Senin, 26 Januari 2015

Ketika Adam dan Hawa Masih Kecil




Oleh : Hudy Majnun


Ketika masih berusia 2,5 tahun, sewajarnya anak kecil, aku suka sekali bermain. Mulai permainan petak umpet, jual-jualan, dan satu yang hanya pernah kumainkan sekali bersama teman-temanku, yaitu nikah-nikahan. Kata “jual-jualan” dengan pengulangan kata, terus ditambahi imbuhan-an, itu mengartikan bahwa kegiatan itu hanya permainan atau pura-pura, meniru kegiatan aslinya.
Aku dan teman-teman di desaku waktu kecil sering bermain jual-jualan dan melakukan transaksi jual beli dengan menggunakan daun sebagai uang. Tapi sayangnya tidak ada transaksi online seperti saat ini. Biasanya yang diperjual belikan adalah sayur-sayuran, buah-buahan, dan sampo sachetan yang kami buat dari pelepah pisang, kemudian kami bentuk kotak-kotak menyerupai sampo asli yang bisa digantung pada tali. Untuk buah-buahan dan sayur-sayuran, kadang kami menggunakan buah dan sayur sungguhan, karena di desaku buah dan sayuran sangat melimpah. Untuk memilikinya kami tak perlu membelinya, banyak buah dan sayur yang tumbuh liar.
Ada yang jadi pembeli, penjual, perampok, masyarkat biasa, dan sebagainya. Semuanya kami atur begitu saja dengan kesepakatan bersama tanpa ada rasa iri. Semuanya terasa seperti kehidupan sesungguhnya, tapi kami lakukan dengan cara yang sederhana, dengan rasa pri-kemanusiaan yang tulus. Tak ada diskriminasi terhadap salah satu teman yang mendapatkan peran sebagai pencuri ataupun peran yang kurang penting dalam permainan. Karena tujuan kami hanyalah bersenang-senang.
Adegan yang paling ku ingat dalam permainan jual-jualan, yaitu ketika aku menjadi seorang pencuri. Setelah selesai mengambil barang curian, aku harus menjatuhkan sebuah benda hingga berbunyi keras. Biasanya aku menjatuhkan piring yang terbuat dari seng, sehingga bila dijatuhkan akan menimbulkan bunyi “klontangg!!!”, seperti itu.  Hal itu dilakukan sebagai tanda bahwa ada pencuri masuk. Agar adegan benar-benar seperti sesungguhnya, aku melakukan itu dengan cara yang baik, yaitu dengan cara pura-pura tidak sengaja menyenggolnya. Itu seperti penjiwaan peran. Kemudian semua warga/teman-teman terkejut dan berusaha mengejarku. Pada akhirnya aku harus tertangkap dan mendapatkan hukuman diikat di sebuah pohon selama beberapa menit.
Adegan seperti itu juga ditiru dari kehidupan masyarakat sekitar, karena kami anak kecil yang sering menjadi saksi sebuah peristiwa dan kami mengulanginya dalam bentuk permainan. Tapi,-dalam kehidupan nyata-tak mungkin seorang pencuri memberikan tanda saat dia sudah mengambil barang. Ini hanya permainan, maka kami membuat tanda seperti itu. Apalagi kami tidak terlalu paham dengan kecurangan atau kelicikan yang banyak dilakukan oleh orang dewasa.
Dalam permainan itu, salah satu dari kami bertindak sebagai layaknya sutradara. Dan aku pernah menjadi sutradara itu. Jadi, aku mengatur teman-temanku untuk menjadi ini dan itu. Sebagai seorang sutradara/pemimpin, aku juga terlibat dalam permainan, namun aku mengambil peran yang sangat mudah dan tidak beresiko. Di akhir permainan, tidak pernah ada kesimpulan dari apa yang kami lakukan. Setelah adegan selesai atau permainan berakhir, semua pulang kerumah masing-masing. Bahkan ada yang harus pulang dengan menangis, karena orang tuanya marah, akibat bermain terlalu lama.
Mungkin permainan seperti ini terlihat keren jika menjadi sebuah film yang dapat ditonton banyak orang. Tapi, sebuah film tak mungkin dapat direncanakan hanya oleh salah satu orang. Permainan anak kecil memang terlihat lucu, tapi itu sebuah karya dari kejujuran dan kepolosan mereka. Kepolosanku juga, dulu.
***
Permainan jual-jualan dan aksi percurian mungkin seperti peristiwa sosial pada umumnya, dan adegan itu sering muncul dalam sebuah film. Selain itu, permainan yang sering aku lakukan bersama teman-teman kecilku dulu adalah permaian Nikah-nikahan. Dalam permainan ini, aku pernah mendapatkan peran menjadi pengantin laki-laki. Aku disandingkan dengan anak perempuan tetanggaku yang dulu sangat cantik-tapi sekarang sudah bersuami. Istiana namanya, dan kami akrab memanggila Iis.  
Aku dan Iis pernah menjalani sebuah ritual-kalau di kehidupan orang dewasa itu ritual yang sangat sakral. Kami berdua menggunakan baju pengantin yang terbuat dari sarung dan aku mengenkannya setengah badan, dengan gulungan di dada. Begitu juga dengan pengantin perempuan. Ketika masih kecil, seorang perempuan memang wajar-wajar saja telanjang bersama dengan anak laki-laki lain, tapi sangat aneh jika itu dilakukan oleh orang dewasa, apalagi ditempat umum.
Kami berdua duduk di sebuah batu, dekat sungai. Teman-teman yang lain mengumpulkan berbagai macam bunga. Kami menunggu sambil menduga-duga apakah yang akan terjadi, aku sedikit merasa deg-deg-an berada dekat Iis. Kami sama sekali tak berbicara apapun saat menunggu. Sampai beberapa saat kemudian teman-teman yang lain datang dengan membawa berbagai macam bunga di tangan.
Bunga-bunga sudah didapatkan, kemudian dikumpulkan menjadi satu dalam sebuah bak kecil dan dicampur dengan air yang diambil dari sungai. Mereka menyirami kami berdua dengan bunga itu, istilahnya mandi kembang. Air yang bercampur bunga terasa mulai menjalari tubuh, dari ujung kepala melewati mata, hidung, mulut, dan terus sampai ke sela-sela pahaku. Sesekali serpihan bunga hinggap di bibiku, aku mengigitnya, kemudian menyemburkan pada teman yang berada di depanku.
Setelah ritual selesai, aku dan Iis dinyatakan sah menjadi suami-istri. Ritual mandi bunga/kembang selesai, maka permainan juga dianggap berakhir. Dan aku tidak pernah berpikir bahwa permainan akan berlanjut sampai adegan malam pertama. Tapi ternyata teman-teman yang lain sudah menyediakan tempat, agar aku bisa berdua dengan Iis. Permainan terus berlanjut.
 Tempat itu cukup tertutup, seperti sebuah kotak berukuran 1x2m yang tertutup dengan kain berwarna putih. Kami berdua disuruh masuk ke dalam kotak. Teman-teman memperingatkanku agar tidak berbuat aneh-aneh. Iis menurut saja apa mau teman-teman. Ia memang lugu. Kami masuk dan hanya terdiam. Ia menunduk sepanjang di dalam kotak. “ayo, gerak-gerakkan kainnya biar terlihat seperti pengantin malam pertama” kata teman-teman yang berdiri di luar kotak. Aku pun menggerak-gerakkan kain itu, dan teman-temanku bersorak “yeee”. Setelah itu selesai, mereka menyuruh kami keluar.
Aku dan Iis masih mengenakan sarung setengah badan yang basah akibat siraman tadi. Aku melihat Iis seperti kedinginan karena sarungnya yang ia kenakan basah. Pikiranku kemana-mana melihat wajahnya yang cantik, dengan rambut panjang yang terurai basah. Tangannya masih setia menempal pada pahanya dengan telapak di bawah, begitu juga dengan tanganku. Sesekali tanganku bergerak seperti orang sedang memaikan piano dengan mahir. Beberapa saat kemudian, entah apa yang melintas di pikiranku. Tiba-tiba aku tergerak mendekati wajahnya. Seperti ada sebuah dorongan dari belakang yang membuatku mencium pipi Iis. Astaga, rasanya seperti mencium kain sutra yang begitu halus. Ketidaksengajaan yang berlangsung satu detik itu tak membuat Iis mengubah posisinya, ia tetap terdiam.
Setelah itu, aku keluar lebih dulu, seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Kotak mereka bongkar, kain diturunkan. Aku sangat terkejut setelah kain diturunkan oleh teman-temanku. Iis tiba-tiba menangis dengan keras, seperti orang yang kehilangan barang berharganya. Keempat temanku mencoba menenangkannya dengan mengiming-imingi setangkai mawar sisa, tapi sia-sia.
Beberapa saat kemudian ibunya datang, “Iis kenapa ?, kalian apakan Iis?” tanya ibu Iis dengan nada meninggi. Semua temanku terdiam, tidak ada yang berani menjawab pertanyaannya, termasuk aku. Iis digendong ibunya. Tangis pun mulai mereda, dan ia kembali terdiam dalam dekapan hangat ibunya.
Teman-teman menatapku dengan perasaan curiga, seolah-olah akulah yang bersalah. Telah menyebabkan pengantin perempuan menangis.
“Kau apakan Iis, Ir ?” tanya salah seoran temanku.
“Tidak ada” jawabku.
Alaah... mana ada maling ngaku” ucapnya. “kamu sudah melanggar aturan” imbuhnya. Aku diam.
Beberapa saat kemudian teman-temanku mulai beranjak pergi. Iis pergi, dan teman-temanku juga pergi. Dengan wajah kusam, seolah mereka benci padaku. Teman-teman menganggapku telah menyalahi aturan yang sudah mereka buat. Aku tidak mungkin menjelaskan bahwa ada sesuatu yang mengdorong dari belakang, hingga mukaku mengenai pipi Iis. Rasanya itu penjelasan konyol.
Baru saja masa indah aku lalui, tapi sebentar kemudian berubah malapetaka. Aku merasa seperti dibuang dari surga. Hanya gara-gara sebuah kesalahan kecil aku tercampakkan. Sedih. Aku tak bisa menahan tangis. Aku merenung seraya mengusap air mata di bawah pohon dekat batu pelaminan. Tersedu-sedu. Sesekali aku mendengar kicauan burung di atasku, mereka seperti sedang menertawakanku.
Aku tidak tau apa itu sebuah larangan, peraturan, dan sebuah dosa. Aku hanya seorang anak kecil berusia 2,5 tahun. Aku tidak tau, kenapa aku dianggap bersalah hanya karena mencium pipinya di dalam surga kotak kecil. Kemudian mereka mencampakkanku seperti pendosa besar. Padahal, tanpa sehelai benang pun yang menutupi tubuh adalah hal yang wajar bagi anak kecil. Bagaimana mungkin aku menerima hukuman ini, hanya gara-gara mencium pipi Iis. Aku harus menerima dosa, bahkan menurunkan dosa-dosa itu pada keturunanku nanti. Rasanya, permainan ini tidak adil untukku, mereka tak pernah ingin mengerti dengan kesalahanku yang sederhana.
 Teman-teman tak pernah mengerti. Mereka hanya menganggap akulah yang bersalah, tapi tak pernah bertanya mengapa atau kenapa. Berikut juga orang tuaku. Mereka hanya menasehatiku, tanpa pernah memikirkan penjelasanku, bahwa mencium pipi perempuan kecil adalah hal yang wajar.
Jika Adam dan Hawa harus dibuang dari Surga Tuhan karena memakan buah terlarang. Maka aku harus terbuang dari surga kotak hanya karena mencium pipi Iis. Aku tidak tau bagaimana Adam dan Hawa melakukan kesalahan itu, mungkin mereka juga sama sepertiku. Mungkin mereka juga anak kecil, menganggap semua yang dilakukan adalah wajar. Apalagi hanya memakan buah terlarang, daun pun bisa saja dimakan oleh anak kecil, karena ia tidak tau apa itu larangan atau peraturan.
Tapi, untungnya aku mempunyai ayah dan ibu, yang memberitahu apa yang boleh dimakan dan apa yang tidak boleh. Tapi, Adam dan Hawa, apakah mereka punya orang tua sepertiku ?!. Atau mungkin mereka diciptakan Tuhan langsung menjadi manusia dewasa. Meskipun, ada teori mengatakan, bahwa manusia adalah evolusi dari kera/monyet. Apa dulunya Adam dan Hawa adalah monyet ?... Sudahlah..! Apapun dan bagaimanapun mereka, banyak yang percaya bahwa kita adalah keturunannya.
***
Cukup lama aku manangis di bawah pohon dekat surga batu pelaminan, sendirian, hingga tenggorakanku terasa kering. Kemudian ibuku datang, ia menggendongku dan membawaku pulang. Di perjalanan aku masih tersedu-sedu menangis, ibu membuka kancing bajunya, menyodorkan puting susunya yang hitam padaku. Aku diam sambil menghisapnya. Ibu sepertinya sudah tau dengan apa yang terjadi, jadi ia tak mengatakan banyak hal padaku. Ia hanya berkata, “jangan pernah bermain seperti itu lagi, kau masih kecil”.
 Nasehat ibu aku turuti. Setelah kejadian itu, aku tidak lagi bermain permainan seperti itu. Bahkan sampai sekarang, ketika mulai dewasa, aku masih sangat takut untuk mencoba permainan seperti itu lagi. Kurasa, dunia sudah tak seindah surga masa kecil, jadi aku tidak mau melanggar apa yang dikatakan ibu.
Aku tidak mau terbuang pada kehidupan yang lebih kejam dari ini. Apalagi ketika SD aku sering disuguhi buku-buku siksa neraka, yang dijual oleh pedangan keliling. Mereka biasanya selalu ada di pinggir jalan ketika jam istirahat sekolah. Katanya, orang-orang yang masuk neraka adalah orang-orang yang melanggar peraturan, dan mereka berdosa. Mungkin, aku akan masuk neraka karena telah melanggar peraturan yang dibuat teman-temanku, dan aku tidak bisa menikmati surga kotak itu lagi. []


Jumat, 23 Januari 2015

Waktu Berkata Lain



                                              “dua”

Oleh : Hudy Majnun

Perut istriku kini kian besar, entah apa yang ada di dalamnya. Semoga itu benar-benar calon anak yang diharapkan, amin. Terimakasih telah ikut mengamini. Semoga kita saling bertukar do’a dan harapan-harapan kita terkabul, berikut harapanku dan istriku. 

Dua bulan lalu istriku mengalami mual-mual yang terjadi berangsur-angsur, setiap hari pasti mual dan muntah-muntah. Aku khawatir dengan keadaannya, aku tidak membawa istrinya ke dukun, tapi ke dokter. Kekhawatiran itu berujung bahagia “selamat, anda akan menjadi calon ayah” kata dokter itu. Aku dan istriku sangat berterimakasih kepada dokter tersebut. Tapi, Seharusnya aku berterimakasih pada diriku sendiri, karena perjuanganku setiap malam kepada istriku, ia menjadi calon ibu dan aku calon ayah. 

Sejak saat itu, setiap waktu perut istriku semakin membesar dan terjadi hal-hal aneh padanya. Ia sering meminta hal-hal yang membuatku kewalahan. Pernah sekali waktu ia menginginkan tidur di halaman depan rumah dengan mendirikan tenda kecil. Aku turuti maunya, itu kulakukan agar kelak anakku tidak ngileran, karena keinginan perempuan yang sedang hamil akan berpengaruh pada anaknya jika tidak dituruti. Dan hal-hal lain berkaitan dengan makanan yang sering diminta istriku sudah menjadi hal biasa. 

Setiap 2 minggu sekali aku berkunjung ke dokter, untuk memeriksa dan mengetahui perkembangan kandungannya. Hal itulah yang membuatku menemukan jawaban atas pertanyaan yang pernah hinggap padaku di masa lalu. Kabar terakhir tentang Lala yang kabarnya sering berkunjung kerumah sakit. Aku bertemu dengannya, tepatnya aku melihatnya dari sudut jendela yang sempit saat berjalan di lorong rumah sakit. Ketika istriku masuk keruang dokter untuk periksa, aku beralasan untuk pergi ke toilet. Aku pergi ke lorong untuk memastikan bahwa wanita itu benar-benar Lala. Aku kembali melewati lorong tadi, sekarang aku lebih lama mengintipnya dari jendela yang tertutup kelambu. Hanya ada lubang kecil untuk melihatnya, di sana ada kedua orang tuanya dan dua temannya yang menemani. Ia takkan bisa melihatku sedang mengintip. Sesekali aku harus berpura seperti orang beristirahat ketika ada orang yang lewat, dan kemudian melanjutkan memperhatikan apa yang sedang terjadi padanya. Ia mengenakan baju coklat kusam, dan mukanya pun kusam, mungkin karena sakit ia tidak mandi dalam beberapa hari ini. 

Beberapa saat kemudian, setelah aku yakin wanita itu adalah Lala, aku kembali ke ruangan istriku diperiksa. “kandungan istri anda semakin membaik pak” kata dokter itu. “terimakasih dok” aku berusaha untuk senang mendengar kabar baik itu, meskipun sebenarnya aku sedih melihat Lala sedang terbaring sakit, aku sangat ingin menemui wanita itu, menanyakan kabar bahkan menemaninya sampai sembuh. Tapi, ruang dan waktu kita sudah berbeda, kini keluarga dan istriku seperti tembok penghalang yang memebatasiku untuk menumpahkan perasaan yang tak kunjung reda. Tapi, aku harus menghargai istri dan keluarga yang sudah cukup lama kubina, istriku orang yang sangat baik, aku tak mungkin mengecewakannya. Apalagi sekarang ia sedang hamil anakku. 

Keesokan harinya aku kembali ke aktivitasku, kembali ke tempatku bekerja. Tapi bayangan dan rasa ingin bertemu dengan wanita itu masih terus menghantuiku. Aku memberanikan diri dengan berbagai macam resiko, aku ijin pulang terlebih dahulu pada atasan dan teman-temanku. Saat itulah aku mampir ke rumah sakit dan menemuinya. Entah kenapa, ketika aku mengetuk pintu dan mengucap salam jantungku berdetak sangat cepat. Aku tidak tau dengan apa yang aku lakukan dan wanita itu pun sangat terkejut melihatku. “dari mana kamu tau aku disini?” katanya. “dari teman-teman” kujawab saja begitu. Hanya kata itu yang aku dengar dari mulutnya, sampai beberapa menit kemudian ia hanya terdiam dan aku hanya ngobrol dengan orang tuanya, dengan obrolan yang sungguh tak ku minati.

Sesekali aku memperhatikan mata wanita itu yang mulai layu, dengan rambut yang berantakan, tapi di situlah dulu aku menyukainya, mungkin sampai sekarang. Sambil mendengarkan pembicaraan dengan ayahnya. Rambutnya masih sama seperti tiga tahun lalu, bergelombang dan selalu tak terlihat rapi. Aku seperti terhanyut kembali oleh gelombang yang dulu pernah menghanyutkanku, gelombang tenang dan aku tertidur di perahu, terayun-ayun, terombang-ambing di lautan lepas, hingga aku lupa daratan. Aku tak berani menanyakan apa-apa padanya ataupun memulai pembicaraan. Ia tampak cuek tak tak perduli dengan keberadaanku. Beberapa saat kemudian ia baru mengucapkan sesuatu padaku “dimakan kuenya”. Aku mulai terpancing untuk berani mengajaknya berbicara. 

“kau sendiri sudah makan?” ucapku.

“sudah, makanan spesial dari dokter”

“apa itu?”

“bubur dan obat” ia menunjukkan obat yang berwarna-warni di dalam bungkus plastik. Setelah itu aku mulai memancing pembicaraan yang lain. 

“sejak kapan dirawat disini?” tanyaku

“baru 2 hari kemarin”. Aku tau ia berbohong padaku. Karena kemarin, saat mengantar istriku, aku bertanya tentangnya pada recepsionis rumah sakit, dan pasien bernama Lala sudah seminggu yang lalu di rawat disini. Entah kenapa ia membohongiku, mungkin ia ingin menambah kebohongannya padaku setelah peryataannya tentang waktu, dulu padaku. Tapi, setidaknya keadaan ini sudah menjawab rasa penasaranku, kabarnya dulu ia sering kerumah sakit, dan ku kira ia hanya mengantar sanak saudaranya, tapi ternyata yang sakit adalah dirinya sendiri. 

“setelah lulus, apa kesibukanmu?” aku melanjutkan.

“tidak ada”. Kali ini aku tidak bisa menebak ia berbohong atau tidak. “katanya kamu bekerja di luar kota?” ia melanjutkan.

“ya, aku sempat bekerja di luar kota, tapi sekarang dan seterusnya, mungkin aku tetap di kota ini. Aku dipindah tugaskan di kota ini”

“teman-teman baru kemarin datang kesini” 

“wah, bagaimana mereka sekarang?”

“seperti biasa, selalu rame”

Pembicaraan kami tiba-tiba terpotong, karena seorang perawat datang dan memberi suntikan padanya. Perawat itu cukup menyeramkan, kepalanya tertutup dan mulutnya juga tertutup masker, kemudian mendekat dan berkata “waktunya istirahat” suaranya seperti seseorang yang mengakui kesalahan, namun suaranya disamarkan. Beberapa saat kemudian Lala tertidur. Waktu masih menunjukkan jam 3 sore, sedang kerjaku selesai jam 5. Masih ada 2 jam untuk bisa menemani wanita itu, meskipun ia sedang tertidur. 

Banyak sekali yang aku ingat ketika melihat wajahnya. Wajahnya seperti gambaran masa lalu, yang tersimpan dan tak pernah usang di memori wajahnya. Aku berada di sisi kanannya, dan kuletakkan kedua tanganku di atas tempat ia berbaring. Tanganya sedikit membengkat karena jarum infus masih tertancap di atasnya. Kedua orang tuanya sedang sibuk membereskan barang-barang yang ada di ruangan itu dan tak terlalu memperhatikan keberadaanku di sisi anaknya. Mungkin mereka sangat percaya bahwa aku adalah orang baik-baik, meskipun pikiran-pikiran bodoh sesekali melintasi pikiranku. Pikiran seperti di film-film, yang menyamar menjadi orang baik, namun tiba-tiba memasukkan racun kedalam botol infus agar yang diiunfus mati. Tapi, itu hanya pikiran konyol yang kadang kubayangkan untuk mengisi kekosongan. 

Tangan Lala sesekali bergerak, sepertinya ia tidak tidur dengan nyenyak. Aku melihat matanya terpejam dengan terpaksa, karena pengaruh suntikan tadi ia harus tertidur. Padahal mungkin saja ia masih ingin menemaniku berbicara. Aku menoleh kekanan dan kekiri, sepertinya orang tuanya sedang sibuk ngobrol berdua dan membiarkan aku disamping Lala. Melihat kondisi aman, aku memberanikan diri untuk memegang tangannya yang bengkak. Jari-jarinya masih sangat halus seperti dulu, saat aku sempat digenggamnya. Tapi tangannya kali ini sangat lemas, tak bertenaga sama sekali. Aku mengelus-elus tanganya, berharap dia bisa tidur dengan nyenyak.
Tangannya terasa dingin. Aku masih sangat mengingat rasa tangannya dulu yang hangat. Ketika di tengah kegelapan aku kedinginan dan tanganku hampir kaku, aku menggenggam tanganku sendiri dan meniup-niupnya dekat mulut, sambil berjalan berdua menuju tempat teman-temanku berkumpul. Waktu itu aku tak mengenakan jaket, hanya kaos biasa yang membalut tubuhku, sedangkan Lala menggunakan jaket hangatnya. Tiba-tiba ia menarik tanganku dan meremasnya kuat-kuat. Tangannya begitu hangat, sehingga tanganku tak jadi membeku lagi, bahkan seluruh badanku terasa hangat. Waktu itu, aku tidak tau bahwa genggaman itu hanyalah agar aku tak kedinginan. Kupikir itu adalah genggaman yang memberiku harapan. Sekitar 30 detik tangannya terus meremas tanganku dan aku juga membalas meremasnya. Genggaman tangan itu seperti genggaman yang tak ingin terlepas,  tidak boleh ada yang mengganggunya. Tapi, beberapa saat kemudian ia melepaskan tangannya. Ketika aku mencoba meraihnya kembali, tempat tujuan sudah dekat, dan teman-temanku sudah menanti. Tak mungkin aku meraih tangannya kembali. 

Beberapa hari kemudian, setelah malam itu berlalu, aku berbincang-bincang dengannya, dan pembicaan tertuju pada malam itu. Ia mengatakan bahwa genggaman malam itu hanya agar aku tak kedinginan, tidak ada maksud lain. Harapanku seperti hilang dalam gelap. “sudahlah” dalam hatiku. 

Kini tangannya ada dalam genggamanku, tangan yang lemas dan membengkak. Tak sedikitpun tangannya bergerak ketika aku memegangnya dari samping tempatnya tidur. Ia sepertinya mulai tidur dengan nyenyak, sebenarnya aku tak ingin melepaskan tangannya yang lemas, tapi aku merasa curang, memegang tangannya saat ia tidur. Tapi, aku juga ingin membalas kebiakannya dulu, saat dia kedinginan aku juga ingin menggenggam tangannya, agar tangannya tak membeku. Mungkin dia sudah lupa dengan masa lalu itu, mungkin ia juga lupa tentang peryataannya tentang “waktu berkata lain”. Semua sudah berlalu, aku tak ingin mengusik hidupnya dengan kenangan-kenangan yang belum selesai itu. Aku tidak tau bagaimana kehidupannya sekarang, yang jelas aku tak menemukan cincin apa-apa di tangannya. 

Waktu sudah menunjukkan jam 4.30, aku melepaskan tanganya perlahan, ia tak kunjung bangun dari tidurnya. Mungkin pengaruh obat itu cukup lama, tapi ia harus bangun jam 5. Ia tidak boleh melewatkan sore hari dengan tertidur, kata orang itu tidak baik. Orang tuanya tetap asik berbicara sambil menonton TV. Ada salah seorang temannya yang lain datang, mereka bertiga, dua wanita dan satu lelaki. Mereka membawa buah-buahan yang terbungkus plastik transparan. Lelaki itu mendekatiku  dan mengulurkan tangannya, ia mengajakku bersalaman dan memperkenalkan diri. “Musa” ucapnya. “Soir” jawabku. Namanya seperti Nabi-nabi, dan mungkin lelaki ini orang baik. Aku berdiri, dan bergeser ke kursi tamu belakang tempat tidur Lala, tapi lelaki itu mengambil alih tempatku tadi. Ia duduk di samping kanan tempat Lala terbaring. Mungkin saja lelaki ini adalah orang spesial buat Lala, dan mungkin juga orang ini menyukai Lala dan hendak melamarnya ketika Lala terbangun dari tidurnya. Pikiran-pikiran aneh banyak melintasi pikiranku, aku tidak suka melihatnya berdekatan dengan Lala. Tapi, tak mungkin juga aku melarangnya. Aku mulai gelisah dengan keberadaan lelaki itu. Ia memang cukup tampan, berpakaian rapi, berambut rapi, kumis dan jenggotnya tercukur mulus, dan tingginya hampir sama denganku. Sangat pantas jika berpasangan dengan Lala, tapi aku juga demikian. 

Dari pada semakin tak karuan yang kupikirkan, kuputuskan untuk pulang, apalagi sudah hampir jam 5, itu saatnya aku pulang kerja. Aku tak sempat berbicara apa-apa lagi dengan Lala. Lelaki itu membuat perjalananku menuju rumah menjadi tidak tenang. Namun, sesampainya di rumah, istriku selalu menyambut dengan baik, lemah lembut, dan penuh kasih sayang. Ia tak tau bahwa hari ini aku sudah berbohong, kalau ia tau mungkin itu akan membuatnya kecewa. Aku tidak mau itu terjadi dan aku segera melupakan hal itu. Kupikir lelaki benama Musa itu memang pantas untuknya.