Oleh : Hudy Majnun
Ketika masih
berusia 2,5 tahun, sewajarnya anak kecil, aku suka sekali bermain. Mulai
permainan petak umpet, jual-jualan,
dan satu yang hanya pernah kumainkan sekali bersama teman-temanku, yaitu nikah-nikahan. Kata “jual-jualan” dengan
pengulangan kata, terus ditambahi imbuhan-an, itu mengartikan bahwa kegiatan
itu hanya permainan atau pura-pura, meniru kegiatan aslinya.
Aku
dan teman-teman di desaku waktu kecil sering bermain jual-jualan dan melakukan
transaksi jual beli dengan menggunakan daun sebagai uang. Tapi sayangnya tidak
ada transaksi online seperti saat
ini. Biasanya yang diperjual belikan adalah sayur-sayuran, buah-buahan, dan
sampo sachetan yang kami buat dari
pelepah pisang, kemudian kami bentuk kotak-kotak menyerupai sampo asli yang
bisa digantung pada tali. Untuk buah-buahan dan sayur-sayuran, kadang kami
menggunakan buah dan sayur sungguhan, karena di desaku buah dan sayuran sangat
melimpah. Untuk memilikinya kami tak perlu membelinya, banyak buah dan sayur
yang tumbuh liar.
Ada
yang jadi pembeli, penjual, perampok, masyarkat biasa, dan sebagainya. Semuanya
kami atur begitu saja dengan kesepakatan bersama tanpa ada rasa iri. Semuanya
terasa seperti kehidupan sesungguhnya, tapi kami lakukan dengan cara yang
sederhana, dengan rasa pri-kemanusiaan yang tulus. Tak ada diskriminasi
terhadap salah satu teman yang mendapatkan peran sebagai pencuri ataupun peran
yang kurang penting dalam permainan. Karena tujuan kami hanyalah
bersenang-senang.
Adegan
yang paling ku ingat dalam permainan jual-jualan, yaitu ketika aku menjadi
seorang pencuri. Setelah selesai mengambil barang curian, aku harus menjatuhkan
sebuah benda hingga berbunyi keras. Biasanya aku menjatuhkan piring yang
terbuat dari seng, sehingga bila dijatuhkan akan menimbulkan bunyi “klontangg!!!”, seperti itu. Hal itu dilakukan sebagai tanda bahwa ada
pencuri masuk. Agar adegan benar-benar seperti sesungguhnya, aku melakukan itu
dengan cara yang baik, yaitu dengan cara pura-pura tidak sengaja menyenggolnya.
Itu seperti penjiwaan peran. Kemudian semua warga/teman-teman terkejut dan
berusaha mengejarku. Pada akhirnya aku harus tertangkap dan mendapatkan hukuman
diikat di sebuah pohon selama beberapa menit.
Adegan
seperti itu juga ditiru dari kehidupan masyarakat sekitar, karena kami anak kecil
yang sering menjadi saksi sebuah peristiwa dan kami mengulanginya dalam bentuk
permainan. Tapi,-dalam kehidupan nyata-tak mungkin seorang pencuri memberikan
tanda saat dia sudah mengambil barang. Ini hanya permainan, maka kami membuat
tanda seperti itu. Apalagi kami tidak terlalu paham dengan kecurangan atau
kelicikan yang banyak dilakukan oleh orang dewasa.
Dalam
permainan itu, salah satu dari kami bertindak sebagai layaknya sutradara. Dan
aku pernah menjadi sutradara itu. Jadi, aku mengatur teman-temanku untuk
menjadi ini dan itu. Sebagai seorang sutradara/pemimpin, aku juga terlibat
dalam permainan, namun aku mengambil peran yang sangat mudah dan tidak
beresiko. Di akhir permainan, tidak pernah ada kesimpulan dari apa yang kami
lakukan. Setelah adegan selesai atau permainan berakhir, semua pulang kerumah
masing-masing. Bahkan ada yang harus pulang dengan menangis, karena orang
tuanya marah, akibat bermain terlalu lama.
Mungkin
permainan seperti ini terlihat keren jika menjadi sebuah film yang dapat
ditonton banyak orang. Tapi, sebuah film tak mungkin dapat direncanakan hanya
oleh salah satu orang. Permainan anak kecil memang terlihat lucu, tapi itu
sebuah karya dari kejujuran dan kepolosan mereka. Kepolosanku juga, dulu.
***
Permainan
jual-jualan dan aksi percurian mungkin seperti peristiwa sosial pada umumnya,
dan adegan itu sering muncul dalam sebuah film. Selain itu, permainan yang
sering aku lakukan bersama teman-teman kecilku dulu adalah permaian Nikah-nikahan. Dalam permainan ini, aku
pernah mendapatkan peran menjadi pengantin laki-laki. Aku disandingkan dengan
anak perempuan tetanggaku yang dulu sangat cantik-tapi sekarang sudah bersuami.
Istiana namanya, dan kami akrab memanggila Iis.
Aku
dan Iis pernah menjalani sebuah ritual-kalau di kehidupan orang dewasa itu
ritual yang sangat sakral. Kami berdua menggunakan baju pengantin yang terbuat
dari sarung dan aku mengenkannya setengah badan, dengan gulungan di dada.
Begitu juga dengan pengantin perempuan. Ketika masih kecil, seorang perempuan memang
wajar-wajar saja telanjang bersama dengan anak laki-laki lain, tapi sangat aneh
jika itu dilakukan oleh orang dewasa, apalagi ditempat umum.
Kami
berdua duduk di sebuah batu, dekat sungai. Teman-teman yang lain mengumpulkan berbagai
macam bunga. Kami menunggu sambil menduga-duga apakah yang akan terjadi, aku
sedikit merasa deg-deg-an berada
dekat Iis. Kami sama sekali tak berbicara apapun saat menunggu. Sampai beberapa
saat kemudian teman-teman yang lain datang dengan membawa berbagai macam bunga
di tangan.
Bunga-bunga
sudah didapatkan, kemudian dikumpulkan menjadi satu dalam sebuah bak kecil dan
dicampur dengan air yang diambil dari sungai. Mereka menyirami kami berdua
dengan bunga itu, istilahnya mandi
kembang. Air yang bercampur bunga terasa mulai menjalari tubuh, dari ujung
kepala melewati mata, hidung, mulut, dan terus sampai ke sela-sela pahaku.
Sesekali serpihan bunga hinggap di bibiku, aku mengigitnya, kemudian
menyemburkan pada teman yang berada di depanku.
Setelah
ritual selesai, aku dan Iis dinyatakan sah menjadi suami-istri. Ritual mandi
bunga/kembang selesai, maka permainan
juga dianggap berakhir. Dan aku tidak pernah berpikir bahwa permainan akan
berlanjut sampai adegan malam pertama. Tapi ternyata teman-teman yang lain
sudah menyediakan tempat, agar aku bisa berdua dengan Iis. Permainan terus
berlanjut.
Tempat itu cukup tertutup, seperti sebuah
kotak berukuran 1x2m yang tertutup dengan kain berwarna putih. Kami berdua
disuruh masuk ke dalam kotak. Teman-teman memperingatkanku agar tidak berbuat
aneh-aneh. Iis menurut saja apa mau teman-teman. Ia memang lugu. Kami masuk dan
hanya terdiam. Ia menunduk sepanjang di dalam kotak. “ayo, gerak-gerakkan
kainnya biar terlihat seperti pengantin malam pertama” kata teman-teman yang
berdiri di luar kotak. Aku pun menggerak-gerakkan kain itu, dan teman-temanku
bersorak “yeee”. Setelah itu selesai, mereka menyuruh kami keluar.
Aku
dan Iis masih mengenakan sarung setengah badan yang basah akibat siraman tadi.
Aku melihat Iis seperti kedinginan karena sarungnya yang ia kenakan basah.
Pikiranku kemana-mana melihat wajahnya yang cantik, dengan rambut panjang yang
terurai basah. Tangannya masih setia menempal pada pahanya dengan telapak di
bawah, begitu juga dengan tanganku. Sesekali tanganku bergerak seperti orang
sedang memaikan piano dengan mahir. Beberapa saat kemudian, entah apa yang
melintas di pikiranku. Tiba-tiba aku tergerak mendekati wajahnya. Seperti ada
sebuah dorongan dari belakang yang membuatku mencium pipi Iis. Astaga, rasanya
seperti mencium kain sutra yang begitu halus. Ketidaksengajaan yang berlangsung
satu detik itu tak membuat Iis mengubah posisinya, ia tetap terdiam.
Setelah
itu, aku keluar lebih dulu, seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Kotak mereka
bongkar, kain diturunkan. Aku sangat terkejut setelah kain diturunkan oleh
teman-temanku. Iis tiba-tiba menangis dengan keras, seperti orang yang
kehilangan barang berharganya. Keempat temanku mencoba menenangkannya dengan mengiming-imingi setangkai mawar sisa,
tapi sia-sia.
Beberapa
saat kemudian ibunya datang, “Iis kenapa ?, kalian apakan Iis?” tanya ibu Iis
dengan nada meninggi. Semua temanku terdiam, tidak ada yang berani menjawab
pertanyaannya, termasuk aku. Iis digendong ibunya. Tangis pun mulai mereda, dan
ia kembali terdiam dalam dekapan hangat ibunya.
Teman-teman
menatapku dengan perasaan curiga, seolah-olah akulah yang bersalah. Telah
menyebabkan pengantin perempuan menangis.
“Kau
apakan Iis, Ir ?” tanya salah seoran temanku.
“Tidak
ada” jawabku.
“Alaah... mana ada maling ngaku” ucapnya.
“kamu sudah melanggar aturan” imbuhnya. Aku diam.
Beberapa
saat kemudian teman-temanku mulai beranjak pergi. Iis pergi, dan teman-temanku
juga pergi. Dengan wajah kusam, seolah mereka benci padaku. Teman-teman
menganggapku telah menyalahi aturan yang sudah mereka buat. Aku tidak mungkin
menjelaskan bahwa ada sesuatu yang mengdorong dari belakang, hingga mukaku
mengenai pipi Iis. Rasanya itu penjelasan konyol.
Baru
saja masa indah aku lalui, tapi sebentar kemudian berubah malapetaka. Aku
merasa seperti dibuang dari surga. Hanya gara-gara sebuah kesalahan kecil aku
tercampakkan. Sedih. Aku tak bisa menahan tangis. Aku merenung seraya mengusap
air mata di bawah pohon dekat batu pelaminan. Tersedu-sedu. Sesekali aku
mendengar kicauan burung di atasku, mereka seperti sedang menertawakanku.
Aku
tidak tau apa itu sebuah larangan, peraturan, dan sebuah dosa. Aku hanya
seorang anak kecil berusia 2,5 tahun. Aku tidak tau, kenapa aku dianggap
bersalah hanya karena mencium pipinya di dalam surga kotak kecil. Kemudian
mereka mencampakkanku seperti pendosa besar. Padahal, tanpa sehelai benang pun
yang menutupi tubuh adalah hal yang wajar bagi anak kecil. Bagaimana mungkin
aku menerima hukuman ini, hanya gara-gara mencium pipi Iis. Aku harus menerima
dosa, bahkan menurunkan dosa-dosa itu pada keturunanku nanti. Rasanya,
permainan ini tidak adil untukku, mereka tak pernah ingin mengerti dengan
kesalahanku yang sederhana.
Teman-teman tak pernah mengerti. Mereka hanya
menganggap akulah yang bersalah, tapi tak pernah bertanya mengapa atau kenapa.
Berikut juga orang tuaku. Mereka hanya menasehatiku, tanpa pernah memikirkan
penjelasanku, bahwa mencium pipi perempuan kecil adalah hal yang wajar.
Jika
Adam dan Hawa harus dibuang dari Surga Tuhan karena memakan buah terlarang. Maka
aku harus terbuang dari surga kotak hanya karena mencium pipi Iis. Aku tidak
tau bagaimana Adam dan Hawa melakukan kesalahan itu, mungkin mereka juga sama
sepertiku. Mungkin mereka juga anak kecil, menganggap semua yang dilakukan
adalah wajar. Apalagi hanya memakan buah terlarang, daun pun bisa saja dimakan
oleh anak kecil, karena ia tidak tau apa itu larangan atau peraturan.
Tapi,
untungnya aku mempunyai ayah dan ibu, yang memberitahu apa yang boleh dimakan dan
apa yang tidak boleh. Tapi, Adam dan Hawa, apakah mereka punya orang tua
sepertiku ?!. Atau mungkin mereka diciptakan Tuhan langsung menjadi manusia
dewasa. Meskipun, ada teori mengatakan, bahwa manusia adalah evolusi dari
kera/monyet. Apa dulunya Adam dan Hawa adalah monyet ?... Sudahlah..! Apapun
dan bagaimanapun mereka, banyak yang percaya bahwa kita adalah keturunannya.
***
Cukup
lama aku manangis di bawah pohon dekat surga batu pelaminan, sendirian, hingga
tenggorakanku terasa kering. Kemudian ibuku datang, ia menggendongku dan
membawaku pulang. Di perjalanan aku masih tersedu-sedu menangis, ibu membuka
kancing bajunya, menyodorkan puting susunya yang hitam padaku. Aku diam sambil menghisapnya.
Ibu sepertinya sudah tau dengan apa yang terjadi, jadi ia tak mengatakan banyak
hal padaku. Ia hanya berkata, “jangan pernah bermain seperti itu lagi, kau
masih kecil”.
Nasehat ibu aku turuti. Setelah kejadian itu,
aku tidak lagi bermain permainan seperti itu. Bahkan sampai sekarang, ketika mulai
dewasa, aku masih sangat takut untuk mencoba permainan seperti itu lagi.
Kurasa, dunia sudah tak seindah surga masa kecil, jadi aku tidak mau melanggar
apa yang dikatakan ibu.
Aku
tidak mau terbuang pada kehidupan yang lebih kejam dari ini. Apalagi ketika SD
aku sering disuguhi buku-buku siksa neraka, yang dijual oleh pedangan keliling.
Mereka biasanya selalu ada di pinggir jalan ketika jam istirahat sekolah.
Katanya, orang-orang yang masuk neraka adalah orang-orang yang melanggar
peraturan, dan mereka berdosa. Mungkin, aku akan masuk neraka karena telah
melanggar peraturan yang dibuat teman-temanku, dan aku tidak bisa menikmati
surga kotak itu lagi. []