Minggu, 16 November 2014

Cinta yang berpikir tentang dirinya



[sebuah cerpen]
Mimpi dari Blambangan
Oleh : Hudy Majnun

Minggu, 25 Oktober 1999, 14.45
Sekilas tanggal di atas seperti sebuah jadwal pemberangkatan kereta pada sebuah stasiun. Ya, memang benar, itu adalah jadwal pemberangkatan sebuah kereta. Kereta terakhir yang harus Soir nikmati sebuah kepergiannya atau sebuah kepulangan. Kereta terakhir yang harus membuatnya melambaikan tangan, kereta terakhir tanpa salam seperti biasanya, kereta yang di dalamnya adalah seorang yang dianggap kekasih oleh Soir. Di kereta itu ada seorang perempuan bernama Medi, seorang sarjana muda. Ia adalah kekasih Soir, seorang mahasiswa di ujung barat. Mahasiswa semester tua yang hampir gelap.  


Beberapa jam sebelum keberangkatan kereta “pandanwangi” ada cerita yang menceritakan banyak cerita yang berlalu, yang menceritakan banyak skenario Tuhan yang berlalu, Soir bilang itu takdir. Karena sebelum dua sejoli ini bertemu pada hari itu, mereka telah banyak berdebat mengenai apa itu Takdir. Bahkan pada akhirnya Medi pun marah karena mendengar pendapat Soir yang terkesan egois dan menjengkelkan. “kita harus melawan takdir tuhan”, kata Soir, tapi Medi bilang  “takdir tuhan tidak bisa berubah, kita hanya bisa berusaha tapi Tuhan yang menentukan”. Persepsi yang sedikit rumit, tapi itu seperti sebuah perlawanan terhadap takdir, adalah usaha untuk merubah nasib/hidup, dan Soir pikir itu termasuk dalam takdir Tuhan. Diakhir pembicaraan adalah kesimpulan yang tak berkesudahan, Medi pun marah, atau mungkin mereka marahan. Perdebatan yang mereka lakukan adalah sama-sama tidak mempunyai dasar yang kuat, Medi dengan pengetahuan agamanya yang biasa-biasa saja menggunakan agama sebagai pedoman berdebat, sedang Soir tak berpedoman apa, ia menempatkan dirinya sebagai suatu yang netral, terus bertanya semakin dalam dan disana ditemukan ketiadaan. 


Malam minggu Medi memberanikan diri untuk datang ke kota tempat Soir tinggal, Medi bilang akan memberi kejutan. Tapi sungguh sayang Soir tak mengharapkannya datang waktu itu, karena banyak tanggungjawab yang harus Soir selesaikan. “kupikir kamu senang aku ke Binong” dalam pesan yang dikirim Medi melalu medsos. Soir terpaksa berbohong, agar tak meninggalkan tanggungjawabnya dan tak mengecewakan Medi. Dalam hati Soir bermaksud bahwa kebohongan itu adalah satu-satunya cara agar hubungan mereka masih baik. Tapi kemungkinan lain Medi akan tambah sakit hati atau kecewa dengan hal demikian. Memang pada waktu itu Soir sedang sibuk dengan berbagai tanggungjawab yang ia pikul, maklum Soir adalah salah satu mahasiswa yang aktif dalam sebuah ormawa. Kemungkinan juga bahwa Soir adalah lelaki yang sangat tega, entah menurutmu seperti apa dan bagaimana.


Medi tetap berangkat ke Binong, dari blambangan ia naik kereta.  Sekitar pukul setengah 11 malam ia sampai di Binong, tanpa dijemput oleh Soir, Medi bermalam di tempat teman wannitanya. Teman saat masih kuliah. Dulunya Medi kuliah di salah satu universitas besar di Binong, namanya UBI. Soir pun kuliah di universitas yang sama, namun beda fakultas. Tak perlu kujelaskan mereka fakultas apa, jurusan apa, mata kuliahnya apa, atau nilai mereka bagaimana karena itu tak terlalu berpengaruh terhadap kisah ini. Maksud Medi datang ke Binong hanya untuk menyampaikan sebuah perasaan. Medi ingin berbicara mengenai hubungan mereka yang semakin tak pasti menurut Medi. Lagi-lagi, mereka juga sering berdebat mengenai apa itu sebuah hubungan “pacaran”, mereka memiliki persepsi yang berbeda mengenai hubungan. Hubungan menurut Soir, hanya masalah komitmen, dan tak perlu komunikasi yang berlebihan. Soir lebih suka kalau hubungan itu adalah milik berdua dan jadi rahasia berdua, karena Soir pikir hubungan pertemanan biasa dengan pacaran tidak mempunyai batas yang jelas. Orang berteman bisa saja seperti orang pacaran kalau mereka saling suka, sebaliknya orang pacaran bisa seperti orang berteman, bisa seperti musuh kalau sudah saling marah. Semuanya bergantung pada perasaan dan komitmen mereka terhadap perasaan masing-masing. Bagi Soir kehidupan sepasang kekasih masih mempunyai rahasia masing-masing “mandiri”, artinya tak harus semua masalah dalam hidup mereka harus saling tahu. Berbeda dengan Medi, hubungan dalam persepsinya harus selalu komunikasi, baik pesan tulis ataupun suara. Baginya pacar adalah tempat mengadu, tempat berbagi dalam segala masalah, dan sebagainya. Itu seperti pacaran yang dirasakan Soir saat masih sekolah. Tidak jarang juga Medi marah hanya gara-gara Soir tak mau memasang foto Medi pada sebuah akun medsos yang dimiliki Soir. Masalah sepele yang tak patut menjadi masalah.


*

Malam pun berlalu, hanya sedikit gelap yang dinikmati Soir dengan bermimpi, karena sampai larut malam ia berdiskusi dengan teman-temannya. Matahari sungguh menyilaukan, dengan kesadaran yang tak 100%, pagi-pagi Soir menjemput Medi untuk membicarakan misi yang ia bawa dari tanah blambangan. Mereka sepakat untuk berbicara dalam ruang tanpa skat, dan mereka bebas untuk sedekat apa dan berbuat apa. Namun, yang terasa di hati mereka tak mendukung untuk sebuah kedekatan yang dibayangkan. Pembicaraan berlangung begitu lama dalam hitungan waktu, namun begitu sebentar dengan hitungan rasa. Tak sedikit air mata yang tercurah, tak sedikit gelisah yang membuat Soir gerah. Soir tetap tenang dengan diam tanpa rasa, dan Soir tak tega mengatakan mengapa ia demikian. Medi banyak menceritakan bagaimana agar hubungan mereka tetap baik dan tak memakan hati masing-masing. Selama ini hubungan mereka memang indah di awal, namun pada akhirnya, entah karena apa, rasa yang dulu muncul tiba-tiba kini perlahan menghilang sia-sia. Mungkin karena jalan pikiran yang berbeda, mungkin juga karena mereka sering berdebat dan tak ada yang mau mengalah, kemungkinan lain salah satu dari mereka sudah bosa, kemungkinan kecil mereka telah saling berkhianat dan telah menemukan orang lain yang baru atau orang dari masa lalu. Semua kemungkinan masih bisa menjadi mungkin, walau peluangnya untuk terjadi sangat kecil. Tapi, dalam kehidupan kemungkinan yang kecil bisa mengubah banyak hal.


Soir dan Medi baru bertemu sekitar 3 bulan yang lalu, pertemuan mereka memang tak dapat dilupakan. Pertemuan yang konyol, tapi mengesankan. Kesempatan mereka untuk menjalin hubungan pacaranpun terjadi setelah 2 hari mereka lewati bersama, menyusuri kota-kota, gunung-gunung, dan jalan berselimut hujan. Di awal mereka menyepakati hubungan, sudah harus ada air mata. Medi menangis karena Soir membuatnya kecewa. Pada waktu itu, Medi bersikeras untuk pulang, padahal itu dini hari, sekitar jam 2 malam. Soir membujuk dan merayu agar Medi lebih sabar dan tenang dulu, dan itu berhasil, Medi mau untuk pulang keesokan harinya dengan perasaan bahagia walau ada air mata. Mereka istirahat disebuah gubuk yang ditinggalkan penghuninya. Penghuninya masih menikmati musim libur panjang hari raya idul fitri. Soir memutuskan untuk istirahat digubuk itu, karena Soir adalah salah satu penghuni gubuk itu, sebuah gubuk dibawah rimbun pepohonan. Gubuk yang biasa Soir gunakan sebagai tempat berkumpul dengan teman-temannya, sekaligus tempat berdiskusi.


Hubungan Soir dan Medi terjadi dengan sangat singkat, tapi dari awal mereka berkenalan di medsos, sudah mulai tumbuh benih-benih rasa saling menyukai. Akhirnya mereka sepakat untuk melakukan pertmuan dengan berpetualang bersama. Di situ benih-benih rasa mereka semakin tumbuh lalu terjadi kesepakatan. Tapi ada kemungkinan kecil, yaitu benih-benih rasa mereka mati atau hilang, karena pertemuan yang berlangsung cukup lama banyak mengundang nafsu, dan mungkin karena nafsu itulah mereka menjalin hubungan. Entahlah. Aku tidak bisa memprediski atau menentukan kemungkinan mana yang benar-benar terjadi. Atau kita bebas menggunakan kemungkinan mana saja sebagai alur cerita yang kita sukai. 


**

Tidak terasa waktu sudah menunjukkan hampir jam 2 siang, berarti pemberangkatan kereta Medi tinggal beberapa menit lagi. Soir kemudian mengantar Medi ke stasiun. Sebelum kereta terakhir berangkat, mereka menyimpulkan pembicaraan pada satu kesepakatan baru. Mereka mengakhiri hubungan yang disepakati. Soir dan Medi tak perlu saling mencari tahu lagi, mungkin Soir juga tak perlu merindunya lagi. Kini mereka bisa hidup lebih masing-masing, daripada masing-masing yang sebelumnya, lebih mandiri dari mandiri yang sebelumnya. 


Ada hal aneh yang Medi lakukan ketika kepergiannya diambang pintu, Medi membuka handphone Soir, lalu menemukan pesan dari seorang teman wanita Soir. Medi pun marah. Soir mengerti kemarahannya adalah kecemburuan atau karena prasangka buruk tentang perilaku Soir. Padahal dalam pesan itu hanya percakapan biasa, hanya berupa ucapan selamat tidur, untuk teman wanita Soir dan dari teman wanita Soir. Wanita itu bernama Lala. Dalam hati Soir berkata “Itu memang teman wanitaku yang dulu sempat spesial di hatiku, dan sempat menjadi cerita penting dalam hidupku, dan wanita itu adalah sebuah rasa yang selalu menemani dan tak pernah pergi, walau aku tak tau dalam hati yang mana. Mungkin hati yang paling dalam”. Kesimpulannya, wanita dalam hp itu memang pantas dicemburui, meski tak ada hubungan apa-apa dengan Soir, ia adalah pendamping dalam hidup Soir yang sebenarnya, penolongnya saat dalam lelap keduniawian. “maafkan sayang, itu adalah hal yang tak pernah aku ceritakan kepada siapapun pendampingku di dunia. Karena ceritakupun takkan masuk dalam akal sehat. Sebab itu adalah sebuah kegilaan” dalam hati Soir.


Semua berlalu, Soir mengantar Medi ke stasiun kereta, tempat Medi biasa melambaikan senyuman terakhir untuk Soir. Sebelum-sebelumnya Soir merasa binasa dengan suara klakson kereta, bertanda mereka akan ada dalam ruang yang berbeda. Tapi setelah terjadi kesepakatan untuk memutus hubungan pacaran mereka, suara klakson kereta seperti sebuah trompet perayaan tahun baru, dalam hati Soir senang, meski dia tak bisa mengekspresikannya dengan tawa ataupun dengan apapun indra yang ia miliki, itu karena Soir sedang lemas, akibat kurang tidur. Dalam perjalanan, Medi hanya diam, mungkin sedang memendam rasa sakit, akibat pesan dari teman wanita Soir, atau mungkin rasa ingin cepat pergi, karena tak tahan bersama Soir, atau karena ada seseorang yang entah siapa sedang menunggunya di tanah Blambangan, semuanya adalah kemungkinan yang tidak dapat dipungkiri.


Hari itu Soir seperti “innocent” tanpa ekspresi dengan apapun yang terjadi, bahagia atau duka, mukanya tetap datar. Di dalam kereta terakhir tak ia temui Medi duduk dimana, biasanya Medi berada di jendela samping kanan, agar bisa melihat Soir pada batas kaca jendela yang remang-remang. Soir terus menempelkan muka pada kaca jendela ruang tunggu, satu-satunya tempat agar bisa melihat keberangkatan kereta. Soir tak peduli terlihat konyol, dengan tatapan penuh tanya, dengan tatapan yang mencari, mencari Medi yang dibalik jendela berkaca hitam. Orang-orang di stasiun banyak yang memperhatikan Soir, karena tingkah Soir seperti orang gila, termenung dengan wajah menepel kaca, dan dengan tatapan kosong. Tapi Soir merasa bahwa dirinya sedang sendiri, ia tak mengerti apa atau siapa yang sedang terjadi di sekitarnya.  Soir merasa bingung, haruskah ia hancur hati ? sedang kepergian Medi adalah takdir yang ia harapkan.


Perilaku Soir saat menyaksikan keberangkatan kereta bermaksud hanya agar Medi tak terlalu buruk memikirkan tentang Soir, agar Medi berpikir bahwa Soir merasa sangat kehilangan. Itu saja. Dilain sisi, Soir seperti benar-benar merasa kehilangan dan hancur, mungkin itu terjadi karena Soir adalah aktor yang pandai memainkan segala peran. Kereta berlalu, Soir pun beranjak pergi meninggalkan stasiun. Sampai di tempat kostnya, Soir langsung tertidur tanpa mengubah apapun yang dipakainya. Blak ! Soir menjatuhkan diri pada kasur yang tergeletak di lantai kamarnya. Seketika Soir tertidur, dalam mata yang terpejam ia mulai mengerti, bahwa semua yang terjadi seperti mimpi, atau mungkin itu memang mimpi yang benar-benar ia lalui. Dan ketika Soir terbangun dan membuka mata, ia seperti kembali bermimpi. Entahlah, hidup yang sebenarnya apakah saat ia membuka mata atau saat ia membuka mata. Dalam benak Soir bertanya “apa yang sebenarnya aku lihat saat tertidur, dandengan apa aku melihat, sedang mataku terpejam?”, tak tau pertanyaan itu ditujukan kepada siapa. Dilain sisi, Medi benar-benar telah menangis sambil menikmati pemandangan dari jendela kereta. Medi menganggap semua yang terjadi hari itu adalah kenyataan yang entah masuk dalam takdir Tuhan atau tidak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar