Selasa, 16 Mei 2017

PERANG




Oleh : Hudi Majnun

Sejak SMA saya sudah menyukai buku. Waktu itu, buku paling berkesan adalah LKS (Lembar Kerja Siswa), yang wajib saya beli dari sekolah. Di dalamnya terdapat materi singkat-mengenai berbagai macam mata pelajaran-, dan dilengkapi dengan soal-soal latihan. Tentu semua orang yang bersekolah pernah mengalami, dan mungkin buku itu masih menjadi kenangan indah sampai saat ini. Meskipun begitu, saya sangat kesulitan memahami isi buku tersebut. Karena waktu itu, saya tidak mengerti bagaimana cara membaca yang baik dan benar. Setiap kali membaca, saya selalu berusaha mengingat kalimat demi kalimat hingga lupa untuk memahaminya.
Ada beberapa guru yang menyuruh menghafal materi dalam buku LKS. Kemudian, murid disuruh mengulangi kalimat dalam buku tersebut di depan kelas, tanpa membawa teks. Secara tidak langsung, hal itu menjadi kebiasaan yang melekat. Ketika membaca, saya sering berusaha menghafalnya. Bahkan, kebiasaan seperti itu masih sering saya alami secara otomatis sampai saat ini. Sesekali, setiap membaca buku, saya selalu membaca dua sampai tiga kali, agar dapat mengerti dan sekaligus menghafalnya. Apalagi buku yang berhubungan dengan angka-angka dalam sejarah. Misalnya, tanggal dimulai dan berakhirnya Perang Dunia ke II, dan sebagainya.
Setelah kuliah, saya sering berkumpul dengan teman-teman yang suka membaca. Namun, saya tetap tidak menemukan cara terbaik dalam membaca. Apalagi yang saya baca adalah buku non fiksi atau materi perkuliahan. Sebenarnya, membaca itu bukan untuk menghafal, tapi untuk memahami dan memberi pengalaman bagi si pembaca. Pada akhirnya, pembaca akan semakin memperkaya wawasan. Meski begitu, sesuatu yang melekat sejak SMA itu sulit dihilangkan.
Setelah saya bosan dengan bacaan non fiksi, saya berusaha mencari pelarian dengan membaca buku fiksi, seperti novel, kumpulan puisi, kumpulan cerpen, dan sebagainya. Ternyata membaca buku fiksi membuat saya sedikit menghilangkan penyakit yang saya idap sejak SMA, yaitu gairah untuk menghafal. Karena buku fiksi tak sesulit buku non fiksi yang penuh dengan teori. Bacaan fiksi ternyata sangat kaya akan pengetahuan, dan bukan hanya sedekar fantasi belaka.
Oleh sebab itu, saya mulai mengoleksi buku-buku fiksi. Pada bulan November 2013, saya datang ke sebuah toko buku, dan selalu bingung setiap kali melihat tumpukan buku. Karena di sana, setiap jenis buku berada pada rak yang berbeda. Apalagi uang untuk membeli buku sangat sedikit, mungkin hanya bisa beli satu buku. Saat itu saya sangat tertarik untuk mengetahui filsafat, tapi saya sedang menyukai novel. Akhirnya saya melihat-lihat rak novel barat, dan di sana bertemu dengan Sophie. “Ini dia” dalam benakku. Ia bukan seorang wanita, melainkan sebuah novel yang ditulis oleh Jostein Gaarder, dengan judul Dunia Sophie. Itu adalah novel yang berisi perjalanan seorang anak perempuan bernama Sophie dalam belajar filsafat.
Gaarder sangat pandai menyampaikan sesuatu yang berat dengan ringan. Sebenarnya, dalam buku tersebut, Gaarder ingin menjelaskan mengenai perkembangan filsafat barat. Akhirnya dengan bantuan Sophie dan guru filosofnya, ia dengan sangat ringan menjelaskan hal tersebut. Dan saya bisa sedikit memahami. Buku setebal 798 halaman tersebut saya selesaikan dalam waktu sekitar 6 bulan. Banyak fantasi-fantasi yang saya alami ketika membacanya. Rasanya pikiran saya mulai terbuka sejak membacanya.
Di dalam novel tersebut, banyak membahas tentang asal-usul hidup dan berbagai Tuhan. Banyak pencarian Tuhan yang dilakukan oleh para filsuf dengan menggunakan akal. Ada yang percaya dan ada yang tidak. Bahkan ada seorang filsuf yang menganggap bahwa Tuhan telah mati. Mereka selalu melakukan pembuktian-pembuktian dengan akal. Sesuatu yang rasional/masuk akal. Kurasa mereka tidak akan menemukannya, sebab Tuhan itu gaib.
Saya sempat terpengaruh oleh buku tersebut, dan mungkin sempat menjadi seorang atheis. Ya, ternyata buku yang kita baca akan memberi pengalaman, serta bisa membentuk pola pikir dan perilaku kita. Sama halnya ketika kita membaca buku percintaan, maka kita akan menjadi romantis, atau setelah membaca buku humor, sseeorang bisa berbakat menjadi pelawak, dan seterusnya.
Karena tertarik dengan tulisan Gaarder, saya mengoleksi berbagai judul buku karyanya. Tentunya masih dengan pembahasan mengenai Filsafat yang ia sajikan serenyah kerupuk.
Akibat pengaruh buku tersebut, saya meninggalkan tugas akhir yang bernama skripsi selama lebih dari satu semester. Rasanya, tema penelitian yang saya ambil tidaklah masuk akal, karena berurusan dengan ajaran Tuhan atau agama. Tema yang diangkat mengenai sejarah Islam. Saya harus meneliti sejarah dan perkembangan sebuah pesantren beserta ajarannya. Itu sesuai dengan jurusan saya, yaitu Sejarah. Judul yang saya ajukan sudah terlanjur disetujui sebelum saya membaca Sophie. Namun harus terbengkalai.
Tekanan dari dosen pembimbing terus datang bertubi-tubi, bagaikan hujan dan petir yang membentak bumi. Akhirnya saya menyerah, karena tekanan juga datang dari orang tua dan kekasih. Saya mencoba mencari berbagai referensi mengenai tema penelitian, yaitu buku-buku Islam. Itu terpaksa saya lakukan, karena sangat sulit mengganti tema penelitian, apalagi sistem administrasi yang harus dilewati sangat ruwet.
Sekitar Juli 2014, saya mulai kembali mengerjakan skripsi tersebut. Saya mulai membaca buku referensi mengenai ajaran Islam, pesantren, dan sebagainya. Betapa bacaan itu sangat sulit untuk dicerna, karena pengaruh Sophie masih sangat kuat di kepala. Selain membaca buku jenis tersebut, saya juga harus melakukan penelitian di lapangan. Saya datang ke sebuah pesantren. Tempat itu terasa sangat asing, karena sejak kecil saya tidak pernah hidup di pesantren. Tapi, ketika masuk, kesan baik langsung saya dapatkan. Orang-orang di sana sangat ramah, murah senyum, wangi, dan banyak yang memakai sarung. Kemudian saya melakukan wawancara dengan beberapa orang di sana. Setelah itu, saya harus menuliskan hasil wawancara. Kemudian menemui dosen pembimbing, untuk menyampaikan hasilnya.
“Kamu harus terlibat dalam kegiatan di sana. Supaya kamu benar-benar paham dan mengerti” kata dosen pembimbing. Tidak tahu harus berkata apa waktu itu, jadi saya iya-kan saja sarannya. Yang penting, tugas ini cepat selesai.
Saya datang lagi ke pesantren, untuk menanyakan kegiatan pengajian yang mereka lakukan dan terbuka untuk umum. Ternyata ada kegiatan pengajian yang tiap tengah malam mereka lakukan, dan itu terbuka untuk umum. Mereka menyarankan agar saya datang di acara itu. Dalam kepala dan hati saya berkecamuk, karena itu tidak masuk akal menurut buku Sophie. Ya, saya sadar, bahwa pikiran masih dalam pengaruh buku itu. Lagi-lagi saya terpaksa mengikutinya demi sebuah data.
Banyak sekali orang-orang yang datang, masjid terpenuhi hingga halamannya. Mereka berdzikir dan bersholawat dengan khusuk, dan saya hanya tolah-toleh melihat mereka. Saya berusaha mengikuti mereka, agar terlihat khusuk juga. Rasanya sakit hati ini, melihat diri yang sia-sia di antara mereka. Pengajian dan dzikir bersama itu dimulai dari jam 00.00 sampai 02.00 dini hari.
Sejak saat itu saya berhenti sejenak membaca buku-buku fiksi, dan fokus membaca tentang Islam dan pesantren. Lambat laun, saya mulai memudarkan segala ajaran yang ada di dalam buku Dunia Sophie, dan mulai memperkaya pengetahuan tentang Islam. Ternyata, dalam buku tersebut, para penulis sudah tidak lagi mempermasalahkan Tuhan. Pasti mereka sudah menemukan Tuhannya dan lebih banyak membahas tentang bagaimana ajaran Tuhan, Allah.
Setiap hari saya membaca buku tentang Islam, sejarah, dan perkembangan pesantren, kamudian menulis untuk skripsi. Banyak pengalaman yang sangat luar biasa membaca dan menulis mengenai hal tersebut. Dengan datangnya Islam, manusia sudah menemukan Tuhannya. Terutama di Indonesia. Sebelum datangnya Islam, orang-orang masih menyembah berhala, yang disebut Animisme dan Dinamisme. Mereka percaya kepada benda-benda dan Roh halus. Kemudian mereka menganut agama Hindu dan Budha, baru setelah itu datanglah Islam sebagai penyempurna. Meskipun begitu, kepercayaan tersebut masih tetap ada. Hindu, Buhda, dan Islam hidup berdampingan dengan damai.  
Perjuangan orang-orang terdahulu memang patut kita hargai, karena mereka mengorbankan banyak hal dalam menyebarkan kebaikan agama Islam. Salah satu sarana dalam menyebarkan Islam adalah pesantren. Dengan begitu, banyak hal positif yang saya dapatkan. Selain menambah pengetahuan, ternyata juga bisa menambah keimanan. Akhirnya pada awal semester 9, saya mampu menyelesaikan skripsi tersebut.
***
Perang telah terjadi di dalam pikiran dan diri saya. Secara tidak sadar, ketika membaca tulisan orang, akan membuat kita menjadi apa yang penulis pikirkan. Jika banyak buku yang kita baca, maka pikiran kita akan menjadi medan perang dari pikiran penulis yang berbeda-beda. Di dalam beberapa buku, terdapat banyak hal yang berbeda dan bertentangan. Misalnya, buku filsafat dan buku Islam, atau penulis Indonesia dan penulis barat. Dalam buku filsafat banyak pemikiran yang menentang Tuhan, tapi dalam buku Islam banyak membahas tentang pemujaan dan ajaran Tuhan.
Penulis barat, kebanyakan menulis sesuai dengan kebudayaan mereka, dan penulis Indonesia juga menyesuaikan dengan adab negaranya. Tentu itu adalah hal yang sangat berbeda. Agar tidak selalu menjadi medan perang, maka menulislah, kita ciptakan perang yang lebih indah di pikiran orang lain.
Memang, terpengaruh oleh bacaan sudah menjadi hal biasa, apalagi seorang pembaca awan seperti saya. Labil. Namun dapat saya simpulkan, membaca buku apapun tidaklah haram. Asal jangan terlalu menganutnya, cukup kita jadikan referensi untuk memperkaya pengetahuan. Dengan membaca buku, kita akan semakin bodoh, sebab kita akan menyadari, bahwa masih banyak buku lain yang belum dibaca, dan itu adalah pengetahuan, jendelanya dunia.
“Sebuah buku adalah dunia ajaib penuh simbol yang menghidupkan kembali si mati dan memeberikan hadiah kehidupan yang kekal kepada yang masih hidup. Sungguh tak dapat dibayangkan, fantastis, dan “ajaib” bahwa kedua puluh enam huruf dalam alfabet, bisa dipadukan sedemikian rupa sehingga bisa memenuhi rak raksasa dengan buku-buku dan membawa kita ke sebuah dunia yang tak pernah berujung. Dunia yang selalu bertumbuh dan bertumbuh, selama masih ada manusia di muka bumi”_Jostein Gaarder.

1 komentar: