Rabu, 19 November 2014

Soir dan Lala


"Soir dan Lala: sedikit puitis sampai butir terakhir
Oleh : Hudy Majnun

Di ujung malam menjelang pagi, Soir sedang asik ngobrol dengan dua temannya. Ngobrol kesana kemari tanpa arah yang jelas, namun dengan obrolan panas dan penuh gagasan. Dua teman Soir bernama Enam dan Pono. Mereka teman seperjuangan Soir selama menjadi mahasiswa, sebenarnya berjuang bukan dalam perkuliahan tapi berjuang dalam organisasi yang mereka geluti. Mereka berdua berbeda jurusan, Enam mengambil jurusan Matematika dan Pono ilmu teknik, sedang soir sendiri si Filsafat. Panjang lebar mereka berbincang, mulai dari tetangga sebelah yang telah selesai melakukan reformasi sampai sistem baru dalam mengajukan proposal skripsi. “ada sistem baru untuk mengajukan proposal skripsi dan aku terkena peraturan baru ini, jancukk!” dengan muka sedikit kecewa pono mengatakannya. Padahal Pono sudah menyelesaikan skripsinya sampai bab 3, karena terkena peraturan baru dia harus merombak lagi pada bab 1. Sungguh birokrasi yang tak terpahami.
Sebenarnya, ini bukan cerita bagaimana mereka menghadapi mesin-mesin politik di fakultasnya, bukan pula mengenai perjuangan mereka keluar dari siksaan kampus ini. Itu hanyalah pembuka agar sedikit tidak membosankan berbicara tentang cinta. Cerita sebenarnya yaitu tentang percakapan Soir dengan Lala lewat BBM. Ketika Soir asik ngobrol dengan teman-temannya, ia iseng membuka-buka hapenya sendiri dan melihat pemberitahuan. Ternyata Lala baru saja memperbarui statusnya “demam mulai turun”. Ketika Soir melihat itu, ia langsung membuka obrolan dengan Lala.
“Sakit apa Lala?” tanya Soir
“Demam lagi, Soir”
“Kehujanan?”
“ya”
Percakapan terhenti, Soir bingung harus berkata apa lagi. Sedang Soir juga tidak mengerti bahwa sebelum demam yang ini datang, Lala sudah pernah terkena demam. Soir tidak tahu itu. Soir juga ikut sedih melihat Lala sakit seperti itu. Percakapan Soir lanjutkan dengan tema lain.
“Kenapa belum tidur Lala?” tanya Soir
“Sudah tidur kok. Ini baru bangun. Kalian baru selesai rapat ya?” jawab Lala dan ia bertanya balik.
Kali ini ada sedikit balasan pertanyaan dari Lala. Lala juga tau kalau tadi ada rapat. Lala sebenarnya juga terlibat dalam rapat itu, tapi karena demam ia tidak bisa datang. Tiga hari yang lalu Lala kebetulan bertemu sebentar dengan Soir, Lala juga berjanji kalau senin dia akan ikut rapat.
Soir semakin bersemangat dengan obrolan itu.
“kenapa bangun jam segini ?... rapatnya sudah selesai tadi, ini masih ngobrol-ngobrol” tanya lagi Soir. Percakapan itu memang sudah larut malam, Soir juga heran kenapa Lala bangun jam sekian. Waktu itu setengah 3 pagi.
Soir sudah tidak fokus lagi ngobrol dengan dua temannya. Meski sesekali Soir dimintai pendapat, Soir menjawab dengan singkat tapi mengena. Selang beberapa menit Lala membalas.
“ngak tahu, tiba-tiba kebangun saja ini. Kalian masih ngerumpi ya, hehe. Istirahat Soir. Cuaca lagi ngak bagus.” Tulis Lala.
Soir tersenyum-senyum sendiri melihat pesan dari Lala. Untungnya kedua teman Soir tidak melihat ekspresi Soir, kalau saja mereka melihat Soir pastilah mereka akan menggojlokinya. Atau bahkan marah pada Soir, karena Soir tak mendengarkan mereka bicara. Dengan girang Soir membalas.
“yeee, bukang ngerumpi ini. Kalo capek, pasti akan istirahat dengan sendirinya” ketik Soir dengan sedikit tidak menerima perhatian Lala. Padahal hati Soir sangat bahagia Lala berbicara seperti itu. “cuacanya bagus kalau malam, eman kalau dilewatkan” tambah soir pada pesan yang belum dibalasnya.
“bukan itu maksudku. Yasudah, selamat berbicang-bincang” tadinya Lala bermaksud memberi tahu Soir bahwa cuacanya bisa mengundang sakit. Tapi Soir membalas dengan sedikit puitis. Memang maksud Soir agar percakapan semakin menarik dan romantis, walau tidak ada hubungan apa-apa di antara mereka.
Soir sedikit kecewa dengan kata “yasudah, selamat berbincang-bincang” itu menandakan ia ingin mengakhiri percakapan. Soir tidak ingin percakapan itu terhenti. Soir kemudian membalas dengan membuat Lala bertanya.
“Iya, cuaca memang lagi tak bersahabat. Ada yang kesiper” tulis Soir.
kesiper ??? kesirep mungkin”
“ ya, itu maksudnya”
Pembicaraan tidak jadi terhenti, karena rencana Soir ingin membuat Lala bertanya berhasil.  Kesiper/kesirep itu istilah Jawa, yang berarti ketiduran.
“siapa yang ketiduran?” lanjut tanya Lala.
“si Enam”
“Oalah, hehe”
Bahan percakapan kembali habis, Soir harus mencari ide agar percakapan tetap berlanjut. Soir mencoba menawarkan diri untuk menjadi bahan percakapan.
“Aku juga menunggu kesirep ini”
“nanti juga kesirep sendiri. Pejamkan mata saja, Soir” jawab Lala.
Soir terus memberi bahan percakapan. Kali ini Soir akan menggunakan kata-kata yang sedikit puitis, agar pembicaraan tak membosankan.
“Dingin sekali”, kata Soir sambil berharap Lala menanyakannya lagi.
“Oh ya ?” singkat Lala
“Iya, apa di situ juga dingin seperti di sini ?” tanya Soir dengan tambahan kata sedikit puitis.
“Yang kurasakan ini hangat tubuhku” balas Lala.
Semangat Soir semakin menggebu-gebu karena balasan dari Lala juga mulai sedikit puitis, menurut Soir. Tapi balasan Lala cenderung menunjukkan bahwa ia sedang demam, pikir Soir. Itu tak jadi masalah, malah akan semakin memperhangat percakapan.
“Tubuhmu sedang mengalami panas yang berlebih ya... apa sudah diberi penawar?” lanjut Soir
“Begitulah adanya. Sudah ku obati semalam. Dan saya mulai lapar malam ini. Pagi ini maksudku.” Balas Lala. Kali ini Lala yang mulai menimbulkan bahan percakapan baru. Suasana percakapan puitis mulai terjadi.
“Ujung malam. Saya juga merasakan lapar dari tadi.” Lanjut Soir.
“Kamu juga merasakan juga ternyata” 
Memang Soir juga merasakan lapar waktu itu. Maklum rapat berlangsung dari menghitamnya senja sampai larut malam. Jadi, tidak sempat bagi Soir dan kedua temannya untuk makan, apalagi untuk menikmati kopi di warung. Lala semakin sejalan dengan Soir, karena mereka sama-sama lapar. Itu bahan percakapan baru. Soir melanjutkan.
“Sebentar lagi beli makan. Apa ada makanan di dapur rumahmu?” tanya Soir
“Saya ambil nasi, kerupuk, dan menuangkan kecap di atasnya. Tidak ada makanan apa-apa, hanya nasi yang siap disantap” balas Lala dengan sedikit panjang dan dengan kata-kata yang membuat Soir semakin membayangkan Lala.
“ Di jalan Rawa masih ada beberapa warung yang bisa menyembuhkan lapar. Itu mungkin enak sekali. Apa kamu menginginkannya ?. aku bisa mengantarkannya untukmu.” Soir mencoba membuat Lala yang lapar menginginkan makanan enak yang ada di jalan Rawa. Soir juga menawarkan makanan, yang bisa Soir antar. Namun Lala tidak mau, dia cukup makan Nasi itu saja.
“tidak, terima kasih. Ini saja cukup buatku, untuk meredakan lapar. Terima kasih untuk tawaran muliamu.” Dengan halus Lala menolak tawaran Soir.
“baiklah. Lain waktu terimalah sedikit kebaikanku. Selamat makan.” Balas Soir dengan sedikit kecewa.
“terima kasih. Selamat makan juga. Bergegas ambil nasi, hehe. Kamu juga bergegas beli makan.” Tambah Lala sebelum ia menjamah nasi-nasi di dapurnya.
“berangkat. Salam buat butiran nasimu.”
“salam juga buat penjual nasi yang kamu singgahi”
Soir segera bergegas membeli makan. Namun sebelumnya, Soir berpamit kepada dua temanya yang telah dicuekin saat terjadi obrolan. Si Enam sudah kesirep terlapau jauh, namun Si Pono masih terjaga. Pono memang kuat untuk begadang, itu karena siang ia sering tidur.
Soir menyalakan motor, dan berangkat membeli makan. Diperjalanan ke warung ia sesekali melihat hapenya, berharap masih ada pesan lanjutan dari Lala. Lala juga bergegas dan menampung nasi-nasi di piring bening yang ada di dapur rumahnya. Ambil kecap dan kerupuk. Agar sedikit menarik, Lala menghiasi nasi dengan kecap. Ia membuat garis-garis pada permukaan nasi, hingga terbentuklah pola hati. Tapi pada akhirnya pola hati itu akan ia hancurkan sendiri, karena memang nasi itu untuk di makan, bukan untuk pajangan. Lala susah menelan nasi-nasi itu, terasa kering ternggorokannya karena demam. Jadi setiap suap nasi yang telah ditelan, harus diikuti dengan meneguk air putih, agar tenggorokannya lancar. Tak ada yang Lala pikirkan saat makan, pikiran tentang percakapan dengan Soir hanya sesekali lewat dalam pikirannya.
Soir sampai di warung, ia lihat hapenya. Tak ada pesan baru dari siapapun. Soir mengirim pesan lagi kepada lala. Ini seperti sebuah laporan. Tapi di sini Soir sedikit bohong, karena ia hanya ingin mengirim percakapan yang sedikit puitis.
“Satu bungkus terakhir untukku, ibunya sudah mulai berkemas” pesan terkirim.
Tidak ada balasan dari Lala. “Mungkin Lala sedang menikmati nasi-nasinya yang dihias kecap”, pikir Soir. Kebetulan Soir masih harus mengantri, dan belum tentu Soir mendapatkan bungkus terakhir. Memang Soir datang terakhir. Tapi Soir tidak tau apakah ibu warung itu akan tutup atau tidak. Di situlah kebohongan Soir pada Lala.
Setelah beberapa menit menunggu, gilaran Soir dilayani Ibu penjual nasi itu. Warung ini memang langganan Soir ketika lapar larut malam seperti ini. Namun Soir tidak pernah akrab dengan ibu si penjual nasi, karena yang menjaga warung itu selalu berubah-ubah. Mungkin ada shif siang dan malam. Meskipun tidak kenal Soir tetap mengajak ibu itu berbincang. Ternyata warung memang akan segera tutup. “satu bungkus terakhir untukmu le, setelah ini tutup.” Kata ibu si penjaga warung. Soir sedikit kaget. Karena pesan yang ia kirim ke Lala hampir sama dengan denga perkataan ibu penjaga warung. Jadi pesan yang di sampaikan kepada Lala tidak lagi bohong.
Nasi sudah dibungkus, dengan sayur, teri, dan 3 ceker ayam. Soir mengeluarkan uang 6 ribu rupiah. “berapa buk?” tanya Soir. “8 ribu” jawab ibu penjaga warung. Soir kaget karena harga tidak seperti  biasanya. Biasanya porsi seperti itu seharga 6 ribu, tapi entah kenapa menjadi 8 ribu. Mungkin ibu itu mau korupsi kecil-lecilan, atau mungkin malakin Soir. Soir mengambil uang lagi uang dari kantongnya, kemudian membayarnya. Setelah itu Soir langsung pulang ke tempat kostnya. Diperjalanan Soir kepikiran soal harga nasi itu.  Dalam hati, Soir bertanya-tanya “Kenapa tiba-tiba mahal nasi di warung itu ya?”.
Sampai di tempat kost, Soir langsung menikmati nasi itu di depan TV. Biasanya kalo laut malam tidak ada acara yang bagus di TV. Soir langsung mengganti chanel ke TV Sepuluh (nama stasiun TV). Larut malam seperti itu biasanya hanya ada berita-berita. Kebetulan TV Sepuluh memang selalu menyiarkan berita-berita hangat, biasanya yang banyak disiarkan mengenai isu-isu pemerintahan dan Politik. Soir menikmati berita, ternyata ada tanyangan cuplikan pidato presiden baru. Yang ditampilkan hanya sedikit, yaitu mengenai kenaikan harga BBM. Disampaikan keputusan bahwa BBM naik 2 ribu untuk premium. Soir memang sudah tau sebelumnya kalau akan ada kenaikan harga BBM, namun tidak tau berapa nominalnya. Isu kenaikan harga BBM memang sangat panas di telinga masyarakat, apalagi banyak teman-teman Soir terlibat dalam aksi penolakan harga BBM tersebut.
Beberapa saat kemudian Soir baru sadar kenapa nasi di warung itu jadi mahal. “wahh ternyata dampak kenaikan harga BBM langsung saya rasakan” dalam hati Soir, sambil mengunyah nasi.   Seketika kenikmatan nasi tersebut jadi berkurang. “mungkin ini yang dinamakan revolusi kentang” Soir berbicara pada dirinya sendiri.
Ketika Soir sadar bahwa nasi yang dikunyahnya jadi mahal akibat kenaikan harga BBM, ia tidak lagi menikmati nasi tersebut, ia langsung melahapnya dengan sedikit emosi. Ternyata tidak hanya BBM yang naik 2 ribu, tapi nasi langganan Soir juga naik 2 ribu.  Memang harga nasi di warung itu tidak harus diumumkan seperti harga BBM. Penjual warung nasi bebas untuk menjadi otoriter. Toh, meskipun begitu warung itu tetap ramai. Pengguna BBM pun tidak berkurang. Bagi Soir yang penting BBM-an dengan Lala tetap lancar. Ketika mengingat Lala, emosi Soir yang tidak jelas langsung reda.
Makanan habis, Soir langsung ketempat tidur. Sebelumnya Soir juga minum air, karena habis makan dan buang air kecil biar ngak ngompol. Sebelum memejamkan mata Soir mengirim pesan lagi kepada Lala, walaupun pesan sebelumnya tidak terbalas. “Semoga demam itu tidak betah di tubuhmu” tulis Soir dan dikirim pada Lala. Soir juga menulis sesuatu di status BBM nya, “semoga demam dan lapar yang melanda pemimpin negeri ini cepat pergi”.
bersambung...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar