik dan benar. Setiap kali membaca, saya selalu berusaha mengingat kalimat demi kalimat hingga lupa untuk memahaminya.
Ada beberapa guru yang menyuruh menghafal materi dalam buku LKS. Kemudian, murid disuruh mengulangi kalimat dalam buku tersebut di depan kelas, tanpa membawa teks. Secara tidak langsung, hal itu menjadi kebiasaan yang melekat. Ketika membaca, saya sering berusaha menghafalnya. Bahkan, kebiasaan seperti itu masih sering saya alami secara otomatis sampai saat ini. Sesekali, setiap membaca buku, saya selalu membaca dua sampai tiga kali, agar dapat mengerti dan sekaligus menghafalnya. Apalagi buku yang berhubungan dengan angka-angka dalam sejarah. Misalnya, tanggal dimulai dan berakhirnya Perang Dunia ke II, dan sebagainya.
Setelah kuliah, saya sering berkumpul dengan teman-teman yang suka membaca. Namun, saya tetap tidak menemukan cara terbaik dalam membaca. Apalagi yang saya baca adalah buku non fiksi atau materi perkuliahan. Sebenarnya, membaca itu bukan untuk menghafal, tapi untuk memahami dan memberi pengalaman bagi si pembaca. Pada akhirnya, pembaca akan semakin memperkaya wawasan. Meski begitu, sesuatu yang melekat sejak SMA itu sulit dihilangkan.
Setelah saya bosan dengan bacaan non fiksi, saya berusaha mencari pelarian dengan membaca buku fiksi, seperti novel, kumpulan puisi, kumpulan cerpen, dan sebagainya. Ternyata membaca buku fiksi membuat saya sedikit menghilangkan penyakit yang saya idap sejak SMA, yaitu gairah untuk menghafal. Karena buku fiksi tak sesulit buku non fiksi yang penuh dengan teori. Bacaan fiksi ternyata sangat kaya akan pengetahuan, dan bukan hanya sedekar fantasi belaka.
Oleh sebab itu, saya mulai mengoleksi buku-buku fiksi. Pada bulan November 2013, saya datang ke sebuah toko buku, dan selalu bingung setiap kali melihat tumpukan buku. Karena di sana, setiap jenis buku berada pada rak yang berbeda. Apalagi uang untuk membeli buku sangat sedikit, mungkin hanya bisa beli satu buku. Saat itu saya sangat tertarik untuk mengetahui filsafat, tapi saya sedang menyukai novel. Akhirnya saya melihat-lihat rak novel barat, dan di sana bertemu dengan Sophie. “Ini dia” dalam benakku. Ia bukan seorang wanita, melainkan sebuah novel yang ditulis oleh Jostein Gaarder, dengan judul Dunia Sophie. Itu adalah novel yang berisi perjalanan seorang anak perempuan bernama Sophie dalam belajar filsafat.
Gaarder sangat pandai menyampaikan sesuatu yang berat dengan ringan. Sebenarnya, dalam buku tersebut, Gaarder ingin menjelaskan mengenai perkembangan filsafat barat. Akhirnya dengan bantuan Sophie dan guru filosofnya, ia dengan sangat ringan menjelaskan hal tersebut. Dan saya bisa sedikit memahami. Buku setebal 798 halaman tersebut saya selesaikan dalam waktu sekitar 6 bulan. Banyak fantasi-fantasi yang saya alami ketika membacanya. Rasanya pikiran saya mulai terbuka sejak membacanya.
Di dalam novel tersebut, banyak membahas tentang asal-usul hidup dan berbagai Tuhan. Banyak pencarian Tuhan yang dilakukan oleh para filsuf dengan menggunakan akal. Ada yang percaya dan ada yang tidak. Bahkan ada seorang filsuf yang menganggap bahwa Tuhan telah mati. Mereka selalu melakukan pembuktian-pembuktian dengan akal. Sesuatu yang rasional/masuk akal. Kurasa mereka tidak akan menemukannya, sebab Tuhan itu gaib.
Saya sempat terpengaruh oleh buku tersebut, dan mungkin sempat menjadi seorang atheis. Ya, ternyata buku yang kita baca akan memberi pengalaman, serta bisa membentuk pola pikir dan perilaku kita. Sama halnya ketika kita membaca buku percintaan, maka kita akan menjadi romantis, atau setelah membaca buku humor, sseeorang bisa berbakat menjadi pelawak, dan seterusnya.
Karena tertarik dengan tulisan Gaarder, saya mengoleksi berbagai judul buku karyanya. Tentunya masih dengan pembahasan mengenai Filsafat yang ia sajikan serenyah kerupuk.
Akibat pengaruh buku tersebut, saya meninggalkan tugas akhir yang bernama skripsi selama lebih dari satu semester. Rasanya, tema penelitian yang saya ambil tidaklah masuk akal, karena berurusan dengan ajaran Tuhan atau agama. Tema yang diangkat mengenai sejarah Islam. Saya harus meneliti sejarah dan perkembangan sebuah pesantren beserta ajarannya. Itu sesuai dengan jurusan saya, yaitu Sejarah. Judul yang saya ajukan sudah terlanjur disetujui sebelum saya membaca Sophie. Namun harus terbengkalai.
Tekanan dari dosen pembimbing terus datang bertubi-tubi, bagaikan hujan dan petir yang membentak bumi. Akhirnya saya menyerah, karena tekanan juga datang dari orang tua dan kekasih. Saya mencoba mencari berbagai referensi mengenai tema penelitian, yaitu buku-buku Islam. Itu terpaksa saya lakukan, karena sangat sulit mengganti tema penelitian, apalagi sistem administrasi yang harus dilewati sangat ruwet.
Sekitar Juli 2014, saya mulai kembali mengerjakan skripsi tersebut. Saya mulai membaca buku referensi mengenai ajaran Islam, pesantren, dan sebagainya. Betapa bacaan itu sangat sulit untuk dicerna, karena pengaruh Sophie masih sangat kuat di kepala. Selain membaca buku jenis tersebut, saya juga harus melakukan penelitian di lapangan. Saya datang ke sebuah pesantren. Tempat itu terasa sangat asing, karena sejak kecil saya tidak pernah hidup di pesantren. Tapi, ketika masuk, kesan baik langsung saya dapatkan. Orang-orang di sana sangat ramah, murah senyum, wangi, dan banyak yang memakai sarung. Kemudian saya melakukan wawancara dengan beberapa orang di sana. Setelah itu, saya harus menuliskan hasil wawancara. Kemudian menemui dosen pembimbing, untuk menyampaikan hasilnya.
“Kamu harus terlibat dalam kegiatan di sana. Supaya kamu benar-benar paham dan mengerti” kata dosen pembimbing. Tidak tahu harus berkata apa waktu itu, jadi saya iya-kan saja sarannya. Yang penting, tugas ini cepat selesai.
Saya datang lagi ke pesantren, untuk menanyakan kegiatan pengajian yang mereka lakukan dan terbuka untuk umum. Ternyata ada kegiatan pengajian yang tiap tengah malam mereka lakukan, dan itu terbuka untuk umum. Mereka menyarankan agar saya datang di acara itu. Dalam kepala dan hati saya berkecamuk, karena itu tidak masuk akal menurut buku Sophie. Ya, saya sadar, bahwa pikiran masih dalam pengaruh buku itu. Lagi-lagi saya terpaksa mengikutinya demi sebuah data.
Banyak sekali orang-orang yang datang, masjid terpenuhi hingga halamannya. Mereka berdzikir dan bersholawat dengan khusuk, dan saya hanya tolah-toleh melihat mereka. Saya berusaha mengikuti mereka, agar terlihat khusuk juga. Rasanya sakit hati ini, melihat diri yang sia-sia di antara mereka. Pengajian dan dzikir bersama itu dimulai dari jam 00.00 sampai 02.00 dini hari.
Sejak saat itu saya berhenti sejenak membaca buku-buku fiksi, dan fokus membaca tentang Islam dan pesantren. Lambat laun, saya mulai memudarkan segala ajaran yang ada di dalam buku Dunia Sophie, dan mulai memperkaya pengetahuan tentang Islam. Ternyata, dalam buku tersebut, para penulis sudah tidak lagi mempermasalahkan Tuhan. Pasti mereka sudah menemukan Tuhannya dan lebih banyak membahas tentang bagaimana ajaran Tuhan, Allah.
Setiap hari saya membaca buku tentang Islam, sejarah, dan perkembangan pesantren, kamudian menulis untuk skripsi. Banyak pengalaman yang sangat luar biasa membaca dan menulis mengenai hal tersebut. Dengan datangnya Islam, manusia sudah menemukan Tuhannya. Terutama di Indonesia. Sebelum datangnya Islam, orang-orang masih menyembah berhala, yang disebut Animisme dan Dinamisme. Mereka percaya kepada benda-benda dan Roh halus. Kemudian mereka menganut agama Hindu dan Budha, baru setelah itu datanglah Islam sebagai penyempurna. Meskipun begitu, kepercayaan tersebut masih tetap ada. Hindu, Buhda, dan Islam hidup berdampingan dengan damai.  
Perjuangan orang-orang terdahulu memang patut kita hargai, karena mereka mengorbankan banyak hal dalam menyebarkan kebaikan agama Islam. Salah satu sarana dalam menyebarkan Islam adalah pesantren. Dengan begitu, banyak hal positif yang saya dapatkan. Selain menambah pengetahuan, ternyata juga bisa menambah keimanan. Akhirnya pada awal semester 9, saya mampu menyelesaikan skripsi tersebut.
***
Perang telah terjadi di dalam pikiran dan diri saya. Secara tidak sadar, ketika membaca tulisan orang, akan membuat kita menjadi apa yang penulis pikirkan. Jika banyak buku yang kita baca, maka pikiran kita akan menjadi medan perang dari pikiran penulis yang berbeda-beda. Di dalam beberapa buku, terdapat banyak hal yang berbeda dan bertentangan. Misalnya, buku filsafat dan buku Islam, atau penulis Indonesia dan penulis barat. Dalam buku filsafat banyak pemikiran yang menentang Tuhan, tapi dalam buku Islam banyak membahas tentang pemujaan dan ajaran Tuhan.
Penulis barat, kebanyakan menulis sesuai dengan kebudayaan mereka, dan penulis Indonesia juga menyesuaikan dengan adab negaranya. Tentu itu adalah hal yang sangat berbeda. Agar tidak selalu menjadi medan perang, maka menulislah, kita ciptakan perang yang lebih indah di pikiran orang lain.
Memang, terpengaruh oleh bacaan sudah menjadi hal biasa, apalagi seorang pembaca awan seperti saya. Labil. Namun dapat saya simpulkan, membaca buku apapun tidaklah haram. Asal jangan terlalu menganutnya, cukup kita jadikan referensi untuk memperkaya pengetahuan. Dengan membaca buku, kita akan semakin bodoh, sebab kita akan menyadari, bahwa masih banyak buku lain yang belum dibaca, dan itu adalah pengetahuan, jendelanya dunia.
“Sebuah buku adalah dunia ajaib penuh simbol yang menghidupkan kembali si mati dan memeberikan hadiah kehidupan yang kekal kepada yang masih hidup. Sungguh tak dapat dibayangkan, fantastis, dan “ajaib” bahwa kedua puluh enam huruf dalam alfabet, bisa dipadukan sedemikian rupa sehingga bisa memenuhi rak raksasa dengan buku-buku dan membawa kita ke sebuah dunia yang tak pernah berujung. Dunia yang selalu bertumbuh dan bertumbuh, selama masih ada manusia di muka bumi”_Jostein Gaarder.

Kamis, 18 Juni 2015

Buku Kekasihku


Oleh : Hudi Majnun 
Hari itu, ketika malam sudah berada pada akhir perjalanan, aku harus terbangun karena sebuah mimpi buruk. Mimpi itu terasa begitu nyata, hingga membuatku terbangun dalam keadaan menangis. Kurasakan air mata membasahi pipi. Dalam mimpi itu aku menghadiri acara pemakaman orang yang paling aku kasihi, ya dia kekasihku. Ia meninggal, dan aku pembunuhnya, tapi tidak ada yang tahu bahwa aku yang telah membunuhnya. Aku membawa karangan bunga dan kartu ucapan duka cita. Kartu ucapan itu memang sedikit berbeda dengan orang kebanyakan, dan itu cukup menarik perhatian orang. Ketika aku meletakkan karangan bunga itu, orang-orang melihatku dengan aneh. Seperti mata yang memperhatikan sebuah kebodohan. Kartu itu aku tuliskan, “Akulah yang paling berduka atas kepergianmu. Aku menyesalinya dan semoga kamu masih mencintaiku”.
Atas kejadian dalam mimpi itu, aku mengalami ketakutan yang berlebih. Aku takut kehilangan orang yang aku kasihi. Oleh sebab itu, sesering mungkin aku mengajaknya bertemu, untuk sekedar ngobrol, jalan bareng, berlibur, ke toko buku, dan sebagainya. Setidaknya, aku dapat melupakan ketakutanku itu, atau paling tidak, kalau ia memang benar akan pergi, aku masih bisa menikmati kebersamaan diakhir hidupnya. Aku melakukan banyak cara agar bisa melupakan mimpi itu, termasuk mengabadikan kisahku dengan kekasihku melalui sebuah tulisan. Akan kususun menjadi sebuah kisah yang nantinya bisa dibukukan. Aku selalu menulis kejadian yang menarik dan aneh dengan kekasihku, termasuk kejadian aneh yang kadang aku alami sendiri.
Semakin lama aku menulis, semakin aku lupa dengan mimpi buruk itu. Tapi kemudian, kisahku dengan kekasihku sudah tak ada yang menarik lagi untuk ditulis. Kau tau, saat itu aku pun berhenti menulis. Aku kehabisan inspirasi. Sudah cukup banyak kejadian yang aku tulis saat bersama kekasihku. Ini salah satunya :
Suatu malam, ketika sedang minum kopi di cafe, aku harus sedikit berdebat panas dengan kekasihku. Ia tak setuju dengan pendapatku mengenai suatu kebaikan yang harus dilakukan orang.
Aku berkata “kita tidak boleh membalas orang yang jahat dengan jahat pula”
“Jadi, aku harus diam walau ada orang yang menyakitiku?” sahut kekasihku dengan mengertukan dahinya.
“Tidak seperti itu. Kejahatan itu seperti api, tidak mungkin kita memadamkan api dengan api kan. Pastinya harus dengan air”
“Lalu, apa yang harus aku lakukan kepada orang yang pernah sangat sombong padaku dan ia juga sangat meremehkanku?”.
“Kalau itu hanya pernah, tapi tidak dia ulangi sekarang, sebaiknya kau menyambutnya dengan baik”
“Tidak semudah itu. Aku terlanjur sakit hati dengan sikapnya. Hanya ketika ada butuhnya saja ia mendekatiku”
“Bagus dong kalau dia ingin akrab denganmu. Berarti dia sudah berubah, tapi jangan kau tanggapi niat baiknya dengan buruk. Ia bisa saja berubah lagi menjadi seperti yang sebelumnya”
Alahh, ia seperti itu hanya karena butuh bantuanku” nadanya meninggi.
“Jangan terlalu berpikir buruk. Apa salahnya berbuat baik kepada orang, sekalipun ia tidak baik dengan kita”
“Sudahlah, aku malas denganmu, kau tak pernah membelaku”
Perdebatan itu berhenti. Kekasihku terlihat sangat marah, aku bisa membaca raut mukanya yang cemberut. Aku pun diam, karena tak ingin ia tambah marah. Jadi kami saling diam sampai kopi di gelas aku habiskan dan kita pulang kerumah masing-masing. Sampai aku mengantarnya di depan rumahnya, ia tak bicara apapun, hanya ucapan “Terimakasih telah mengantarku” katanya, itupun tanpa melihatku.
*
Keesokan harinya kami masih tetap saling diam. Setelah tiga hari ia baru sembuh dari penyakit diamnya, aku turut bahagia. Lima hari setelah perdebatan itu aku mengalami hal aneh. Malam itu, tepatnya malam jum’at, aku mendapati tubuhku basah kuyup dan berbau amis. Aku terbaring di tengah kerumunan orang, di antara orang-orang itu aku melihat orang bersurban putih sedang komat-kamit dengan segelas air tangan kirinya dan seutas tasbih di tangan kanannya. Kulihat tasbih itu digerak-gerakkan dengan jempol. Kemudian ia meminum air itu dan menyemburkannya ke mukaku ”bhuuuhh...”. Karena bau air yang kurang sedap, aku balas menyemburnya dengan air yang jatuh ke mulutku, sambil berteriak “wooyy....”. Tiba-tiba orang-orang yang lain memegangiku dengan kencang, kemudian orang bersurban itu memegang keningku, tangannya sangat dingin. Aku diam saja, takut orang-orang itu memegangku dengan kencang lagi. Setelah aku tenang, aku di dudukkan.
“ada apa ini ?” kataku, kemudian orang bersurban itu menjawab.
“kau sudah sadar nak?” sahut orang bersurban itu.
“memangnya aku kenapa pak ?”
“barusan kamu kesurupan”
“aku tidak tahu itu. Kenapa bapak menyemburku barusan ?”
“itu biar setannya keluar dari tubuhmu. Tadi setannya melawan, dia menyemburku juga. Tapi untungnya dia keluar setelah aku membacakan mantra pamungkas”.
“tapi aku ingat tadi, ketika bapak menyemburku”
Bapak itu terdiam, beberapa saat kemudian ia baru menjawab lagi, “berarti setannya tinggal sedikit tadi”.
“iya mungkin”
Setelah itu aku disuruh membersihkan diri. Mandi dan ganti baju. Setelah aku rapi dan wangi, aku ke ruang tamu. Ternyata sudah sepi, hanya tinggal ibu dan ayahku.
“kemana bapak yang pakai surban itu bu ?” tanyaku.
“dia sudah pergi, kamu terlalu lama mandinya” jawab ibuku.
Aku bertanya kepada orang tuaku tentang apa yang telah terjadi. Katanya, aku mengalami kesurupan. Saat sedang duduk di depan komputer, tiba-tiba aku mengerang-erang dan melompat-lompat. Sampai akhirnya aku terjatuh di kolam ikan yang ada di depan rumah. Kemudian mereka mengangkatku ke ruang tamu dan memanggilkan seorang ustad.
Aku hanya ingat saat duduk di depan komputer. Waktu aku sedang menulis sebuah cerita tentang kekasihku. Dan waktu itu, aku kehabisan kata untuk menulis. Aku membayangkan kekasihku sedang marah, dan aku juga terbawa emosi membayangkannya. Aku coba mengosongkan pikiran, agar tidak terbawa emosi. Tiba-tiba aku merasa dingin dan mengantuk dan aku tidak ingat apa-apa lagi. Sadar-sadar aku sudah seperti itu. Mungkin benar aku kesurupan, atau mungkin hanya sekedar mengigau yang berlebihan, entahlah. Yang jelas, saat itu aku sedang kehabisan inspirasi untuk menulis, tidak ada kisah yang menarik lagi dengan kekasihku. Mungkin saja, karena pikiranku saat itu kosong, hingga setan bisa masuk dengan sesuka hati. Seperti kata orang, orang yang pikirannya kosong akan gampang kesurupan.
**
Untuk meneruskan tulisan yang tak kunjung usai itu, aku melakukan sebuah skenario dengan kekasihku, tanpa ia mengetahuinya. Hari itu, aku ingin menguji seberapa besar rasa kasihnya untukku. Aku mengajaknya ke sebuah pantai yang ombaknya cukup tenang, dan kami bisa menikmati pantai itu dari atas tebing yang tak terlalu tinggi, hanya sekitar 1-2 meter saja. Aku mengajaknya naik. Beberapa saat kemudian, aku berpura-pura mengambilkan sebuah bunga yang tumbuh di pinggir tebing itu. Ya, saat mengambil bunga itulah aku pura-pura terpleset dan jatuh ke laut. Aku berani melakukan itu, karena aku cukup pandai berenang. Selain itu, rencana ini sudah aku persiapkan. Jadi Hp, dompet, dan benda penting lainnya aku tinggalkan di atas tebing itu. Aku ingin tahu, apa yang kekasihku lakukan melihatku terjatuh.
Aku menjatuhkan diri dan pura-pura tidak bisa berenang. Aku melihat kekasihku panik, tidak ada orang yang bisa ia mintai pertolongan. Ia melepaskan sandal dan tasnya, kemudian ia nekat menceburkan diri. “byuuurrr”, ia tenggelam beberapa detik di dalam air yang agak dangkal itu, kemudian ia muncul dengan cara mengambang, tak bergerak sedikitpun. Aku panik. Segera aku menghampiri dan menggendongnya kepermukaan. Kulihat ada darah mengalir dari sela-sela rambutnya. Ia tak sadarkan diri, aku membawanya ke pos pengamanan pantai. “harus segera dilarikan ke rumah sakit” kata petugas itu.  Petugas itu menelepon mobil ambulan dan segera mengamankan lokasi kejadian.
Beberapa saat kemudian mobil ambulan berwarna putih datang. Aku menemami kekasihku menuju rumah sakit terdekat. Kulihat wajahnya begitu pucat, aku menahan darah yang keluar dari kepalanya dengan tanganku. Tangannya terasa sangat dingin, aku menggenggamnya. Sesampainya di rumah sakit, ia langsung dibawa ke ruang UGD. Ia tak sadarkan diri selama 2 hari, dan baru di hari ketiga ia dipastikan telah meninggal dunia. Kata dokter ia mengalami gegar otak dan pendarahan. Jangan tanya bagaimana perasaanku.
Setelah ia dikubur, aku pergi ke makamnya dengan membawa karangan bunga. Saat itulah aku kembali teringat pada mimpi buruk yang pernah aku alami. Oleh sebab itu, aku membuat karangan bunga dan kartu ucapan sama persis dengan mimpi itu “Akulah yang paling berduka atas kepergianmu. Aku menyesalinya dan semoga kamu masih mencintaiku”. Setelah meletakkan bunga itu, aku tidak lagi pulang kerumahku, karena polisi sudah siap membawaku sebagai saksi kejadian sekaligus tersangka.
Sampai di kantor polisi, beberapa orang menanyaiku banyak hal, mulai dari yang penting dan yang tidak penting. Menurutku.
“Kenapa kamu pergi ke tempat itu?. Sudah jelas ada papan yang bertuliskan, bahwa tempat itu dilarang” tanya polisi itu.
“Aku ingin melakukan sesuatu yang indah bersama kekasihku pak. Karena aku pernah bermimpi bahwa kekasihku akan pergi” jawabku.
“Apa hubungannya dengan mimpimu?. Lalu bagaimana kalian bisa terjatuh ?, jawab dengan jujur”
“Mimpi itu tentang kekasihku pak, bapak tahu kan, bahwa mimpi itu adalah petanda. Aku sengaja melompat pak. Aku ingin tau seberapa sayang kekasihku, dan apa yang akan ia lakukan jika melihatku terjatuh”
“Lalu apa yang dilakukan kekasihmu itu?”
Kurasa polisi itu menggunakan rumus “5W+1H” saat menanyaiku. Aku melanjutkan “ia melompat karena ingin menolongku pak. Aku senang melihatnya melompat, itu tandanya ia sangat menyayangiku” aku menjawabnya sejujur mungkin, aku tidak ingin bertambah dosa karena bohong.
“Teruskan. Selanjutnya apa yang terjadi padanya?”
“Aku tidak tahu pak. Waktu dia melompat, ia masuk ke dalam air selama beberapa detik, kemudian muncul dalam keadaan tak sadarkan diri. Mungkin kepalanya terbentur batu atau karang yang ada disana”
“Berarti kamu sengaja melakukan itu?”
“Iya pak”
“Terimakasih atas kejujurannya”
“Sama-sama pak” aku tersenyum pasrah.
Setelah itu, aku langsung dimasukkan ke dalam jeruji besi. Dua orang memegangku dari kanan dan kiri. Seolah aku adalahpenjahat paling berbahaya yang membutuhkan pengamanan ketat.
Aku dianggap bersalah dalam kejadian itu. Mungkin aku terlalu jujur, bahkan saat sidang di pengadilan aku menjawab hal yang sama dengan jujur. Pengadilan memutuskan bahwa aku divonis hukuman penjara selama sembilan tahun, dengan tuduhan kasus pembunuhan terencana. Padahal kau tau kan, aku hanya ingin menguji kekasihku, bukan untuk membunuhnya.
Aku tidak dapat berbuat apa-apa lagi, kekasihku telah mati. Aku percaya, pasti ada hikmah dibalik semua kejadian. Hikmah yang kurasakan, aku dapat meneruskan menulis-meski dalam penjara-, dan tulisan tentang kekasihku itu akan aku buat sedikit berbeda dengan kejadian aslinya. Aku akan membuat ending yang bahagia, sampai kami menikah, punya rumah, keliling dunia, punya anak, masuk surga bersama, dan sebagainya. Dengan begitu, kekasihku tidak akan pernah mati, kekasihku akan terus hidup. Aku akan terus menulisnya hingga menjadi sebuah buku dan aku akan selalu membacanya. Nantinya, Buku itu adalah kekasihku.
***
Oya, ada hal yang aku lupakan. Kau bisa memanggilku dengan nama Soir, dan kekasihku bernama Lala, tepatnya Almarhum Lala. Tokoh lain seperti orang tuaku, pak ustad, petugas pantai, pak polisi, supir ambulan, dan juga setan yang pernah merasukiku, tak perlu aku sebutkan namanya. Karena pada dasarnya kita adalah sama, yang beda mungkin hanya setan itu.

Minggu, 26 April 2015

Harga Sebuah Kesepian



Oleh : Hudy Majnun



Suatu sore yang cerah, ia menikmati segelas teh hangat untuk menghangatkan diri, semakin hangat lagi saat ia menikmati teh di dekat tungku api dapurnya. Rasanya seperti tak punya dosa apapun, tidak ada pikiran apapun yang dapat mengganggunya. Sesekali tangannya mengembangkan dekat api, agar semakin hangat yang ia rasakan. Setelah merasa hangat, ia keluar dari dapur yang beralaskan tanah. Sengaja rumahnya tidak dilapisi semen ataupun kramik, dengan begitu ia merasa lebih dekat dengan bumi. Beberapa saat kemudian ia keluar dari rumah, menuju halaman yang dikelilingi pepohanan. Setiap hari ia selalu menyempatkan diri untuk duduk di kursi halaman rumahnya, menikmati setiap hembusan angin, menikmati lambaian dedaunan, bunga-bunga, dan hangatnya matahari yang kadang menyengat. Setiap kali ia merasakan ketenangan dan kenikmatan di halaman rumahnya, ia selalu berkata “Dunia yang Agung” dengan menelentangkan kedua tangannya, seolah ia baru saja terbebas dari kurungan panjang. Tak perlu mencari daerah yang tinggi/mendaki gunung untuk menikmati senja ataupun matahari terbit, karena rumahnya berada di daerah yang cukup tinggi. Rumahnya begitu sepi, hanya ia seorang diri. Tetangganya cukup jauh dari rumahnya, tetangga paling dekat berada di jarak sekitar 100 M. 


Dua anaknya ia sekolahkan di kota yang cukup jauh dari rumahnya. Sebenarnya ia tak ingin menyekolahkan anaknya, tapi karena sudah menjadi tanggungjawab dan tuntutan dari keadaan, ia terpaksa menyekolahkan anaknya hanya untuk menjalani kewajibannya sebagai orang tua. Sekarang, anak pertamanya sudah kelas 3 SMA dan anak keduanya baru kelas 4 SD. Sejak sekolah, kedua anaknya sudah tidak tinggal dengan orang tuanya, mereka tinggal dengan nenek dari ibu, karena lebih dekat dengan sekolah.


Ia memutuskan hidup sendiri ketika ditinggal istrinya. Saat anak pertamanya baru lulus SD, istrinya pergi entah kemana, meninggalkan dirinya tanpa pesan apapun. Setelah beberapa bulan kemudian istrinya memberi kabar, bahwa ia berada di negeri tetangga dan sudah bekerja disana. Itu cukup melegakan dirinya sejenak, walau ia tak terima dengan perlakuan istrinya, ia tetap sabar dan mencoba berpikir baik mengenai istrinya, hatinya masih lebih berfungsi daripada otaknya. Tapi, setelah kabar dan sabar itu terjadi, sebulan kemudian istrinya memberi kabar lagi melalui surat. Ia mengabarkan bahwa dirinya baik-baik saja dan bahagia, selain itu surat itu juga berisi tentang permintaan cerai dari istrinya, dengan alasan ia lebih bahagia seperti itu. Itu cukup membuat pria bernama Rasi ini terpukul, hancur hatinya, sedih, kehilangan, dan sebagainya. Namun, itu hanya ia rasakan beberapa hari saja. Karena ada sesuatu yang ia kerjakan, yang membuatnya menjadi lebih sabar. 


Setelah itu ia kembali tenang dan semakin tenang saat hidup sendirian, kemudian pindah rumah ke lokasi yang lebih tenang, di daerah pegunungan. Di sanalah ia menemukan ketenangan, namun ia tak pernah kesepian, karena di sekitarnya banyak hewan-hewan yang senantiasa menjadi teman. Ketika pagi, ia disambut berbagai kicau burung yang merdu, sampai sore tak pernah sepi hewan apa saja berkeliaran di pepohonan halaman rumahnya. Sengaja ia tanami halamannya dengan pohon-pohon yang menjadi kesenangan hewan-hewan. Ada pohon bringing yang berdaun lebat, pinus, dan sebagainya. Halamannya lebih luas daripada rumahnya. Ada hal aneh yang sering terjadi padanya, ketika berada di halaman rumahnya, ia kadang terdiam dalam waktu yang lama, bisa dari pagi sampai sore ia duduk di kursi bawah pohon, kadang seperti orang tidur, tapi ketika ada tetangganya memanggil ia langsung menjawab. Ketika Rasi seperti orang tidur, kadang ada hewan mendekat dan hinggap di kursi tempat ia duduk, kursi panjang yang terbuat dari kayu seadanya, tanpa sandaran. Ia selalu bersandar ke pohon kalau sedang duduk disana. Entah kenapa hewan-hewan itu tidak kabur meskipun ia bangun tiba-tiba. 


Kedua anaknya kadang datang ke tempat itu, untuk minta jatah uang jajan dan sebagainya. Ia tak pernah kekurangan, sawah yang ia tanami selalu mencukupi kebutuhan ekonomi dan biaya untuk anaknya. Suatu sore, anak pertamanya datang ketika Rasi sedang tertidur di kursi biasanya. Anaknya melihat ayahnya sedang tertidur di kusri, kemudian ia ingin membuat kejutan dengan mengagetkan ayahnya. Ia mendekat pelan-pelan, ketika ia sudah berada di belakangnya ayahnya dan siap mengagetkan, tiba-tiba ayahnya lansung menoleh dan berkata “hayooo, mau ngagetin ayah ya..?”, “ahh... ayah selalu begitu”, “duduk sini” lanjut ayahnya. 


Setelah obrolah di halaman selesai mereka masuk ke dalam rumah, ayahya sudah menyediakan masakan kesukaan anaknya, jamur... ya, itu adalah sayur kesukaannya sejak kecil, dan Rasi selalu mencarikan jamur untuk anaknya setiap pagi. “wahhh... ayah selalu mengerti kesukaanku” kata anaknya. Rasi hanya tersenyum. Dengan sangat nikmat mereka melahap makanan yang ada di meja. Semua makanan adalah masakannya Rasi sendiri, walau hanya makanan sederhana, itu adalah makanan yang paling nikmat menurutnya. Mungkin menurut mereka berdua makanan yang mereka makan adalah makanan yang lebih enak dari pada makanan di restoran. Mereka makan sambil berbicara santai. Rasi banyak menceritakan tentang keadaan halamannya yang semakin indah, tentang hewan-hewan, dan sebagainya. Sedang anaknya menceritakan berbagai macam permasalahan yang terjadi sekolah, di lingkungannya, dan di kota-kota besar, baik masalah bencana alam, penyakit, peperangan, teroris, permasalah politik dan pemerintahan, dan sebagainya. 


Ayahnya sangat tertarik dengan semua cerita yang diceritakan anaknya. Apalagi semua cerita mengandung masalah. Kadang memang hidup tidak luput dari masalah, tapi masalah tak harus menimbulkan perpecahan, apalagi kebencian antar sesama. 


“apa masalah yang paling hangat menurutmu, anakku?” tanya Rasi


“semua masalah terasa hangat yah. Soalnya selalu diulur-ulur penyelesaiannya, apalagi masalah di pemerintahan. Wahh... pokoknya akan pusing kalau memikirkannya”.


“yasudah... aku tidak mau kamu yang pusing karena menceritakannya padaku”.


Suap demi suap terus masuk ke dalam mulut mereka, melalui ternggorokan, kemudian lambung, dan perut. Namun pada akhirnya harus ada yang terbuang ke sungai ataupun toilet. Manusia seperti hanya sebuah penyaringan, yang tak terbuang akan kau gunakan untuk berbagai macam aktivitas, itu yang sering disebut energi. Mereka terus memakan makanan sambil sesekali berbicara. 


“memang apa yang menjadi penyebab utama permasalahan itu, anakku?” tanya Rasi.


Setelah menelan makanan yang dikunyahnya, anaknya menjawab. “tidak tau yah, mungkin mereka sedang bercanda dengan hal yang main-main, hahaha”. 


“kau bisa saja anakku. Mungkin hati mereka dikalahkan oleh otaknya, jadi ambisi mereka tidak tertahankan. Padahal solat mereka kadang masuk TV kan. Sudah solat kok masih begitu”. 


“maksud ayah?”


“tidak ada maksud apa-apa, hanya sekedar ngomong. Ayah kadang bingung, apa yang sebenarnya manusia cari”.


“cari masalah mungkin yah. Hehe. Kalau aku sendiri ya cari ilmu”.


“cari ilmu ya memang wajib. Dengan ilmu kamu akan menemukan apa yang kamu cari, bukan malah menyesatkan. Repot kalau melihat mereka dengan berbagai permasalahan itu. Mending kayak ayah disini, tidak ada sedikitpun masalah, dan tenang sekali, menikmati sebuah kemerdekaan.”


“kita kan punya dunia dan pilihan masing-masing yah”.


“begitulah yang ada dalam pikiran orang. Ilmu mereka yang bermasalah begitu banyak, bahkan gelar mereka begitu panjang, rata-rata sudah naik haji, namun pada akhirnya mereka terjebak banyak permasalahan dan tidak ada yang mau mengalah”.


Tidak ada inti dari pembicaraan itu. Makanan sudah habis, meja dibersihkan, dan anak Rasi berpamitan untuk pulang. Rasi kembali ke halaman rumahnya. Ia terbayang-bayang cerita yang disampaikan anaknya, bahkan cerita yang banyak mengandung masalah itu menggingatkannya pada permasalahannya sendiri. Ia teringat istrinya, namun tidak ada lagi sakit hati. Permasalahan dengan istrinya bukanlah sebuah permasalahan yang banyak dibayangkan orang. Itu hanyalah sebuah peristiwa biasa baginya, kehilangan sesosok istri bukan berarti kehilangan cintanya pada istrinya. Bahkan ia semakin mencintai istrinya yang meninggalkannya. Semakin hari ia semakin cinta kepada istrinya yang telah pergi, ia selalu menguatkan cintanya dengan prasangka-prasangka baik. “istriku kini tak berwujud, seperti Tuhanku, dan aku sangat mencintainya. Aku akan terus menanti dan mencari sebuah pertemuan dengan dirinya.” Cerita anaknya membuatnya mengingat banyak hal. Bahkan sesekali ia seolah seperti menjadi sisi lain dari masalah yang ada di pemerintahan. 


Tak salah ia memilih untuk hidup sendirian. Sendirian bukan berarti kesepian, disitu kita akan menemukan berbagai pengetahuna yang jernih untuk pikiran dan hati. Orang-orang yang selalu hidup di tengah keramaian pasti akan rindu sebuah kesepian. Entah dimana mereka akan menemukan kesepian, mungkin di kamar mandi, dalam lemari, atau bahkan di dalam kubur. Aku tidak pernah membayangkan orang sesibuk presiden, menteri, dan orang-orang pemerintahan lainnya bisa menemukan sebuah kesepian, atau ketenangan.