Senin, 08 Desember 2014

Monyet-monyet Sedang Berpesta.




Oleh : Hudy Majnun 


Beberapa saat yang lalu aku masuk rumah sakit, kata dokter hanya kurang istirahat. Tapi yang kurasakan juga sesak nafas. Mungkin ada penyakit lain yang tidak bisa terdeteksi oleh dokter. Untung istriku baru saja datang dari luar negeri, sebagai TKI. Jadi aku tak perlu bingung memikirkan biaya rumah sakit. Istriku datang setiap 3 tahun sekali, tergantung majikannya memberi cuti atau tidak. Anak pertamaku menjadi guru kontrak di SD dekat rumah, namanya Lufi. Anak keduaku perempuan, namanya Ine, menjadi pengangguran setelah lulus SMA. Ia tak betah jika bekerja jauh dari rumah, sempat sekali ia bekerja jauh dari rumah. Hanya berselang 2 minggu ia pulang kerumah dengan air mata “aku tidak tahan jauh dari rumah” sambil menangis Ine mengatakan itu. Oleh sebab itu, sampai sekarang ia tetap menjadi penjaga rumah.

Aku sedikit prihatin dengan anak keduaku ini. Entah aku salah mendidiknya ketika masih kecil atau karena pergaulannya. Aku tidak mengerti dengan kondisi psikologis anak keduaku ini. Sangat jauh berbeda dengan Lufi, ia sangat gigih kuliah dan bekerja. Lufi sekarang sudah sarjana, tapi belum diangkat menjadi PNS. Lufi berharap sekali menjadi PNS- meskipun bagiku PNS bukanlah jalan terbaik- agar bisa memperbaiki ekonomi keluarga dan  agar ibunya tak kerja di luar negeri lagi. Apalagi akhir-akhir ini banyak kasus tentang penganiayaan TKI. Jadi aku sarankan kepadamu, jika punya anak, didiklah anakmu untuk menjadi seorang yang pemberani, laki ataupun perempuan. Agar tak bernasib sama dengan anak keduaku, Ine. Dan jika kamu punya istri, jangan biarkan ia bekerja di luar negeri, apalagi menjadi TKI.

Dua bulan yang lalu Lufi juga menambah pekerjaannya, setelah dari pagi sampai siang ia mengajar di SD, sore sampai malam ia menjaga apotek milik saudaranya. Ia semakin sibuk sekarang, jarang sekali ada dirumah, berbeda dengan Ine. Aku hanya bisa menjadi imamnya ketika solat subuh. Setelah sarapan pagi ia langsung berangkat. Datang siang, lalu berangkat lagi, pulang lagi malam. Aku hanya bisa membekalinya dengan do’a. Aku berharap, aku tidak menjadi beban untuk mereka, juga istriku. Setiap hari aku pergi ke sawah, merawat tanaman yang hampir siap panen.

Suatu malam Lufi tiba-tiba memarahiku. “sudah aku bilang, bapak tidak perlu ke sawah lagi. Biar aku nyuruh orang saja” kata Lufi dengan nada marah bercampur sedih. Semua keluargaku tiba-tiba menjadi baik, setelah aku pulang dari rumah sakit itu. Aku bahagia melihat mereka seperti itu. Tapi aku tidak suka dilarang-larang untuk beraktivitas berlebihan. Aku tidak menjawab apa-apa ketika Lufi memarahiku. Aku takut Lufi tambah emosi. Aku tau dia capek sekali setelah bekerja seharian, di sekolah dan di apotek. Kami tidak sempat ngobrol dengannya sampai larut malam, karena ia butuh istirahat.

Satu bulan yang lalu ada rombongan keluarga datang kerumahku. Rombongan itu datang bermaksud untuk melamar Ine. Aku tidak dapat menghalangi niat baik orang itu. Aku menerimanya, Ine tunangan dengan lelaki yang kupikir cukup alim itu. Ia lulusan dari pesantren yang cukup bagus. Tapi aku kurang mengerti tentang pekerjaannya. Aku yakin ia lelaki yang bertanggung jawab. Minggu depan, tepatnya hari rabu, keluarga kami ingin membalas lamaran lelaki itu. Di desaku tradisi lamaran memang seperti itu. Pertama pihak laki-laki datang ke pihak perempuan, kemudian pihak perempuan datang ke pihak laki-laki, dengan segala jenis kue. Aku senang menyaksikan itu, artinya aku akan mempunyai menantu, keluargaku akan bertambah. Ine juga mencintai laki-laki itu. “mohon doa restunya ayah” lembut Ine setelah rombongan pihak laki-laki pulang.

Mulai hari minggu kami menyicil segala keperluan untuk lamaran, mulai dari kue-kue yang akan di bawa, orang-orang yang akan ikut dan segala perlengkapan yang dibutuhkan. Semua itu diurus oleh Lufi. Lufi memang anak yang sangat bisa diandalkan. Sampai hari Senin pagi segala persiapan sudah mencapai 75%. Kue sudah memesan ke tukang kue, kendaraan sudah bayar DP, tinggal menentukan siapa saja yang ikut dan jam berapa harus berangkat. Untuk menentukan pemberangkatan lamaran harus mencari waktu yang baik. Kami percaya pada hitung-hitungan seperti ini. Ini dilakukan demi lancarnya acara lamaran dan demi nasib baik di masa depan anak-anak. Untuk mencari waktu yang baik, aku percayakan hal ini pada guru ngajiku dulu, ia sudah sangat sepuh namun kepandaiannya dalam mencari waktu baik masih bisa diandalkan. Akhirnya ia menentukan jam berangkat, yaitu rabu, jam 1 siang. Kurasa itu memang yang terbaik, tapi cuaca saat itu sedang musim penghujan, jadi jam 12 samapai jam 4 sore sangat rawan hujan. Sepulang dari tempat guruku, semua keluarga langsung kuberitahu mengenai hasil keputusan jam pemberangkatan. Semua setuju saja, karena semua pihak keluarga juga percaya.

Seperti biasa senin pagi aku masih harus ke sawah untuk mengurusi tanaman yang hampir panen. Mengenai tanaman itu, aku menanam jangung dan lombok. Harga lombok yang tidak stabil kadang memberi keuntungan besar untukku, tapi kadang memeberi kerugian yang cukup besar pula. Kau pasti merasakan juga jika harga lombok mahal, coba saja beli gorengan di warung-warung, pasti warung itu tidak menyediakan lombok gratis untukmu. “lombok mahal mas” ibu atau bapak penjual gorengan pasti bilang seperti itu. Setiap waktu harus kusempatkan untuk melihat tanaman itu, karena banyak hama yang mengganggu. Bahkan monyet-monyetpun sangat sering mencuri jagung-jagung, tapi tidak untuk lombok. Dasar monyet sialan, pikirku.

Masih Senin itu. Sepulang dari sawah aku sedikit merasa pusing, kurebahkan saja badan di ruang tamu. Kupikir aku tertidur lelap, aku tidak tau sedang bermimpi apa. Ketika bangun tubuhku sudah dipenuhi kabel-kabel, dan lenganku tertancap jarum infus. Ya... aku tidur di ruang tamu tapi bangun di rumah sakit. Aku tidak tau apa yang terjadi, mungkin aku berjalan saat tidur dan dalam perjalanan itu aku tertabrak mobil, kemudian seseorang yang baik membawaku kerumah sakit.

Waktu bangun tidur, Lufi sedang solat tepat di sebelah tempat aku berbaring. Ia berada di bawah, seperti sedang menyembahku, tapi tentu tidak. Ia mengerti apa yang harus ia sembah. Dia terlihat khusuk, aku yakin dia mempunyai harapan dan permintaan yang besar pada Tuhannya. Semoga Tuhan mengabulkan segala macam permintaannya.

“bapak sudah bangun?” sambil tersenyum Lufi menyapaku. Selanjutnya ia bercerita banyak tentang bagaimana aku bisa berada di rumah sakit. Katanya aku pingsan di ruang tamu, padahal aku hanya tidur seperti biasanya. Setelah itu ia langsung membawaku kerumah sakit. Dan kau tau, aku pingsan sampai setengah hari, katanya. Selama di rumah sakit aku tidak pernah diperbolehkan untuk merokok, minum kopi, dan pergi kesawah mengusir monyet-monyet itu. Makan pun aku hanya diberi bubur yang sangat tidak enak itu. Aku merasa seperti bayi. Atau orang tua yang sakit parah, padahal aku tidak merasakan sakit apa-apa, hanya saja kadang sesak nafas.

Selasa pagi aku sudah merasa segar, tidak sesak nafas, dan tidak merasakan sakit apapun. Jadi kuputuskan untuk pulang. Tapi kau tau, dengan berbagai alasan dokter melarangku untuk pulang waktu itu. Mungkin dokter itu masih kurang untuk menguras uangku. Kamar yang kutempati sangat mahal, sehari saja aku harus membayar 300 ribu, hampir sama dengan hotel-hotel berbintang. Uang segitu bisa buat makan berhari-hari, atau bisa buat membeli cadangan rokok selama sebulan lebih, bisa juga untuk yang lain-lain, selain hanya untuk tempat berbaring. Aku kalah dalam perdebatan itu, dokter itu bisa menang untuk perdebatan kali ini. Tapi, takkan kubiarkan ia menang pada kesempatan perdebatan lainnya. 1-0 untuk kemenangan dokter itu, tapi ingat, masih ada babak selanjutnya setelah ini. Aku sedikit tidak terima dengan hasil ini, tapi apa daya anak dan istriku tidak ada yang berpihak padaku.

Yang kutau pada hari selasa itu, bahwa aku sudah sangat sehat dan siap untuk mengusir para monyet-monyet di sawah. Satu hal lagi, selasa itu pikiran tentang membalas lamaran yang diterima Ine selalu membayangiku. Aku tidak sabar untuk mengetahui tempat lelaki yang melamar anakku itu. Mereka juga pasti akan sangat bahagia dengan kedatangan kami nantinya. Seharian itu aku hanya bisa membayangkan dan memikirkan hal-hal yang biasanya aku lakukan. Seharian itu berlalu tanpa aku tau bagaimana matahari bergerak dari timur kebarat, aku tidak tau apakah monyet-monyet sedang berpesta memakan tanamanku. Aku yakin monyet-monyet itu pasti bahagia melihat keadaanku–aku tidak bisa mengusiknya lagi memakan jagung-jagung itu. Berbahagialah para monyet, selagi aku masih disini, tapi tunggu besok. Setelah lamaran selesai kita akan bertengkar lagi, kalian pasti kalah karena takut dengan batu-batu yang sering kulemparkan kearahmu.

“sudah magrib pak, aku solat dulu” kata Lufi. Waktu itu aku juga tidak tau kenapa petang sudah berlalu. Selesai Lufi solat, ia membasuh mukaku dengan handuk basah. Padahal kupikir aku bisa melakukan itu sendiri, bahkan aku bisa pergi sendiri ke kamar mandi kemudian berlama-lama di atas kloset sampai sebatang rokok habis. Sebagai bapak yang baik aku tidak akan menolak kebaikan anakku.

Beberapa menit kemudian, sesak nafasku kumat, jantungku berdebar cukup kencang, lebih kencang daripada ketika kau berada di dekat wanita/lelaki kesayanganmu atau ketika kau akan mengutarakan cinta pada wanita/lelaki pujaanmu. Dokter datang, kemudian memberikan suatu sentuhan untukku. Aku kembali tertidur. Aku bermimpi sangat indah, berpetualang kemana-mana, bahkan aku bisa kemana-mana tanpa naik kereta atau naik kendaraan lainnya. Ya...aku bisa terbang seperti peri-peri dalam film Harry Potter atau seperti Peterpan. Aku terbang sangat tinggi, melebihi tingginya Monas, bahkan lebih tinggi daripada impian-impianmu. Aku bisa tidur di atas awan, bermain dengan meteor-meteor, atau menjadi salah satu dari bintang-bintang. Aku bisa melihat semua yang ada di bumi, bahkan aku bisa melihatmu sedang mencari-cari seseorang yang kau suka pada beranda akun facebookmu, sambil sesekali mengintip tulisan ini. Kau tak senang bukan, ketika ada sesuatu yang tak kau sadari sedang memperhatikanmu melakukan sesuatu yang sangat rahasia. Itu dapat kulakukan kali ini, jadi hati-hatilah.

Ketika aku sedang melihat-lihat keadaan di bumi, aku tertarik untuk mendekati kerumunan orang berbaju hitam. Mereka sedang mengelilingi gundukan tanah yang bertabur bunga. Banyak dari mereka yang menangis, entah karena apa. Di lain sisi, monyet-monyet sedang berpesta untuk merayakan suatu yang sangat membahagiakan bagi mereka.

Aku tidak tau apa yang sedang mereka tangisi dan apa yang membuat monyet-monyet itu sangat berbahagia. Semakin dekat aku mendekati kerumunan itu. Aku membaca sebuah tulisan pada kayu yang dibentuk indah tertancap di ujung gundukan tanah itu. “Suarna binti Nejo. Lahir kamis pon, 6 maret 1978, wafat selasa kliwon, 08 september 2014” itulah yang kubaca pada kayu itu. Aku teringat banyak hal setelah membaca itu, aku kembali dari terbang panjangku ke tempat aku terbaring. Di sana sudah tidak ada apa-apa, hanya ruang kosong yang sangat rapi dan wangi. Aku tidak tau kemana aku harus kembali. Seketika aku sadar, nama pada kayu itu mirip sekali dengan namaku. Tidak hanya nama, tanggal itu juga mirip dengan kelahiran dan waktu aku tidur.

Aku kembali terbang mendekati kerumunan orang tadi, tapi tempat itu sudah sepi. Hanya ada tiga orang tersisa. Dua wanita dan satu lelaki, sedang membaca sebuah buku/kitab. Sesekali aku mendengar mereka tersedu-sedu, sambil meneruskan membaca. Aku mencoba duduk tepat di depan mereka, tapi mereka tak menghiraukan keberadaanku, mereka tetap saja terus membaca. Mereka sangat tidak asing bagiku. Ketika selesai membaca syair-syair itu, pandangan mereka tertuju pada tulisan di kayu. Kali ini aku dapat melihat jelas wajah mereka. Mereka adalah anak-anak dan istriku. Aku menyapa mereka, tapi sedikitpun mereka tak menghiraukanku. Bahkan aku mengantarkan mereka pulang ke rumah, namun sama saja, mereka tak lagi menganggapku. Ini merupakan kesedihan yang sangat mendalam, yang tak pernah kurasakan.

Aku tidak bisa berbuat apa-apa lagi bagi mereka, bahkan aku tidak mungkin bisa menemani anakku Ine datang kerumah tunangannya. Memang aku bisa kemanapun yang aku mau, tapi aku tidak bisa berbuat apapun untuk yang aku mau. Entah apa yang harus aku lakukan, jika kau mempunyai saran silahkan sampaikan kepadaku. Tapi jangan dalam tulisan pada kayu yang kau tancapkan di tanah, karena itu awal kesedihanku, lebih sedih dari pada orang-orang berbaju hitam yang membaca syair di atas gundukan.*

_________________________________________________________________________________
Aku hanya mencoba merasakan menjadi jasad tanpa roh. Ia adalah bapak yang baik dan ia adalah temanku yang pergi tanpa pamit padaku. Aku baru tau kepergiannya setelah pulang kekampung halaman dan bertemu Lufi, temanku. Ia menceritakan kisahnya yang cukup memilukan. “aku tidak bisa merasakan apa-apa waktu itu. Aku sangat bersedih kehilangan bapakku, namun dilain sisi aku harus bahagia karena adikku akan tunangan” kata Lufi, tanpa sisa kesedihan. “tapi aku harus ikhlas”. Meninggalnya bapak Lufi karena terkena serangan jantung.

Rabu pagi Lufi dan keluarganya harus memakamkan ayahnya, kemudian siangnya ia harus tetap berangkat untuk membalas lamaran adiknya, Ine. Itu tidak dapat ia batalkan, karena persiapan sudah matang dan pihak laki-laki sudah melakukan berbagai persiapan untuk menyambut keluarga Lufi. Mereka adalah orang-orang hebat dalam versiku. Meskipun nama-nama yang kugunakan bukanlah nama sebenarnya.

3 komentar: