Kamis, 18 Juni 2015

Buku Kekasihku


Oleh : Hudi Majnun 
Hari itu, ketika malam sudah berada pada akhir perjalanan, aku harus terbangun karena sebuah mimpi buruk. Mimpi itu terasa begitu nyata, hingga membuatku terbangun dalam keadaan menangis. Kurasakan air mata membasahi pipi. Dalam mimpi itu aku menghadiri acara pemakaman orang yang paling aku kasihi, ya dia kekasihku. Ia meninggal, dan aku pembunuhnya, tapi tidak ada yang tahu bahwa aku yang telah membunuhnya. Aku membawa karangan bunga dan kartu ucapan duka cita. Kartu ucapan itu memang sedikit berbeda dengan orang kebanyakan, dan itu cukup menarik perhatian orang. Ketika aku meletakkan karangan bunga itu, orang-orang melihatku dengan aneh. Seperti mata yang memperhatikan sebuah kebodohan. Kartu itu aku tuliskan, “Akulah yang paling berduka atas kepergianmu. Aku menyesalinya dan semoga kamu masih mencintaiku”.
Atas kejadian dalam mimpi itu, aku mengalami ketakutan yang berlebih. Aku takut kehilangan orang yang aku kasihi. Oleh sebab itu, sesering mungkin aku mengajaknya bertemu, untuk sekedar ngobrol, jalan bareng, berlibur, ke toko buku, dan sebagainya. Setidaknya, aku dapat melupakan ketakutanku itu, atau paling tidak, kalau ia memang benar akan pergi, aku masih bisa menikmati kebersamaan diakhir hidupnya. Aku melakukan banyak cara agar bisa melupakan mimpi itu, termasuk mengabadikan kisahku dengan kekasihku melalui sebuah tulisan. Akan kususun menjadi sebuah kisah yang nantinya bisa dibukukan. Aku selalu menulis kejadian yang menarik dan aneh dengan kekasihku, termasuk kejadian aneh yang kadang aku alami sendiri.
Semakin lama aku menulis, semakin aku lupa dengan mimpi buruk itu. Tapi kemudian, kisahku dengan kekasihku sudah tak ada yang menarik lagi untuk ditulis. Kau tau, saat itu aku pun berhenti menulis. Aku kehabisan inspirasi. Sudah cukup banyak kejadian yang aku tulis saat bersama kekasihku. Ini salah satunya :
Suatu malam, ketika sedang minum kopi di cafe, aku harus sedikit berdebat panas dengan kekasihku. Ia tak setuju dengan pendapatku mengenai suatu kebaikan yang harus dilakukan orang.
Aku berkata “kita tidak boleh membalas orang yang jahat dengan jahat pula”
“Jadi, aku harus diam walau ada orang yang menyakitiku?” sahut kekasihku dengan mengertukan dahinya.
“Tidak seperti itu. Kejahatan itu seperti api, tidak mungkin kita memadamkan api dengan api kan. Pastinya harus dengan air”
“Lalu, apa yang harus aku lakukan kepada orang yang pernah sangat sombong padaku dan ia juga sangat meremehkanku?”.
“Kalau itu hanya pernah, tapi tidak dia ulangi sekarang, sebaiknya kau menyambutnya dengan baik”
“Tidak semudah itu. Aku terlanjur sakit hati dengan sikapnya. Hanya ketika ada butuhnya saja ia mendekatiku”
“Bagus dong kalau dia ingin akrab denganmu. Berarti dia sudah berubah, tapi jangan kau tanggapi niat baiknya dengan buruk. Ia bisa saja berubah lagi menjadi seperti yang sebelumnya”
Alahh, ia seperti itu hanya karena butuh bantuanku” nadanya meninggi.
“Jangan terlalu berpikir buruk. Apa salahnya berbuat baik kepada orang, sekalipun ia tidak baik dengan kita”
“Sudahlah, aku malas denganmu, kau tak pernah membelaku”
Perdebatan itu berhenti. Kekasihku terlihat sangat marah, aku bisa membaca raut mukanya yang cemberut. Aku pun diam, karena tak ingin ia tambah marah. Jadi kami saling diam sampai kopi di gelas aku habiskan dan kita pulang kerumah masing-masing. Sampai aku mengantarnya di depan rumahnya, ia tak bicara apapun, hanya ucapan “Terimakasih telah mengantarku” katanya, itupun tanpa melihatku.
*
Keesokan harinya kami masih tetap saling diam. Setelah tiga hari ia baru sembuh dari penyakit diamnya, aku turut bahagia. Lima hari setelah perdebatan itu aku mengalami hal aneh. Malam itu, tepatnya malam jum’at, aku mendapati tubuhku basah kuyup dan berbau amis. Aku terbaring di tengah kerumunan orang, di antara orang-orang itu aku melihat orang bersurban putih sedang komat-kamit dengan segelas air tangan kirinya dan seutas tasbih di tangan kanannya. Kulihat tasbih itu digerak-gerakkan dengan jempol. Kemudian ia meminum air itu dan menyemburkannya ke mukaku ”bhuuuhh...”. Karena bau air yang kurang sedap, aku balas menyemburnya dengan air yang jatuh ke mulutku, sambil berteriak “wooyy....”. Tiba-tiba orang-orang yang lain memegangiku dengan kencang, kemudian orang bersurban itu memegang keningku, tangannya sangat dingin. Aku diam saja, takut orang-orang itu memegangku dengan kencang lagi. Setelah aku tenang, aku di dudukkan.
“ada apa ini ?” kataku, kemudian orang bersurban itu menjawab.
“kau sudah sadar nak?” sahut orang bersurban itu.
“memangnya aku kenapa pak ?”
“barusan kamu kesurupan”
“aku tidak tahu itu. Kenapa bapak menyemburku barusan ?”
“itu biar setannya keluar dari tubuhmu. Tadi setannya melawan, dia menyemburku juga. Tapi untungnya dia keluar setelah aku membacakan mantra pamungkas”.
“tapi aku ingat tadi, ketika bapak menyemburku”
Bapak itu terdiam, beberapa saat kemudian ia baru menjawab lagi, “berarti setannya tinggal sedikit tadi”.
“iya mungkin”
Setelah itu aku disuruh membersihkan diri. Mandi dan ganti baju. Setelah aku rapi dan wangi, aku ke ruang tamu. Ternyata sudah sepi, hanya tinggal ibu dan ayahku.
“kemana bapak yang pakai surban itu bu ?” tanyaku.
“dia sudah pergi, kamu terlalu lama mandinya” jawab ibuku.
Aku bertanya kepada orang tuaku tentang apa yang telah terjadi. Katanya, aku mengalami kesurupan. Saat sedang duduk di depan komputer, tiba-tiba aku mengerang-erang dan melompat-lompat. Sampai akhirnya aku terjatuh di kolam ikan yang ada di depan rumah. Kemudian mereka mengangkatku ke ruang tamu dan memanggilkan seorang ustad.
Aku hanya ingat saat duduk di depan komputer. Waktu aku sedang menulis sebuah cerita tentang kekasihku. Dan waktu itu, aku kehabisan kata untuk menulis. Aku membayangkan kekasihku sedang marah, dan aku juga terbawa emosi membayangkannya. Aku coba mengosongkan pikiran, agar tidak terbawa emosi. Tiba-tiba aku merasa dingin dan mengantuk dan aku tidak ingat apa-apa lagi. Sadar-sadar aku sudah seperti itu. Mungkin benar aku kesurupan, atau mungkin hanya sekedar mengigau yang berlebihan, entahlah. Yang jelas, saat itu aku sedang kehabisan inspirasi untuk menulis, tidak ada kisah yang menarik lagi dengan kekasihku. Mungkin saja, karena pikiranku saat itu kosong, hingga setan bisa masuk dengan sesuka hati. Seperti kata orang, orang yang pikirannya kosong akan gampang kesurupan.
**
Untuk meneruskan tulisan yang tak kunjung usai itu, aku melakukan sebuah skenario dengan kekasihku, tanpa ia mengetahuinya. Hari itu, aku ingin menguji seberapa besar rasa kasihnya untukku. Aku mengajaknya ke sebuah pantai yang ombaknya cukup tenang, dan kami bisa menikmati pantai itu dari atas tebing yang tak terlalu tinggi, hanya sekitar 1-2 meter saja. Aku mengajaknya naik. Beberapa saat kemudian, aku berpura-pura mengambilkan sebuah bunga yang tumbuh di pinggir tebing itu. Ya, saat mengambil bunga itulah aku pura-pura terpleset dan jatuh ke laut. Aku berani melakukan itu, karena aku cukup pandai berenang. Selain itu, rencana ini sudah aku persiapkan. Jadi Hp, dompet, dan benda penting lainnya aku tinggalkan di atas tebing itu. Aku ingin tahu, apa yang kekasihku lakukan melihatku terjatuh.
Aku menjatuhkan diri dan pura-pura tidak bisa berenang. Aku melihat kekasihku panik, tidak ada orang yang bisa ia mintai pertolongan. Ia melepaskan sandal dan tasnya, kemudian ia nekat menceburkan diri. “byuuurrr”, ia tenggelam beberapa detik di dalam air yang agak dangkal itu, kemudian ia muncul dengan cara mengambang, tak bergerak sedikitpun. Aku panik. Segera aku menghampiri dan menggendongnya kepermukaan. Kulihat ada darah mengalir dari sela-sela rambutnya. Ia tak sadarkan diri, aku membawanya ke pos pengamanan pantai. “harus segera dilarikan ke rumah sakit” kata petugas itu.  Petugas itu menelepon mobil ambulan dan segera mengamankan lokasi kejadian.
Beberapa saat kemudian mobil ambulan berwarna putih datang. Aku menemami kekasihku menuju rumah sakit terdekat. Kulihat wajahnya begitu pucat, aku menahan darah yang keluar dari kepalanya dengan tanganku. Tangannya terasa sangat dingin, aku menggenggamnya. Sesampainya di rumah sakit, ia langsung dibawa ke ruang UGD. Ia tak sadarkan diri selama 2 hari, dan baru di hari ketiga ia dipastikan telah meninggal dunia. Kata dokter ia mengalami gegar otak dan pendarahan. Jangan tanya bagaimana perasaanku.
Setelah ia dikubur, aku pergi ke makamnya dengan membawa karangan bunga. Saat itulah aku kembali teringat pada mimpi buruk yang pernah aku alami. Oleh sebab itu, aku membuat karangan bunga dan kartu ucapan sama persis dengan mimpi itu “Akulah yang paling berduka atas kepergianmu. Aku menyesalinya dan semoga kamu masih mencintaiku”. Setelah meletakkan bunga itu, aku tidak lagi pulang kerumahku, karena polisi sudah siap membawaku sebagai saksi kejadian sekaligus tersangka.
Sampai di kantor polisi, beberapa orang menanyaiku banyak hal, mulai dari yang penting dan yang tidak penting. Menurutku.
“Kenapa kamu pergi ke tempat itu?. Sudah jelas ada papan yang bertuliskan, bahwa tempat itu dilarang” tanya polisi itu.
“Aku ingin melakukan sesuatu yang indah bersama kekasihku pak. Karena aku pernah bermimpi bahwa kekasihku akan pergi” jawabku.
“Apa hubungannya dengan mimpimu?. Lalu bagaimana kalian bisa terjatuh ?, jawab dengan jujur”
“Mimpi itu tentang kekasihku pak, bapak tahu kan, bahwa mimpi itu adalah petanda. Aku sengaja melompat pak. Aku ingin tau seberapa sayang kekasihku, dan apa yang akan ia lakukan jika melihatku terjatuh”
“Lalu apa yang dilakukan kekasihmu itu?”
Kurasa polisi itu menggunakan rumus “5W+1H” saat menanyaiku. Aku melanjutkan “ia melompat karena ingin menolongku pak. Aku senang melihatnya melompat, itu tandanya ia sangat menyayangiku” aku menjawabnya sejujur mungkin, aku tidak ingin bertambah dosa karena bohong.
“Teruskan. Selanjutnya apa yang terjadi padanya?”
“Aku tidak tahu pak. Waktu dia melompat, ia masuk ke dalam air selama beberapa detik, kemudian muncul dalam keadaan tak sadarkan diri. Mungkin kepalanya terbentur batu atau karang yang ada disana”
“Berarti kamu sengaja melakukan itu?”
“Iya pak”
“Terimakasih atas kejujurannya”
“Sama-sama pak” aku tersenyum pasrah.
Setelah itu, aku langsung dimasukkan ke dalam jeruji besi. Dua orang memegangku dari kanan dan kiri. Seolah aku adalahpenjahat paling berbahaya yang membutuhkan pengamanan ketat.
Aku dianggap bersalah dalam kejadian itu. Mungkin aku terlalu jujur, bahkan saat sidang di pengadilan aku menjawab hal yang sama dengan jujur. Pengadilan memutuskan bahwa aku divonis hukuman penjara selama sembilan tahun, dengan tuduhan kasus pembunuhan terencana. Padahal kau tau kan, aku hanya ingin menguji kekasihku, bukan untuk membunuhnya.
Aku tidak dapat berbuat apa-apa lagi, kekasihku telah mati. Aku percaya, pasti ada hikmah dibalik semua kejadian. Hikmah yang kurasakan, aku dapat meneruskan menulis-meski dalam penjara-, dan tulisan tentang kekasihku itu akan aku buat sedikit berbeda dengan kejadian aslinya. Aku akan membuat ending yang bahagia, sampai kami menikah, punya rumah, keliling dunia, punya anak, masuk surga bersama, dan sebagainya. Dengan begitu, kekasihku tidak akan pernah mati, kekasihku akan terus hidup. Aku akan terus menulisnya hingga menjadi sebuah buku dan aku akan selalu membacanya. Nantinya, Buku itu adalah kekasihku.
***
Oya, ada hal yang aku lupakan. Kau bisa memanggilku dengan nama Soir, dan kekasihku bernama Lala, tepatnya Almarhum Lala. Tokoh lain seperti orang tuaku, pak ustad, petugas pantai, pak polisi, supir ambulan, dan juga setan yang pernah merasukiku, tak perlu aku sebutkan namanya. Karena pada dasarnya kita adalah sama, yang beda mungkin hanya setan itu.

Minggu, 26 April 2015

Harga Sebuah Kesepian



Oleh : Hudy Majnun



Suatu sore yang cerah, ia menikmati segelas teh hangat untuk menghangatkan diri, semakin hangat lagi saat ia menikmati teh di dekat tungku api dapurnya. Rasanya seperti tak punya dosa apapun, tidak ada pikiran apapun yang dapat mengganggunya. Sesekali tangannya mengembangkan dekat api, agar semakin hangat yang ia rasakan. Setelah merasa hangat, ia keluar dari dapur yang beralaskan tanah. Sengaja rumahnya tidak dilapisi semen ataupun kramik, dengan begitu ia merasa lebih dekat dengan bumi. Beberapa saat kemudian ia keluar dari rumah, menuju halaman yang dikelilingi pepohanan. Setiap hari ia selalu menyempatkan diri untuk duduk di kursi halaman rumahnya, menikmati setiap hembusan angin, menikmati lambaian dedaunan, bunga-bunga, dan hangatnya matahari yang kadang menyengat. Setiap kali ia merasakan ketenangan dan kenikmatan di halaman rumahnya, ia selalu berkata “Dunia yang Agung” dengan menelentangkan kedua tangannya, seolah ia baru saja terbebas dari kurungan panjang. Tak perlu mencari daerah yang tinggi/mendaki gunung untuk menikmati senja ataupun matahari terbit, karena rumahnya berada di daerah yang cukup tinggi. Rumahnya begitu sepi, hanya ia seorang diri. Tetangganya cukup jauh dari rumahnya, tetangga paling dekat berada di jarak sekitar 100 M. 


Dua anaknya ia sekolahkan di kota yang cukup jauh dari rumahnya. Sebenarnya ia tak ingin menyekolahkan anaknya, tapi karena sudah menjadi tanggungjawab dan tuntutan dari keadaan, ia terpaksa menyekolahkan anaknya hanya untuk menjalani kewajibannya sebagai orang tua. Sekarang, anak pertamanya sudah kelas 3 SMA dan anak keduanya baru kelas 4 SD. Sejak sekolah, kedua anaknya sudah tidak tinggal dengan orang tuanya, mereka tinggal dengan nenek dari ibu, karena lebih dekat dengan sekolah.


Ia memutuskan hidup sendiri ketika ditinggal istrinya. Saat anak pertamanya baru lulus SD, istrinya pergi entah kemana, meninggalkan dirinya tanpa pesan apapun. Setelah beberapa bulan kemudian istrinya memberi kabar, bahwa ia berada di negeri tetangga dan sudah bekerja disana. Itu cukup melegakan dirinya sejenak, walau ia tak terima dengan perlakuan istrinya, ia tetap sabar dan mencoba berpikir baik mengenai istrinya, hatinya masih lebih berfungsi daripada otaknya. Tapi, setelah kabar dan sabar itu terjadi, sebulan kemudian istrinya memberi kabar lagi melalui surat. Ia mengabarkan bahwa dirinya baik-baik saja dan bahagia, selain itu surat itu juga berisi tentang permintaan cerai dari istrinya, dengan alasan ia lebih bahagia seperti itu. Itu cukup membuat pria bernama Rasi ini terpukul, hancur hatinya, sedih, kehilangan, dan sebagainya. Namun, itu hanya ia rasakan beberapa hari saja. Karena ada sesuatu yang ia kerjakan, yang membuatnya menjadi lebih sabar. 


Setelah itu ia kembali tenang dan semakin tenang saat hidup sendirian, kemudian pindah rumah ke lokasi yang lebih tenang, di daerah pegunungan. Di sanalah ia menemukan ketenangan, namun ia tak pernah kesepian, karena di sekitarnya banyak hewan-hewan yang senantiasa menjadi teman. Ketika pagi, ia disambut berbagai kicau burung yang merdu, sampai sore tak pernah sepi hewan apa saja berkeliaran di pepohonan halaman rumahnya. Sengaja ia tanami halamannya dengan pohon-pohon yang menjadi kesenangan hewan-hewan. Ada pohon bringing yang berdaun lebat, pinus, dan sebagainya. Halamannya lebih luas daripada rumahnya. Ada hal aneh yang sering terjadi padanya, ketika berada di halaman rumahnya, ia kadang terdiam dalam waktu yang lama, bisa dari pagi sampai sore ia duduk di kursi bawah pohon, kadang seperti orang tidur, tapi ketika ada tetangganya memanggil ia langsung menjawab. Ketika Rasi seperti orang tidur, kadang ada hewan mendekat dan hinggap di kursi tempat ia duduk, kursi panjang yang terbuat dari kayu seadanya, tanpa sandaran. Ia selalu bersandar ke pohon kalau sedang duduk disana. Entah kenapa hewan-hewan itu tidak kabur meskipun ia bangun tiba-tiba. 


Kedua anaknya kadang datang ke tempat itu, untuk minta jatah uang jajan dan sebagainya. Ia tak pernah kekurangan, sawah yang ia tanami selalu mencukupi kebutuhan ekonomi dan biaya untuk anaknya. Suatu sore, anak pertamanya datang ketika Rasi sedang tertidur di kursi biasanya. Anaknya melihat ayahnya sedang tertidur di kusri, kemudian ia ingin membuat kejutan dengan mengagetkan ayahnya. Ia mendekat pelan-pelan, ketika ia sudah berada di belakangnya ayahnya dan siap mengagetkan, tiba-tiba ayahnya lansung menoleh dan berkata “hayooo, mau ngagetin ayah ya..?”, “ahh... ayah selalu begitu”, “duduk sini” lanjut ayahnya. 


Setelah obrolah di halaman selesai mereka masuk ke dalam rumah, ayahya sudah menyediakan masakan kesukaan anaknya, jamur... ya, itu adalah sayur kesukaannya sejak kecil, dan Rasi selalu mencarikan jamur untuk anaknya setiap pagi. “wahhh... ayah selalu mengerti kesukaanku” kata anaknya. Rasi hanya tersenyum. Dengan sangat nikmat mereka melahap makanan yang ada di meja. Semua makanan adalah masakannya Rasi sendiri, walau hanya makanan sederhana, itu adalah makanan yang paling nikmat menurutnya. Mungkin menurut mereka berdua makanan yang mereka makan adalah makanan yang lebih enak dari pada makanan di restoran. Mereka makan sambil berbicara santai. Rasi banyak menceritakan tentang keadaan halamannya yang semakin indah, tentang hewan-hewan, dan sebagainya. Sedang anaknya menceritakan berbagai macam permasalahan yang terjadi sekolah, di lingkungannya, dan di kota-kota besar, baik masalah bencana alam, penyakit, peperangan, teroris, permasalah politik dan pemerintahan, dan sebagainya. 


Ayahnya sangat tertarik dengan semua cerita yang diceritakan anaknya. Apalagi semua cerita mengandung masalah. Kadang memang hidup tidak luput dari masalah, tapi masalah tak harus menimbulkan perpecahan, apalagi kebencian antar sesama. 


“apa masalah yang paling hangat menurutmu, anakku?” tanya Rasi


“semua masalah terasa hangat yah. Soalnya selalu diulur-ulur penyelesaiannya, apalagi masalah di pemerintahan. Wahh... pokoknya akan pusing kalau memikirkannya”.


“yasudah... aku tidak mau kamu yang pusing karena menceritakannya padaku”.


Suap demi suap terus masuk ke dalam mulut mereka, melalui ternggorokan, kemudian lambung, dan perut. Namun pada akhirnya harus ada yang terbuang ke sungai ataupun toilet. Manusia seperti hanya sebuah penyaringan, yang tak terbuang akan kau gunakan untuk berbagai macam aktivitas, itu yang sering disebut energi. Mereka terus memakan makanan sambil sesekali berbicara. 


“memang apa yang menjadi penyebab utama permasalahan itu, anakku?” tanya Rasi.


Setelah menelan makanan yang dikunyahnya, anaknya menjawab. “tidak tau yah, mungkin mereka sedang bercanda dengan hal yang main-main, hahaha”. 


“kau bisa saja anakku. Mungkin hati mereka dikalahkan oleh otaknya, jadi ambisi mereka tidak tertahankan. Padahal solat mereka kadang masuk TV kan. Sudah solat kok masih begitu”. 


“maksud ayah?”


“tidak ada maksud apa-apa, hanya sekedar ngomong. Ayah kadang bingung, apa yang sebenarnya manusia cari”.


“cari masalah mungkin yah. Hehe. Kalau aku sendiri ya cari ilmu”.


“cari ilmu ya memang wajib. Dengan ilmu kamu akan menemukan apa yang kamu cari, bukan malah menyesatkan. Repot kalau melihat mereka dengan berbagai permasalahan itu. Mending kayak ayah disini, tidak ada sedikitpun masalah, dan tenang sekali, menikmati sebuah kemerdekaan.”


“kita kan punya dunia dan pilihan masing-masing yah”.


“begitulah yang ada dalam pikiran orang. Ilmu mereka yang bermasalah begitu banyak, bahkan gelar mereka begitu panjang, rata-rata sudah naik haji, namun pada akhirnya mereka terjebak banyak permasalahan dan tidak ada yang mau mengalah”.


Tidak ada inti dari pembicaraan itu. Makanan sudah habis, meja dibersihkan, dan anak Rasi berpamitan untuk pulang. Rasi kembali ke halaman rumahnya. Ia terbayang-bayang cerita yang disampaikan anaknya, bahkan cerita yang banyak mengandung masalah itu menggingatkannya pada permasalahannya sendiri. Ia teringat istrinya, namun tidak ada lagi sakit hati. Permasalahan dengan istrinya bukanlah sebuah permasalahan yang banyak dibayangkan orang. Itu hanyalah sebuah peristiwa biasa baginya, kehilangan sesosok istri bukan berarti kehilangan cintanya pada istrinya. Bahkan ia semakin mencintai istrinya yang meninggalkannya. Semakin hari ia semakin cinta kepada istrinya yang telah pergi, ia selalu menguatkan cintanya dengan prasangka-prasangka baik. “istriku kini tak berwujud, seperti Tuhanku, dan aku sangat mencintainya. Aku akan terus menanti dan mencari sebuah pertemuan dengan dirinya.” Cerita anaknya membuatnya mengingat banyak hal. Bahkan sesekali ia seolah seperti menjadi sisi lain dari masalah yang ada di pemerintahan. 


Tak salah ia memilih untuk hidup sendirian. Sendirian bukan berarti kesepian, disitu kita akan menemukan berbagai pengetahuna yang jernih untuk pikiran dan hati. Orang-orang yang selalu hidup di tengah keramaian pasti akan rindu sebuah kesepian. Entah dimana mereka akan menemukan kesepian, mungkin di kamar mandi, dalam lemari, atau bahkan di dalam kubur. Aku tidak pernah membayangkan orang sesibuk presiden, menteri, dan orang-orang pemerintahan lainnya bisa menemukan sebuah kesepian, atau ketenangan. 


Jumat, 03 April 2015

Surat Impian



Oleh : Hudy Majnun



Kekasihku –di Surga- yang baik, semoga kabarmu sedang baik saat membaca surat ini, dan terus baik setelah kau membaca surat ini.


Saat ini aku membayangkan banyak hal, yang penting dan yang tidak penting. Pada akhirnya, aku memutuskan untuk membuat surat ini, karena bayangan yang lewat adalah, kita saling berbicara via surat, dan bayangan lain yang lewat ketika aku menulis ini adalah kita sedang berada di tempat yang jauh berbeda, dan tak ada teknologi yang membuat kita mudah berkomunikasi. Oleh sebab itu, hanya dengan surat ini kita bisa saling berbagi kabar, berbagi cerita, pikiran, gagasan, dan sebagainya. Sekaligus kita bisa saling belajar menulis walau dengan kata-kata yang begitu rapuh. 


Aku pernah mendengar kata-kata begini “penulis yang baik selalu menyampaikan sesuatu dengan cara seperti orang berbicara, ringan dan menarik”, tapi aku tidak ingat betul mendengarnya dari mana dan siapa, yang jelas itu seperti sebuah motivasi bagiku, untuk terus belajar. Coba saja bayangkan, berapa banyak kita saling berbicara setiap hari, baik via Hp, medsos ataupun ketika bertemu langsung. Kupikir pembicaraan kita –kalau ditulis- bisa melampaui 1000 kata setiap harinya. Ya, betapa mudahnya menciptakan kata-kata, tapi betapa sulit merangkainya menjadi sebuah tulisan. 


Aku ingat pada masa kecilku dulu, ketika tanteku sedang berada di luar negeri. Itu sekitar tahun 2000an awal, dan waktu itu keluargaku masih tidak mengenal tlpn, apalagi Hp. Jadi komunikasi kita lakukan dengan cara saling kirim surat. Kau tau kan, membuat sebuah surat atau tulisan sebanyak satu halaman itu rasanya sangat sulit, apalagi kita kehabisan inspirasi untuk melanjutkan tulisan. Yang menurutku menarik adalah, secara tidak langsung orang dulu sudah belajar untuk menulis, walau itu hanya sebuah curhatan atau cerita biasa mengenai hidupnya. Aku sering membaca surat-surat yang dikirimkan oleh tanteku itu, gaya bahasanya sangat ringan, mudah, dan menarik, seolah tanteku adalah seorang penulis hebat. Ia mampu membuat orang yang membaca suratnya mempunyai gambaran/bayangan yang cukup jelas mengenai apa yang diceritakan, hingga kadang orang yang membaca surat tanteku mengeluarkan air mata, ya, aku kadang ikut menangis juga, walau dulu aku tidak begitu lancar membaca, karena dulu aku masih SD. 


Kadang, ketika keluargaku ingin membalas surat itu, aku juga ikut terlibat membantu pembuatan surat, baik membantu menulis ataupun membantu mengarang dan merangkai kata, walau hanya sedikit. Biasanya, dulu kakak sepupuku yang selalu menulis surat, dia adalah anak tanteku yang masih SMP. Dia begitu pandai menulis surat, apalagi tulisan tangannya sangat bagus. Tapi ia sering kehabisan kata, saat itulah dia selalu memanggilku untuk minta pendapat harus menulis apa. Aku selalu memberinya saran walau hanya beberapa cerita pendek yang bisa disampaikan ke luar negeri. Kami tidak ingin rugi mengirim surat ke luar negeri hanya dengan tulisan sedikit dan kurang bagus, karena biaya kirim surat ke luar negeri cukup mahal. Jadi, keluargaku selalu berusaha menulis begitu banyak, cerita ini dan itu, tapi yang paling dalam adalah masalah kerinduan mereka. Mengenai harapan-harapan ketika tanteku pulang, dan rencana-rencana untuk berlibur bersama, ke pantai, ziarah makam, dan sebagainya. Aku sangat merindukan hal semacam itu, rindu saling bertukar surat, apalagi dulu masih harus tulis tangan. 


Sekarang sudah sangat berbeda, kita dimudahkan dengan teknologi untuk berkomunikasi, dengan Hp canggih dan media sosial lainnya. Secara tidak langsung, hal itu membuat kita berhenti belajar menulis. Termasuk kakak sepupuku dan juga tanteku. Kini kakak sepupu sudah memiliki android, juga tanteku. Mereka sekarang lebih sering berkomunikasi via BBM ataupun video call. Kemampuan mereka menulis sudah sangat menurun daripada dulu, kakak sepupuku paling tidak hanya bisa membuat paling banyak delapan kalimat pada status akun media sosial miliknya, berikut tanteku juga. Lebih parahnya lagi, yang mereka tulis adalah hal yang kurang penting, seperti keluhan, rencana, ataupun sesuatu yang mereka lakukan. Contohnya “jalan-jalan sambil makan tusuk sate. Enak beuddd” begitu. 


Kekasihku, ku yakin, di tempatmu sekarang, di Surga, tidak ada teknologi seperti disini. Engkau tentu akan kesulitan untuk berkomunikasi dengan orang-orang yang berada jauh darimu, tapi aku punya keyakinan lain, yaitu kau dikaruniai kemampuan untuk berkomunikasi via batin. Semoga itu benar. Karena aku tidak mempunyai kemampuan sepertimu, maka aku hanya bisa menulis surat ini, dan aku berharap engkau bisa membalasnya. 


Dalam surat ini aku tidak ingin membahas sesuatu yang berat denganmu, aku tidak ingin orang yang aku sayang merasa pusing karena harus memikirkan suatu yang berat, seperti filsafat misalnya, aku kira itu akan membuat pikiranmu terkuras. Melalui surat ini, aku atau kamu bebas untuk menulis apa saja, tapi kita harus saling membalas surat. Terserah kamu ingin menceritakan apa, masalahmu dengan Tuhan, dengan teman-teman di Surga, dan sebagainya. Aku akan senantiasa menjadi pendengar yang baik ketika kau membalas suratku, dan aku akan berusaha menjadi pencerita yang baik ketika membalas suratmu. 


Sebenarnya, aku punya satu rahasia yang ingin aku ceritakan padamu, dan itu cukup tidak masuk akal. Begini : dua malam kemarin, setelah terguyur hujan deras, aku lupa membasuh kepalaku dengan air yang bukan air hujan. Aku hanya mengeringkannya dengan handuk, tapi rambutku masih sedikit basah, aku langsung saja tidur. Lalu, di pertengahan malam, sekitar pukul 2 dini hari aku terbangun, aku sangat merasa pusing, badanku meriang. Aku berusaha tidur lagi, nampaknya aku berhasil tidur, saat itulah aku mengalami mimpi buruk tentangmu. Aku bermimpi kau sedang dilanda masalah. Saat itu, kau memutuskan untuk pergi ke suatu tempat yang cukup beresiko -aku tidak ingat betul tepat apa itu. Lalu dalam mimpi itu aku menasehatimu :  

“asal kau tau saja kasih, disana  banyak sekali masalah yang akan menguras pikiran, bukan untuk membuatmu semakin buruk, tapi untuk membuat pikiran dan mentalmu semakin terasah. Pesanku, ketika kamu menghadapi suatu masalah, kendalikan dirimu, emosimu. Ingat, sesuatu yang buruk tidak boleh dibalas dengan yang buruk pula. Itu bukan sedekar nasehat dariku, manusia manapun sudah mengerti itu, dan itu sudah terbukti. Memang mengendalikan diri itu tak semudah mengendalikan bola ketika kita menggiringnya, tapi yakinlah kau akan menemukan sebuah titik dimana kamu akan mengenal dan mampu mengendalikan dirimu, apalagi kamu sudah punya dasar yang cukup. Sesungguhnya belajar filsafat itu adalah untuk mengenal diri kita lebih dalam, agar kita menggunakan diri kita lebih baik. Kalau yang ini hanya menurutku saja, kau boleh tidak setuju, tapi inilah yang aku rasakan”.


Itu hanya sekedar nasehat dalam mimpi. Aku tau itu mimpi, kerena setelah bangun kondisiku semakin parah. Orang-orang di rumah sibuk melihat keadaanku, dan aku dibawa kerumah sakit oleh mereka. Dan setelah tiga hari dirawat, kau baru menjengukku dalam keadaan sudah baik. 


Kasih, aku masih ingat saat pertama kita berjumpa, kita bertemu karena kau takut terguyur hujan dan basah. Ya, setidaknya kamu punya antisipasi yang baik untuk menghadapi masalah. Seandainya kau terguyur hujan waktu itu, lalu kau lupa membasuh rambutmu yang panjang, mungkin kau akan mengalami sakit yang lebih parah dariku. Tapi itu tidak pernah terjadi. 


Kasih, semoga gagasan mengenai surat ini akan membuahkan sesuatu yang baik, baik untukku ataupun untukmu. Dulu aku sering berkata padamu, kita mempunyai cara untuk ber-romantis yang sedikit berbeda dari biasanya, mungkin berbeda dengan pasangan lainnya. sebenarnya itu untuk mengalihkan bahwa diriku tak mampu membuat momen yang romantis denganmu. Aku lebih suka kita saling bercanda dan tertawa, dan kau boleh menganggapku gila. 


Kasih, mungkin saat ini kau lebih dekat dengan Tuhan. Jika itu benar, aku ingin kau mendoakanku. Doakan, semoga aku tidak pernah berhenti bercerita dengan surat seperti ini, dan semoga aku tidak mengalami nasib yang sama dengan kakak sepupuku dan tanteku. Sebenarnya yang bernasib seperti itu bukan hanya kakak dan tanteku, banyak teman-temanku yang berhenti menulis/bercerita, bahkan banyak yang tak pernah menulis. Padahal, ketika sekolah dulu mereka masih sering menulis surat, seperti surat ijin ataupun surat sakit kepada wali kelas, meskipun itu hanya surat bohong yang ditanda tangani oleh teman mereka sendiri, seolah dia adalah orang tuanya. Seandainya mereka terus mengembangkan menulis surat itu, mungkin mereka sekarang sudah menjadi penulis hebat, walaupun hanya penulis Fiksi. Saat ini, banyak dari mereka telah diperkosa teknologi, mereka tak pernah menulis surat lagi, mereka lebih banyak membuat status-status aneh di akun media seosial mereka. Aku cukup prihatin dengan hal itu, ya meskipun tak semua seperti itu. 


Ada banyak hal yang ingin aku ceritakan, tapi sebaiknya aku menceritakannya pada surat berikutnya, setelah kau membalasnya, via apapun yang bisa kau gunakan. Tapi jangan via batin, karena aku tak memiliki kemampuan itu. Aku tidak menemukan tempat pelatihan komunikasi via batin di sini.  


Sekian sebuah surat awal ini kasih, semoga kau selalu dalam kebaikan dan lindungan Tuhan. Terserah kamu mau Tuhan yang mana. Sekian!.