Beberapa
saat yang lalu aku masuk rumah sakit, kata dokter hanya kurang istirahat. Tapi
yang kurasakan juga sesak nafas. Mungkin ada penyakit lain yang tidak bisa
terdeteksi oleh dokter. Untung istriku baru saja datang dari luar negeri,
sebagai TKI. Jadi aku tak perlu bingung memikirkan biaya rumah sakit. Istriku
datang setiap 3 tahun sekali, tergantung majikannya memberi cuti atau tidak.
Anak pertamaku menjadi guru kontrak di SD dekat rumah, namanya Lufi. Anak
keduaku perempuan, namanya Ine, menjadi pengangguran setelah lulus SMA. Ia tak
betah jika bekerja jauh dari rumah, sempat sekali ia bekerja jauh dari rumah.
Hanya berselang 2 minggu ia pulang kerumah dengan air mata “aku tidak tahan
jauh dari rumah” sambil menangis Ine mengatakan itu. Oleh sebab itu, sampai
sekarang ia tetap menjadi penjaga rumah.
Aku sedikit prihatin dengan anak keduaku ini. Entah aku salah mendidiknya
ketika masih kecil atau karena pergaulannya. Aku tidak mengerti dengan kondisi
psikologis anak keduaku ini. Sangat jauh berbeda dengan Lufi, ia sangat gigih
kuliah dan bekerja. Lufi sekarang sudah sarjana, tapi belum diangkat menjadi
PNS. Lufi berharap sekali menjadi PNS- meskipun bagiku PNS bukanlah jalan
terbaik- agar bisa memperbaiki ekonomi keluarga dan agar ibunya tak kerja di luar negeri lagi.
Apalagi akhir-akhir ini banyak kasus tentang penganiayaan TKI. Jadi aku
sarankan kepadamu, jika punya anak, didiklah anakmu untuk menjadi seorang yang
pemberani, laki ataupun perempuan. Agar tak bernasib sama dengan anak keduaku,
Ine. Dan jika kamu punya istri, jangan biarkan ia bekerja di luar negeri,
apalagi menjadi TKI.
Dua bulan yang lalu Lufi juga menambah pekerjaannya, setelah dari pagi
sampai siang ia mengajar di SD, sore sampai malam ia menjaga apotek milik
saudaranya. Ia semakin sibuk sekarang, jarang sekali ada dirumah, berbeda
dengan Ine. Aku hanya bisa menjadi imamnya ketika solat subuh. Setelah sarapan
pagi ia langsung berangkat. Datang siang, lalu berangkat lagi, pulang lagi
malam. Aku hanya bisa membekalinya dengan do’a. Aku berharap, aku tidak menjadi
beban untuk mereka, juga istriku. Setiap hari aku pergi ke sawah, merawat
tanaman yang hampir siap panen.
Suatu malam Lufi tiba-tiba memarahiku. “sudah aku bilang, bapak tidak
perlu ke sawah lagi. Biar aku nyuruh orang saja” kata Lufi dengan nada marah
bercampur sedih. Semua keluargaku tiba-tiba menjadi baik, setelah aku pulang
dari rumah sakit itu. Aku bahagia melihat mereka seperti itu. Tapi aku tidak
suka dilarang-larang untuk beraktivitas berlebihan. Aku tidak menjawab apa-apa
ketika Lufi memarahiku. Aku takut Lufi tambah emosi. Aku tau dia capek sekali
setelah bekerja seharian, di sekolah dan di apotek. Kami tidak sempat ngobrol
dengannya sampai larut malam, karena ia butuh istirahat.
Satu bulan yang lalu ada rombongan keluarga datang kerumahku. Rombongan
itu datang bermaksud untuk melamar Ine. Aku tidak dapat menghalangi niat baik
orang itu. Aku menerimanya, Ine tunangan dengan lelaki yang kupikir cukup alim
itu. Ia lulusan dari pesantren yang cukup bagus. Tapi aku kurang mengerti
tentang pekerjaannya. Aku yakin ia lelaki yang bertanggung jawab. Minggu depan,
tepatnya hari rabu, keluarga kami ingin membalas lamaran lelaki itu. Di desaku
tradisi lamaran memang seperti itu. Pertama pihak laki-laki datang ke pihak
perempuan, kemudian pihak perempuan datang ke pihak laki-laki, dengan segala
jenis kue. Aku senang menyaksikan itu, artinya aku akan mempunyai menantu, keluargaku
akan bertambah. Ine juga mencintai laki-laki itu. “mohon doa restunya ayah”
lembut Ine setelah rombongan pihak laki-laki pulang.
Mulai hari minggu kami menyicil segala keperluan untuk lamaran, mulai
dari kue-kue yang akan di bawa, orang-orang yang akan ikut dan segala
perlengkapan yang dibutuhkan. Semua itu diurus oleh Lufi. Lufi memang anak yang
sangat bisa diandalkan. Sampai hari Senin pagi segala persiapan sudah mencapai
75%. Kue sudah memesan ke tukang kue, kendaraan sudah bayar DP, tinggal
menentukan siapa saja yang ikut dan jam berapa harus berangkat. Untuk menentukan
pemberangkatan lamaran harus mencari waktu yang baik. Kami percaya pada
hitung-hitungan seperti ini. Ini dilakukan demi lancarnya acara lamaran dan
demi nasib baik di masa depan anak-anak. Untuk mencari waktu yang baik, aku
percayakan hal ini pada guru ngajiku dulu, ia sudah sangat sepuh namun kepandaiannya dalam mencari waktu baik masih bisa
diandalkan. Akhirnya ia menentukan jam berangkat, yaitu rabu, jam 1 siang.
Kurasa itu memang yang terbaik, tapi cuaca saat itu sedang musim penghujan,
jadi jam 12 samapai jam 4 sore sangat rawan hujan. Sepulang dari tempat guruku,
semua keluarga langsung kuberitahu mengenai hasil keputusan jam pemberangkatan.
Semua setuju saja, karena semua pihak keluarga juga percaya.
Seperti biasa senin pagi aku masih harus ke sawah untuk mengurusi tanaman
yang hampir panen. Mengenai tanaman itu, aku menanam jangung dan lombok. Harga
lombok yang tidak stabil kadang memberi keuntungan besar untukku, tapi kadang
memeberi kerugian yang cukup besar pula. Kau pasti merasakan juga jika harga
lombok mahal, coba saja beli gorengan di warung-warung, pasti warung itu tidak
menyediakan lombok gratis untukmu. “lombok mahal mas” ibu atau bapak penjual
gorengan pasti bilang seperti itu. Setiap waktu harus kusempatkan untuk melihat
tanaman itu, karena banyak hama yang mengganggu. Bahkan monyet-monyetpun sangat
sering mencuri jagung-jagung, tapi tidak untuk lombok. Dasar monyet sialan,
pikirku.
Masih Senin itu. Sepulang dari sawah aku sedikit merasa pusing, kurebahkan
saja badan di ruang tamu. Kupikir aku tertidur lelap, aku tidak tau sedang
bermimpi apa. Ketika bangun tubuhku sudah dipenuhi kabel-kabel, dan lenganku
tertancap jarum infus. Ya... aku tidur di ruang tamu tapi bangun di rumah
sakit. Aku tidak tau apa yang terjadi, mungkin aku berjalan saat tidur dan
dalam perjalanan itu aku tertabrak mobil, kemudian seseorang yang baik
membawaku kerumah sakit.
Waktu bangun tidur, Lufi sedang solat tepat di sebelah tempat aku
berbaring. Ia berada di bawah, seperti sedang menyembahku, tapi tentu tidak. Ia
mengerti apa yang harus ia sembah. Dia terlihat khusuk, aku yakin dia mempunyai
harapan dan permintaan yang besar pada Tuhannya. Semoga Tuhan mengabulkan
segala macam permintaannya.
“bapak
sudah bangun?” sambil tersenyum Lufi menyapaku. Selanjutnya ia bercerita banyak
tentang bagaimana aku bisa berada di rumah sakit. Katanya aku pingsan di ruang
tamu, padahal aku hanya tidur seperti biasanya. Setelah itu ia langsung
membawaku kerumah sakit. Dan kau tau, aku pingsan sampai setengah hari,
katanya. Selama di rumah sakit aku tidak pernah diperbolehkan untuk merokok,
minum kopi, dan pergi kesawah mengusir monyet-monyet itu. Makan pun aku hanya
diberi bubur yang sangat tidak enak itu. Aku merasa seperti bayi. Atau orang
tua yang sakit parah, padahal aku tidak merasakan sakit apa-apa, hanya saja
kadang sesak nafas.
Selasa pagi aku sudah merasa segar, tidak sesak nafas, dan tidak
merasakan sakit apapun. Jadi kuputuskan untuk pulang. Tapi kau tau, dengan
berbagai alasan dokter melarangku untuk pulang waktu itu. Mungkin dokter itu
masih kurang untuk menguras uangku. Kamar yang kutempati sangat mahal, sehari
saja aku harus membayar 300 ribu, hampir sama dengan hotel-hotel berbintang.
Uang segitu bisa buat makan berhari-hari, atau bisa buat membeli cadangan rokok
selama sebulan lebih, bisa juga untuk yang lain-lain, selain hanya untuk tempat
berbaring. Aku kalah dalam perdebatan itu, dokter itu bisa menang untuk
perdebatan kali ini. Tapi, takkan kubiarkan ia menang pada kesempatan
perdebatan lainnya. 1-0 untuk kemenangan dokter itu, tapi ingat, masih ada
babak selanjutnya setelah ini. Aku sedikit tidak terima dengan hasil ini, tapi
apa daya anak dan istriku tidak ada yang berpihak padaku.
Yang kutau pada hari selasa itu, bahwa aku sudah sangat sehat dan siap
untuk mengusir para monyet-monyet di sawah. Satu hal lagi, selasa itu pikiran
tentang membalas lamaran yang diterima Ine selalu membayangiku. Aku tidak sabar
untuk mengetahui tempat lelaki yang melamar anakku itu. Mereka juga pasti akan
sangat bahagia dengan kedatangan kami nantinya. Seharian itu aku hanya bisa
membayangkan dan memikirkan hal-hal yang biasanya aku lakukan. Seharian itu
berlalu tanpa aku tau bagaimana matahari bergerak dari timur kebarat, aku tidak
tau apakah monyet-monyet sedang berpesta memakan tanamanku. Aku yakin
monyet-monyet itu pasti bahagia melihat keadaanku–aku tidak bisa mengusiknya
lagi memakan jagung-jagung itu. Berbahagialah para monyet, selagi aku masih
disini, tapi tunggu besok. Setelah lamaran selesai kita akan bertengkar lagi,
kalian pasti kalah karena takut dengan batu-batu yang sering kulemparkan
kearahmu.
“sudah
magrib pak, aku solat dulu” kata Lufi. Waktu itu aku juga tidak tau kenapa
petang sudah berlalu. Selesai Lufi solat, ia membasuh mukaku dengan handuk
basah. Padahal kupikir aku bisa melakukan itu sendiri, bahkan aku bisa pergi sendiri
ke kamar mandi kemudian berlama-lama di atas kloset sampai sebatang rokok
habis. Sebagai bapak yang baik aku tidak akan menolak kebaikan anakku.
Beberapa menit kemudian, sesak nafasku kumat, jantungku berdebar cukup
kencang, lebih kencang daripada ketika kau berada di dekat wanita/lelaki
kesayanganmu atau ketika kau akan mengutarakan cinta pada wanita/lelaki
pujaanmu. Dokter datang, kemudian memberikan suatu sentuhan untukku. Aku
kembali tertidur. Aku bermimpi sangat indah, berpetualang kemana-mana, bahkan
aku bisa kemana-mana tanpa naik kereta atau naik kendaraan lainnya. Ya...aku
bisa terbang seperti peri-peri dalam film Harry Potter atau seperti Peterpan. Aku
terbang sangat tinggi, melebihi tingginya Monas, bahkan lebih tinggi daripada
impian-impianmu. Aku bisa tidur di atas awan, bermain dengan meteor-meteor,
atau menjadi salah satu dari bintang-bintang. Aku bisa melihat semua yang ada
di bumi, bahkan aku bisa melihatmu sedang mencari-cari seseorang yang kau suka
pada beranda akun facebookmu, sambil sesekali mengintip tulisan ini. Kau tak
senang bukan, ketika ada sesuatu yang tak kau sadari sedang memperhatikanmu
melakukan sesuatu yang sangat rahasia. Itu dapat kulakukan kali ini, jadi hati-hatilah.
Ketika aku sedang melihat-lihat keadaan di bumi, aku tertarik untuk
mendekati kerumunan orang berbaju hitam. Mereka sedang mengelilingi gundukan
tanah yang bertabur bunga. Banyak dari mereka yang menangis, entah karena apa.
Di lain sisi, monyet-monyet sedang berpesta untuk merayakan suatu yang sangat
membahagiakan bagi mereka.
Aku tidak tau apa yang sedang mereka tangisi dan apa yang membuat
monyet-monyet itu sangat berbahagia. Semakin dekat aku mendekati kerumunan itu.
Aku membaca sebuah tulisan pada kayu yang dibentuk indah tertancap di ujung
gundukan tanah itu. “Suarna binti Nejo.
Lahir kamis pon, 6 maret 1978, wafat selasa kliwon, 08 september 2014” itulah
yang kubaca pada kayu itu. Aku teringat banyak hal setelah membaca itu, aku
kembali dari terbang panjangku ke tempat aku terbaring. Di sana sudah tidak ada
apa-apa, hanya ruang kosong yang sangat rapi dan wangi. Aku tidak tau kemana
aku harus kembali. Seketika aku sadar, nama pada kayu itu mirip sekali dengan
namaku. Tidak hanya nama, tanggal itu juga mirip dengan kelahiran dan waktu aku
tidur.
Aku kembali terbang mendekati kerumunan orang tadi, tapi tempat itu sudah
sepi. Hanya ada tiga orang tersisa. Dua wanita dan satu lelaki, sedang membaca
sebuah buku/kitab. Sesekali aku mendengar mereka tersedu-sedu, sambil
meneruskan membaca. Aku mencoba duduk tepat di depan mereka, tapi mereka tak
menghiraukan keberadaanku, mereka tetap saja terus membaca. Mereka sangat tidak
asing bagiku. Ketika selesai membaca syair-syair itu, pandangan mereka tertuju
pada tulisan di kayu. Kali ini aku dapat melihat jelas wajah mereka. Mereka
adalah anak-anak dan istriku. Aku menyapa mereka, tapi sedikitpun mereka tak
menghiraukanku. Bahkan aku mengantarkan mereka pulang ke rumah, namun sama
saja, mereka tak lagi menganggapku. Ini merupakan kesedihan yang sangat
mendalam, yang tak pernah kurasakan.
Aku tidak bisa berbuat apa-apa lagi bagi mereka, bahkan aku tidak mungkin
bisa menemani anakku Ine datang kerumah tunangannya. Memang aku bisa kemanapun
yang aku mau, tapi aku tidak bisa berbuat apapun untuk yang aku mau. Entah apa
yang harus aku lakukan, jika kau mempunyai saran silahkan sampaikan kepadaku.
Tapi jangan dalam tulisan pada kayu yang kau tancapkan di tanah, karena itu
awal kesedihanku, lebih sedih dari pada orang-orang berbaju hitam yang membaca
syair di atas gundukan.*
_________________________________________________________________________________
Aku hanya mencoba merasakan menjadi jasad tanpa roh. Ia adalah bapak yang
baik dan ia adalah temanku yang pergi tanpa pamit padaku. Aku baru tau
kepergiannya setelah pulang kekampung halaman dan bertemu Lufi, temanku. Ia menceritakan
kisahnya yang cukup memilukan. “aku tidak bisa merasakan apa-apa waktu itu. Aku
sangat bersedih kehilangan bapakku, namun dilain sisi aku harus bahagia karena
adikku akan tunangan” kata Lufi, tanpa sisa kesedihan. “tapi aku harus ikhlas”.
Meninggalnya bapak Lufi karena terkena serangan jantung.
Rabu pagi Lufi dan keluarganya harus memakamkan ayahnya, kemudian siangnya ia harus tetap berangkat untuk membalas lamaran adiknya, Ine. Itu tidak dapat ia batalkan, karena persiapan sudah matang dan pihak laki-laki sudah melakukan berbagai persiapan untuk menyambut keluarga Lufi. Mereka adalah orang-orang hebat dalam versiku. Meskipun nama-nama yang kugunakan bukanlah nama sebenarnya.
Rabu pagi Lufi dan keluarganya harus memakamkan ayahnya, kemudian siangnya ia harus tetap berangkat untuk membalas lamaran adiknya, Ine. Itu tidak dapat ia batalkan, karena persiapan sudah matang dan pihak laki-laki sudah melakukan berbagai persiapan untuk menyambut keluarga Lufi. Mereka adalah orang-orang hebat dalam versiku. Meskipun nama-nama yang kugunakan bukanlah nama sebenarnya.
siip hud.. lanjutkan berimajinasi hingga majnun..
BalasHapussiiippppp
BalasHapuswalaikumsalam
BalasHapus