"Soir dan Lala: sedikit puitis sampai butir terakhir"
Oleh : Hudy Majnun
Di ujung malam menjelang pagi, Soir
sedang asik ngobrol dengan dua temannya. Ngobrol kesana kemari tanpa arah yang
jelas, namun dengan obrolan panas dan penuh gagasan. Dua teman Soir bernama
Enam dan Pono. Mereka teman seperjuangan Soir selama menjadi mahasiswa,
sebenarnya berjuang bukan dalam perkuliahan tapi berjuang dalam organisasi yang
mereka geluti. Mereka berdua berbeda jurusan, Enam mengambil jurusan Matematika dan Pono ilmu teknik, sedang soir sendiri si Filsafat. Panjang
lebar mereka berbincang, mulai dari tetangga sebelah yang telah selesai
melakukan reformasi sampai sistem baru dalam mengajukan proposal skripsi. “ada
sistem baru untuk mengajukan proposal skripsi dan aku terkena peraturan baru
ini, jancukk!” dengan muka sedikit kecewa pono mengatakannya. Padahal Pono
sudah menyelesaikan skripsinya sampai bab 3, karena terkena peraturan baru dia
harus merombak lagi pada bab 1. Sungguh birokrasi yang tak terpahami.
Sebenarnya, ini bukan cerita
bagaimana mereka menghadapi mesin-mesin politik di fakultasnya, bukan pula
mengenai perjuangan mereka keluar dari siksaan kampus ini. Itu hanyalah pembuka
agar sedikit tidak membosankan berbicara tentang cinta. Cerita sebenarnya yaitu
tentang percakapan Soir dengan Lala lewat BBM. Ketika Soir asik ngobrol dengan
teman-temannya, ia iseng membuka-buka hapenya sendiri dan melihat
pemberitahuan. Ternyata Lala baru saja memperbarui statusnya “demam mulai
turun”. Ketika Soir melihat itu, ia langsung membuka obrolan dengan Lala.
“Sakit apa Lala?” tanya Soir
“Demam lagi, Soir”
“Kehujanan?”
“ya”
Percakapan terhenti, Soir bingung
harus berkata apa lagi. Sedang Soir juga tidak mengerti bahwa sebelum demam
yang ini datang, Lala sudah pernah terkena demam. Soir tidak tahu itu. Soir
juga ikut sedih melihat Lala sakit seperti itu. Percakapan Soir lanjutkan
dengan tema lain.
“Kenapa belum tidur Lala?” tanya Soir
“Sudah tidur kok. Ini baru bangun.
Kalian baru selesai rapat ya?” jawab Lala dan ia bertanya balik.
Kali ini ada sedikit balasan
pertanyaan dari Lala. Lala juga tau kalau tadi ada rapat. Lala sebenarnya juga
terlibat dalam rapat itu, tapi karena demam ia tidak bisa datang. Tiga hari
yang lalu Lala kebetulan bertemu sebentar dengan Soir, Lala juga berjanji kalau
senin dia akan ikut rapat.
Soir semakin bersemangat dengan
obrolan itu.
“kenapa bangun jam segini ?...
rapatnya sudah selesai tadi, ini masih ngobrol-ngobrol” tanya lagi Soir.
Percakapan itu memang sudah larut malam, Soir juga heran kenapa Lala bangun jam
sekian. Waktu itu setengah 3 pagi.
Soir sudah tidak fokus lagi ngobrol
dengan dua temannya. Meski sesekali Soir dimintai pendapat, Soir menjawab
dengan singkat tapi mengena. Selang beberapa menit Lala membalas.
“ngak tahu, tiba-tiba kebangun saja
ini. Kalian masih ngerumpi ya, hehe. Istirahat Soir. Cuaca lagi ngak bagus.”
Tulis Lala.
Soir tersenyum-senyum sendiri melihat
pesan dari Lala. Untungnya kedua teman Soir tidak melihat ekspresi Soir, kalau
saja mereka melihat Soir pastilah mereka akan menggojlokinya. Atau bahkan marah
pada Soir, karena Soir tak mendengarkan mereka bicara. Dengan girang Soir
membalas.
“yeee, bukang ngerumpi ini. Kalo
capek, pasti akan istirahat dengan sendirinya” ketik Soir dengan sedikit tidak
menerima perhatian Lala. Padahal hati Soir sangat bahagia Lala berbicara
seperti itu. “cuacanya bagus kalau malam, eman kalau dilewatkan” tambah soir
pada pesan yang belum dibalasnya.
“bukan itu maksudku. Yasudah, selamat
berbicang-bincang” tadinya Lala bermaksud memberi tahu Soir bahwa cuacanya bisa
mengundang sakit. Tapi Soir membalas dengan sedikit puitis. Memang maksud Soir
agar percakapan semakin menarik dan romantis, walau tidak ada hubungan apa-apa
di antara mereka.
Soir sedikit kecewa dengan kata
“yasudah, selamat berbincang-bincang” itu menandakan ia ingin mengakhiri
percakapan. Soir tidak ingin percakapan itu terhenti. Soir kemudian membalas
dengan membuat Lala bertanya.
“Iya, cuaca memang lagi tak
bersahabat. Ada yang kesiper” tulis
Soir.
“kesiper
??? kesirep mungkin”
“ ya, itu maksudnya”
Pembicaraan tidak jadi terhenti,
karena rencana Soir ingin membuat Lala bertanya berhasil. Kesiper/kesirep
itu istilah Jawa, yang berarti ketiduran.
“siapa yang ketiduran?” lanjut tanya
Lala.
“si Enam”
“Oalah, hehe”
Bahan percakapan kembali habis, Soir
harus mencari ide agar percakapan tetap berlanjut. Soir mencoba menawarkan diri
untuk menjadi bahan percakapan.
“Aku juga menunggu kesirep ini”
“nanti juga kesirep sendiri. Pejamkan mata saja, Soir” jawab Lala.
Soir terus memberi bahan percakapan.
Kali ini Soir akan menggunakan kata-kata yang sedikit puitis, agar pembicaraan
tak membosankan.
“Dingin sekali”, kata Soir sambil
berharap Lala menanyakannya lagi.
“Oh ya ?” singkat Lala
“Iya, apa di situ juga dingin seperti
di sini ?” tanya Soir dengan tambahan kata sedikit puitis.
“Yang kurasakan ini hangat tubuhku” balas
Lala.
Semangat Soir semakin menggebu-gebu
karena balasan dari Lala juga mulai sedikit puitis, menurut Soir. Tapi balasan
Lala cenderung menunjukkan bahwa ia sedang demam, pikir Soir. Itu tak jadi
masalah, malah akan semakin memperhangat percakapan.
“Tubuhmu sedang mengalami panas yang
berlebih ya... apa sudah diberi penawar?” lanjut Soir
“Begitulah adanya. Sudah ku obati
semalam. Dan saya mulai lapar malam ini. Pagi ini maksudku.” Balas Lala. Kali
ini Lala yang mulai menimbulkan bahan percakapan baru. Suasana percakapan
puitis mulai terjadi.
“Ujung malam. Saya juga merasakan
lapar dari tadi.” Lanjut Soir.
“Kamu juga merasakan juga
ternyata”
Memang Soir juga merasakan lapar
waktu itu. Maklum rapat berlangsung dari menghitamnya senja sampai larut malam.
Jadi, tidak sempat bagi Soir dan kedua temannya untuk makan, apalagi untuk
menikmati kopi di warung. Lala semakin sejalan dengan Soir, karena mereka
sama-sama lapar. Itu bahan percakapan baru. Soir melanjutkan.
“Sebentar lagi beli makan. Apa ada
makanan di dapur rumahmu?” tanya Soir
“Saya ambil nasi, kerupuk, dan
menuangkan kecap di atasnya. Tidak ada makanan apa-apa, hanya nasi yang siap
disantap” balas Lala dengan sedikit panjang dan dengan kata-kata yang membuat
Soir semakin membayangkan Lala.
“ Di jalan Rawa masih ada beberapa
warung yang bisa menyembuhkan lapar. Itu mungkin enak sekali. Apa kamu
menginginkannya ?. aku bisa mengantarkannya untukmu.” Soir mencoba membuat Lala
yang lapar menginginkan makanan enak yang ada di jalan Rawa. Soir juga menawarkan
makanan, yang bisa Soir antar. Namun Lala tidak mau, dia cukup makan Nasi itu
saja.
“tidak, terima kasih. Ini saja cukup
buatku, untuk meredakan lapar. Terima kasih untuk tawaran muliamu.” Dengan
halus Lala menolak tawaran Soir.
“baiklah. Lain waktu terimalah
sedikit kebaikanku. Selamat makan.” Balas Soir dengan sedikit kecewa.
“terima kasih. Selamat makan juga.
Bergegas ambil nasi, hehe. Kamu juga bergegas beli makan.” Tambah Lala sebelum
ia menjamah nasi-nasi di dapurnya.
“berangkat. Salam buat butiran
nasimu.”
“salam juga buat penjual nasi yang
kamu singgahi”
Soir segera bergegas membeli makan.
Namun sebelumnya, Soir berpamit kepada dua temanya yang telah dicuekin saat
terjadi obrolan. Si Enam sudah kesirep terlapau jauh, namun Si Pono masih terjaga.
Pono memang kuat untuk begadang, itu karena siang ia sering tidur.
Soir menyalakan motor, dan berangkat
membeli makan. Diperjalanan ke warung ia sesekali melihat hapenya, berharap
masih ada pesan lanjutan dari Lala. Lala juga bergegas dan menampung nasi-nasi
di piring bening yang ada di dapur rumahnya. Ambil kecap dan kerupuk. Agar
sedikit menarik, Lala menghiasi nasi dengan kecap. Ia membuat garis-garis pada
permukaan nasi, hingga terbentuklah pola hati. Tapi pada akhirnya pola hati itu
akan ia hancurkan sendiri, karena memang nasi itu untuk di makan, bukan untuk
pajangan. Lala susah menelan nasi-nasi itu, terasa kering ternggorokannya
karena demam. Jadi setiap suap nasi yang telah ditelan, harus diikuti dengan
meneguk air putih, agar tenggorokannya lancar. Tak ada yang Lala pikirkan saat
makan, pikiran tentang percakapan dengan Soir hanya sesekali lewat dalam
pikirannya.
Soir sampai di warung, ia lihat
hapenya. Tak ada pesan baru dari siapapun. Soir mengirim pesan lagi kepada
lala. Ini seperti sebuah laporan. Tapi di sini Soir sedikit bohong, karena ia
hanya ingin mengirim percakapan yang sedikit puitis.
“Satu bungkus terakhir untukku,
ibunya sudah mulai berkemas” pesan terkirim.
Tidak ada balasan dari Lala. “Mungkin
Lala sedang menikmati nasi-nasinya yang dihias kecap”, pikir Soir. Kebetulan
Soir masih harus mengantri, dan belum tentu Soir mendapatkan bungkus terakhir.
Memang Soir datang terakhir. Tapi Soir tidak tau apakah ibu warung itu akan
tutup atau tidak. Di situlah kebohongan Soir pada Lala.
Setelah beberapa menit menunggu,
gilaran Soir dilayani Ibu penjual nasi itu. Warung ini memang langganan Soir
ketika lapar larut malam seperti ini. Namun Soir tidak pernah akrab dengan ibu
si penjual nasi, karena yang menjaga warung itu selalu berubah-ubah. Mungkin
ada shif siang dan malam. Meskipun tidak kenal Soir tetap mengajak ibu itu
berbincang. Ternyata warung memang akan segera tutup. “satu bungkus terakhir
untukmu le, setelah ini tutup.” Kata ibu si penjaga warung. Soir sedikit kaget.
Karena pesan yang ia kirim ke Lala hampir sama dengan denga perkataan ibu
penjaga warung. Jadi pesan yang di sampaikan kepada Lala tidak lagi bohong.
Nasi sudah dibungkus, dengan sayur,
teri, dan 3 ceker ayam. Soir mengeluarkan uang 6 ribu rupiah. “berapa buk?”
tanya Soir. “8 ribu” jawab ibu penjaga warung. Soir kaget karena harga tidak
seperti biasanya. Biasanya porsi seperti
itu seharga 6 ribu, tapi entah kenapa menjadi 8 ribu. Mungkin ibu itu mau
korupsi kecil-lecilan, atau mungkin malakin Soir. Soir mengambil uang lagi uang
dari kantongnya, kemudian membayarnya. Setelah itu Soir langsung pulang ke
tempat kostnya. Diperjalanan Soir kepikiran soal harga nasi itu. Dalam hati, Soir bertanya-tanya “Kenapa
tiba-tiba mahal nasi di warung itu ya?”.
Sampai di tempat kost, Soir langsung
menikmati nasi itu di depan TV. Biasanya kalo laut malam tidak ada acara yang
bagus di TV. Soir langsung mengganti chanel ke TV Sepuluh (nama stasiun TV).
Larut malam seperti itu biasanya hanya ada berita-berita. Kebetulan TV Sepuluh
memang selalu menyiarkan berita-berita hangat, biasanya yang banyak disiarkan
mengenai isu-isu pemerintahan dan Politik. Soir menikmati berita, ternyata ada
tanyangan cuplikan pidato presiden baru. Yang ditampilkan hanya sedikit, yaitu
mengenai kenaikan harga BBM. Disampaikan keputusan bahwa BBM naik 2 ribu untuk
premium. Soir memang sudah tau sebelumnya kalau akan ada kenaikan harga BBM,
namun tidak tau berapa nominalnya. Isu kenaikan harga BBM memang sangat panas
di telinga masyarakat, apalagi banyak teman-teman Soir terlibat dalam aksi
penolakan harga BBM tersebut.
Beberapa saat kemudian Soir baru
sadar kenapa nasi di warung itu jadi mahal. “wahh ternyata dampak kenaikan
harga BBM langsung saya rasakan” dalam hati Soir, sambil mengunyah nasi. Seketika
kenikmatan nasi tersebut jadi berkurang. “mungkin ini yang dinamakan revolusi
kentang” Soir berbicara pada dirinya sendiri.
Ketika Soir sadar bahwa nasi yang
dikunyahnya jadi mahal akibat kenaikan harga BBM, ia tidak lagi menikmati nasi
tersebut, ia langsung melahapnya dengan sedikit emosi. Ternyata tidak hanya BBM
yang naik 2 ribu, tapi nasi langganan Soir juga naik 2 ribu. Memang harga nasi di warung itu tidak harus
diumumkan seperti harga BBM. Penjual warung nasi bebas untuk menjadi otoriter.
Toh, meskipun begitu warung itu tetap ramai. Pengguna BBM pun tidak berkurang.
Bagi Soir yang penting BBM-an dengan Lala tetap lancar. Ketika mengingat Lala,
emosi Soir yang tidak jelas langsung reda.
Makanan habis, Soir langsung ketempat
tidur. Sebelumnya Soir juga minum air, karena habis makan dan buang air kecil
biar ngak ngompol. Sebelum memejamkan mata Soir mengirim pesan lagi kepada
Lala, walaupun pesan sebelumnya tidak terbalas. “Semoga demam itu tidak betah
di tubuhmu” tulis Soir dan dikirim pada Lala. Soir juga menulis sesuatu di
status BBM nya, “semoga demam dan lapar yang melanda pemimpin negeri ini cepat
pergi”.
bersambung...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar