Jumat, 06 Maret 2015

Petugas Upacara yang Gagal



“XI IPS 2009”
 
Oleh : Hudy Majnun

Pada hari Jum’at, Sekitar pertengahan 2009, kami telah mempersiapkan teman-teman sekelas untuk menjadi petugas upacara. Menjadi petugas upacara memang penuh dengan resiko, karena kesalahan akan menjadi bahan tertawaan yang renyah bagi mereka yang tak bertugas, bahkan seorang guru pun ingin sekali tertawa, tetapi karena ia sadar dirinya adalah guru maka ia menahannya dengan penuh wibawa. Tak jarang kelas kami selalu melakukan kesalahan saat menjadi petugas upacara, bahkan kelas kami bisa dibilang petugas terburuk daripada kelas-kelas yang lain, baik kakak kelas maupun adik kelas. Tapi, ada satu hal yang tak dimiliki kelas-kelas yang lain, yaitu kekompakan yang solid dan inshaAllah itu kami miliki. 

Hari jum’at itu, ketua kelas dan wakil ketua kelas mengkoordinir teman-temannya, dan dengan semangat teman yang lain mengajukan diri untuk menjadi petugas ini dan itu. Senang sekali melihat teman-teman dengan semangat yang luar biasa, walau kadang mereka mengajukan diri menjadi petugas yang resikonya sangat kecil, yaitu menjadi anggota paduan suara. Itu tugas yang tidak terlalu berat karena ketika upacara bendera hanya membawakan dua lagu kebangsaan, lagu Indonesia Raya dan Mengheningkan Cipta. Resikonya sangat kecil, bila suara kita fals atau tidak enak didengar maka kita bisa diam atau hanya sekedar mengikuti gerakan mulut tanpa mengeluarkan suara. Petugas paduan suara terbilang paling mudah dan enak daripada petugas yang lain, selain resikonya kecil dan lokasinya sangat enak. Dulu, petugas paduan suara berada di depan kelas XI IPS dan berada tepat di bawah pohon. Jadi petugas ini tidak akan merasa kepanasan. 

Petugas dengan resiko paling berat adalah pengibar bendera, pemimpin upacara, dan protokol atau pembawa acara –itu menurutku. Pengibar bendera biasanya terdiri dari 3 orang, itu kalau dulu, mungkin saja sekarang bertambah atau berkurang. Mereka akan berjalan dari arah timur dengan langkah tegap dan kompak, itu kewajibannya. Soalnya mereka sedang membawa bendera pusaka yang sangat sakral. Karena itu bendera yang melambangkan kemerdekaan. Kalau salah dalam langkah akan sangat lucu, apalagi salah mengikat bendera, yang putih diatas dan yang merah di bawah, nanti dikira Polandia. Untuk protokol harus sangat peka terhadap aktivitas di lapangan, kalau acara yang satu belum selesai, ia tidak boleh membacakan acara selanjutnya. Kalau itu terjadi akan sangat lucu juga, misalnya petugas protokol bosan menunggu sambutan pembina upacara, kemudian ia memabcakan acara selanjutkan sebelum ia menutup sambutan. Mungkin itu akan membuat pembina upacara tersinggung. Selain itu petugas protokol harus pandai membaca dan memiliki suara yang enak di dengar, karena itu akan menambah hikmat upacara. Untungnya kesalahan seperti itu jarang terjadi, terutama pada kelas XI IPS 2009. Kita selalu ambil aman, misalnya pakaian ala kadarnya, dan semua serba ala kadarnya, yang terpenting kita tidak membuat kesalahan.

Satu lagi yang mempunyai resiko cukup berat, yaitu pemimpin upacara. Kesalahan yang biasanya terjadi ketika hormat atau istirahat ditempat, pemimpin upacara lupa menyiapkan atau menegakkan kembali peserta upacara. Itu akan membuat peserta upacara bergemuruh dan akhirnya menertawakan pemimpin upacara. Kesalahan jenis ini biasanya mendapatkan kode dari pembina upacara, kalau pemimpin lupa biasanya pembina akan mengerak-gerakkan alisnya dan mengangkat kapalanya supaya pemimpin upacara ingat. Mungkin itu semacam bahasa tubuh/gerakan atau non-verbal.

Kembali ke kisah XI IPS 2009. Setelah kami membagi petugas-petugas upacara itu, kami bersiap untuk latihan dihari sabtunya. Kami sangat senang kalau ada latihan upacara, karena itu bisa membuat kami terbebas dari mata pelajaran di kelas. Hari jum’at berlalu, semua petugas sudah ditentukan. Kami mempersiapkan diri lebih matang lagi, karena waktu itu kami mendengar bahwa hari senin akan ada tamu special yang akan ikut upacara. Mungkin dari kepolisian atau yang lain. Penentuan petugas upacara ini – dulu waktu 2009 – memang dibuat giliran perkelas. Jadi setiap upacara hari senin, petugas akan berganti. Jika senin ini kelas XI IPA, maka selanjutnya Kelas XI IPS, selanjutnya lagi Kelas XII IPA, dan begitu seterusnya sampai kembali pada kelas X A. Kalau sekarang mungkin kelasnya lebih banyak, jadi banyak waktu untuk bersantai dan lebih lama jauh dari resiko ditertawakan, itupun kalau sistemnya masih sama seperti dulu.

Hari sabtu itu tiba, kami datang kesekolah dengan semangat. Seperti biasa, sebelum datang ke sekolah biasanya sebagian dari kami berkumpul di terminal –yang gagal- di pasar sukosari. Disana ada sebuah warung kopi, disitulah dulu kami sering berkumpul, dan itu kadang membuat kami terlambat masuk kelas. Atau teman-teman yang datang tepat waktu biasanya menjemur diri di samping kelas sambil menunggu guru datang. Setelah bel masuk berbunyi, semua teman datang tanpa ada yang terlambat, malah yang terlambat datang waktu itu adalah sang guru. Waktu itu hanya ada satu teman kami yang tidak masuk sekolah. Sambil menunggu guru datang, kami menghabiskan waktu dengan bercanda atau bermain apapun di dalam kelas. Kami selalu ramai dan gaduh di dalam kelas kalau guru tak kunjung datang, bahkan kami sering mendapatkan peringatan atau teguran dari kelas sebelah yang kami anggap sangat rajin dulu. Kami bersebelahan dengan XI IPA, mereka kami anggap adalah anak-anak yang rajin dan pintar, yang jelas dari pada kami. Memang dimana-mana IPS selalu terkenal dengan kenakalan, kemalasan, ketidak disiplinan, dan sebagainya. Tapi satu sisi positif yang jarang dipandang, bahwa kami –IPS- punya kekompakan yang lebih. Kami orang sosial yang lebih banyak mempelajari hidup, kehidupan, hubungan sesama, dan sebagainya.

Setelah jam istirahat selesai kami masuk kelas kembali, dan waktu itu kami sudah bersiap-siap untuk melakukan latihan upacara. Rian dan wakil ketua kelas mendatangi seorang guru yang biasanya membimbing kami untuk latihan upacara. Mereka berdua keluar kelas dan kembali beberapa menit kemudian. Mereka berdua masuk ke dalam kelas dengan sedikit emosi, menyampaikan kabar yang kurang baik dan mengecewakan. Si Rian masuk dengan membanting pintu kelas “kurang ajar, kita ngak jadi untuk menjadi petugas upacara” kata Rian dengan emosi. Wakil ketua kelas menjelaskan, “katanya, senin besok adalah giliran kelas XI IPA, padalah senin kemarin sudah giliran mereka. Mentang-mentang akan ada tamu, kita tidak dipercaya untuk jadi petugas upacara.” Penjelasan yang tidak jelas itu membuat teman-teman sekelas marah. Memang senin pernah libur sekali, dan liburan itu tepat pada giliran kelas kami menjadi petugas upacara. Kami berpikir bahwa senin selanjutnya tetap menjadi bagian kami, tapi ternyata tidak. Kemarahan kami meledak-ledak, tidak heran jika waktu itu banyak peryataan kotor keluar dari mulut labil kami. Teman-teman sekelas merasa kecewa, kami tidak tau bagaimana caranya protes yang benar, atau melakukan mediasi yang baik, yang jelas waktu itu kami sangat kecewa, karena kami gagal menjadi petugas upacara.

Si Rian dan Wakil ketua kelas mempunyai ide, mereka berdua mengajak semua teman sekelas untuk bolos pada hari senin, sebagai bentuk protes. Namun, sebelum semua menyepakati hal tersebut, guru sosiologi datang dengan wajah berseri-seri. Ia guru wanita yang cukup cantik, baik, sangat pengertian, dan semakin cantik setelah beberapa bulan yang lalu ia menikah. Ia masuk dan kami berusaha tenang, seolah tidak terjadi apa-apa. Sebelum ia memulai pelajaran, Si Rian dan wakil ketua kelas berkata akan melanjutkan pembicaraan dengan teman sekelas, setelah pelajaran sosiologi selesai atau sebelum pulang. Pelajaran berjalan hikmah seperti biasanya. Tapi, sepertinya guru sosiologi itu curiga, bahwa kami mempunyai rencana. Sebelum guru itu keluar kelas, ia berpesan “rencanakan dan lakukanlah yang terbaik”, kemudian ia pergi dengan salam. Itu membuat kami semakin bersemangat untuk melakukan aksi.

Sebelum Si Rian dan wakil ketua kelas melanjutkan pembicaraan yang tertunda, terlebih dahulu mereka berdua berembuk dengan ketua kelas, namanya Heri. Heri menyutujui dan mendukung aksi protes yang direncanakan. Akhirnya teman-teman sekelas menyetujui, bahwa hari senin kita akan bolos semua. Oleh sebab itu mereka membuat perjanjian, setiap anak harus menandatangani surat perjanjian yang berisi, “bahwa hari senin harus bolos semua, kalau ada yang berkhianat akan didenda Rp. 20.000”. Selain denda uang, mereka yang berkhianat akan mendapat hukuman selama bersekolah, ia akan dipandang sebelah mata sebagai pengkhianat. Semua dengan yakin menandatangani kertas tersebut, itu membuktikan bahwa kami begitu kompak, apalagi untuk hal-hal yang tidak biasa seperti ini. Semua sudah bertanda tangan dan berjanji, dan rencana ini hanya diketahui oleh teman-teman sekelas, tidak akan ada yang berani membocorkannya.

Hari minggu berjalan seperti biasanya, banyak yang bermalas di rumah, kencan, bermain, dan sebagainya. Itu adalah hari minggu yang wajar, seperti hari minggu biasanya. Ketika minggu malam mulai berderik, perasaan was-was untuk menghadapi hari senin semakin membayang. Ada yang memang sudah ahli dalam membolos, namun ada juga anak rajin yang ketakutan untuk membolos. Tidur rasanya tak nyenyak bagi mereka yang tak biasa bolos. Namun hari senin segera berkunjung saat kami membuka mata. Ya, itu adalah hari dimana janji dan kekompakan kami diuji. Akhirnya ada yang tetap berangkat dengan berseragam, itu agar mereka tidak dicurigai oleh orang tuan mereka, dan itu dilakukan agar uang saku tetap mereka dapatkan. Namun, ada juga yang keluar rumah tanpa berseragam, ada pula yang tidur lebih lama dirumah, menikmati bahwa hari senin adalah hari libur tambahan. Kita tidak bolos bersama-sama, tapi kami berpencar dengan membagi menjadi beberapa kelompok. Ada yang ke kolam renang, ada yang nongkrong di PS-an, ada juga yang nongkrong di warung kopi. Itu kami lakukan agar tidak dicurigai oleh guru di sekolah.

Sebelumnya kami tidak pernah membayangkan, bagaimana kondisi sekolah jika satu kelas tak ada di lapangan saat upacara, pastilah itu hal yang unik dan menganjal. Kami juga tak membayangkan, itu akan membuat semua guru terheran-heran. Meskipun begitu, upacara terus berjalan seperti biasanya, tanpa kelas XI IPS. Namun ada yang hampir kami anggap penghianat, ia adalah Febri, ternyata ia masuk seorang diri. Dan dilapangan upacara ia berdiri sendiri pada barisan kelas XI IPS. Ia juga diinterogasi oleh guru, “kemana teman-temanmu?” tanya seorang guru. “saya tidak tahu pak. Hari sabtu saya tidak masuk”. Jawab Febri. Untungnya ia bukanlah pengkhianat, karena ia tidak tahu rencana rahasia yang kami susun hari sabtu, maka ia tetap masuk seorang diri pada hari senin itu.

Setelah upacara selesai, beberapa guru melakukan operasi keliling, mencari anak-anak XI IPS yang entah kemana. Namun apes, ada beberapa teman yang tertangkap basah sedang nongkrong di dekat kolam renang. Mereka berlima tidak tahu kalau guru-guru akan mencari kami semua. Mereka berlima tetap santai denga seragam sekolah di luar sekolah, al-hasil mereka tertangkap dan digiring oleh guru ke sekolah. Setelah itu mereka di tanya berbagai macam hal tentang kejadian itu. Untungnya mereka tidak dihukum terlalu berat. Guru itu hanya mencari tau siapa yang menjadi dalang atas semua ini. Setelah itu mereka disuruh pulang kembali. Ya mungkin mereka hanya mendapatkan bentakan, dan itu sudah biasa bagi mereka.

Ada juga yang hampir kepergok seorang guru, yang waktu itu guru tersebut cukup kami segani karena sikapnya yang cukup keras dalam mendidik kami. Itu Heri dan Deri, mereka hanya bolos di perumahan yang tak jauh dari sekolah, dan mereka tetap mengenakan seragam. Akhirnya, untuk menghindari guru yang mencari tersebut, mereka harus masuk ke pekarangan orang-orang. Lucunya, ketika mereka berdua bersembunyi di pekarangan, mereka bertemu dengan ayah Heri yang kebetulan melewati pekarang tersebut. Mereka berdua kaget dan salah tingkah. Keluar dari mulut buaya, masuk ke mulut harimau. “ngapain kalian disini” tanya ayah Heri. Dengan gelagapan mereka menjawab “dicari pak Yudi pak” kata Heri. Untungnya ayah Heri sangat pengertian, jadi dia tak memarahi atau menghukum mereka berdua. Dan setelah itu Heri menceritakan kejadian sebenarnya pada ayahnya.

Hari senin itu begitu membuat kami berdebar-debar. Kami saling memberitahu melalu SMS tentang keberadaan dan kondisi di tempat kami bolos. Kami seperti dihantui oleh bayang-bayang guru. Hari yang menegangkan itu hampir usai setelah melihat anak-anak SMASAS pulang dan menghamburkan diri dijalanan. Hanya ada 5 orang yang tertangkap dan yang lain cukup aman untuk hari itu.

Senin kembali memetang, tanda siang akan berlalu. Dan kami semua harus tergelisahkan lagi menghadapi hari selasa. Kami tahu akan ada hukuman yang akan kami terima dan itu telah menanti kami dan kami tidak dapat menghindarinya lagi. Tapi tidak semuanya akan dihukum. Hari selasa dua orang yang menjadi dalang waktu itu dipanggil oleh guru BP. Entah apa yang terjadi di dalam ruang BP itu, yang jelas mereka berdua yang dianggap bertanggungjawab atas peristiwa itu. Apapun yang terjadi dan apapun alasannya, guru akan selalu menang atas perbuatan yang kami lakukan, walaupun itu adalah bentuk kekecewaan kami atas kebijakan yang telah mereka buat. Mereka selalu meliak-liukkan alasan agar kami tak berkutik. Kejadian di dalam ruang BP tidak bisa aku ceritakan, karena itu adalah rahasia sekolahku, dan kau bisa membayangkan dengan imajinasi liarmu tentang apa yang terjadi di dalam ruang BP.

Setelah panggilan itu, kedua dalang tersebut kembali lagi ke dalam kelas, tak ada kesedihan di muka mereka, malah mereka terlihat bangga bisa melakukan itu. Mereka menceritakan pada semua teman sekelas, dan kami cukup bangga dengan perbuatan berani yang kami lakukan, walau itu tak sesuai aturan. Kadang aturan membuat kami terpaksa menjadi pengecut. Kami berkumpul di kelas dengan kegaduhan cerita seru masing-masing. Semua anak bergantian bercerita tentang yang mereka alami pada hari senin itu. Dan sedikit cerita yang tertulis ini adalah bagian kecil yang dapat aku rekam sampai saat ini.

Selain itu, kami mendapatkan berbagai macam tanggapan atas perbuatan yang kami lakukan, entah dari guru ataupun teman kelas yang lain. Ada yang memuji, ada yang terheran-heran kami melakukan itu, namun untungnya tidak ada yang mencemooh kami. Ada seorang guru yang sempat berkata “kalian hebat, kalian memang kompak”. Semua komentar kami tanggapi dengan senyuman saja. Kami tahu itu perbuatan nakal yang akan jarang sekali terjadi dengan sebuah kekompakan. Tolong jangan tiru adegan berbahaya ini.

Setelah kejadian itu, kami membuat suatu kekompakan lain yang menjadi contoh bagi kelas lain. Kami melakukan pertangdingan sepak bola dengan kelas-kelas yang lain. Kami menantang mereka dengan tulisan pada kotak tempat sampah di depan kelas. Kelas-kelas lain yang lewat depan kelas kami menanggapi tantangan tersebut. Setiap minggu kami meladeni kelas-kelas yang lain utnuk bertanding, tentunya dengan taruhan. Kami tahu, kami tidak memiliki kemampuan yang baik dalam bermain sepak bola, tak jarang kami harus berbuat curang untuk menang ataupun untuk mencegah kekalahan yang begitu besar. hanya satu kali kami imbang melawan kelas-kelas yang lain, dan sisanya kami kalah terus, untungnya kami bisa curang dengan tidak membayar taruhan. Tidak hanya itu yang kami lakukan, kami juga sangat kompak saat ada perlombaan lain antar kelas yang diadakan oleh OSIS.

Semoga kekompakan demikian terus terjadi pada generasi-generasi penerus. Kompak, memang hal yang sulit untuk kita lakukan. Sebab kompak harus melupakan diri sendiri, dan tujuan bersama adalah inti. Di sekolah adalah kesempatan untuk berkompak dalam skala yang cukup besar. Walau certia diatas adalah kekompakan yang dianggap salah, sampai saat ini hal itu tidak pernah menjadi kenangan yang salah, ia akan terus diingat, mungkin juga ada beberapa guru yang masih mengingatnya. Dan, saat ini dan kemarin aku sering merasa rindu dengan kekompakan demikian. 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar