Rabu, 24 Desember 2014

Cacing-cacing


Oleh : Hudy Majnun

Bagaimana mungkin aku berjalan, sedang kakiku tertinggal di pemberangkatan. Bagaimana aku mencapai tujuan, sedang tujuanku tertinggal di pemberangkatan. 
Lalu bagaimana kabarmu ?
Hari itu aku bangun agak sedikit siang, tepatnya lewat pukul 10 pagi. Yang kulakukan hanyalah berusaha mengingat mimpi-mimpi yang menjadi teman tidurku semalam. Mimpi itu tak terlihat jelas, hanya seperti sebuah potongan cerita, atau seperti cuplikan iklan, atau seperti trailer sebuah film, yang hanya meninggalkan rasa penasaran pada orang yang mengalami atau menontonnya. Aku menyerah untuk mengingat mimpi itu secara lengkap. Aku tak sempat mandi, aku langsung bergegas mencari teman-temanku yang mungkin sama kelaparannya denganku. Bau tanah masih memenuhi tubuhku, lendir-lendirpun sudah biasa, itu tak membuatku terpeleset, dan  selalu seperti itu. 
Teman-temanku sudah menunggu, mereka juga sama kelaparannya. Kami mencari makan di belakang gedung-gedung besar, biasanya di sana terdapat kotoran-kotoran manusia, dan di sana terdapat makanan-makanan lezat yang tak semahal di dalam gedung. Kami bertiga mencari makanan yang paling lezat dan kalau bisa itu kami dapatkan cuma-cuma. Setelah kami makan, tak lupa kami membawakan sedikit makanan untuk adik-adik kami di rumah. Kami bertiga tinggal satu rumah meskipun kami tidur berbeda tempat, termasuk adik-adik kami yang jumlahnya 10. Meskipun mereka adalah adik yang baru kami angkat, mereka adalah adik-adik yang sangat kompak dalam segala hal. Mereka pernah membuat suatu rencana untuk kami, tapi aku bisa mencium bau rencana itu. 

Waktu itu aku sedang mencari-cari sesuatu di rumah kami dan aku menemukan sebuah rencana tertulis di sebuah kertas. Rencana itu belum jelas, hanya seperti sebuah potongan mimpi, atau seperti trailer film. Aku tidak dapat membaca rencana itu, tapi aku yakin rencana itu bukan rencana buruk. Jadi aku biarkan saja mereka berbuat apa saja, selama itu tidak membuat mereka dan aku merugi, atau mencelakakan kami. Rumah kecil yang kami tempati memang sangat sempit, tapi rumah itu bisa menjadi apa saja yang kami mau. Kadang rumah itu bisa menjadi sebuah goa, gelap gulita, dan hanya ada salah satu dari kami yang menetap. Salah satu dari kami bukanlah untuk bertapa. Rumah itu selalu terlihat indah saat siang hari, karena adik-adikku selalu rajin membersihkannya. Aku tak heran melihat mereka serajin itu, itu mungkin karena mereka senang berada dirumah itu.

Pada sebuah kesempatan, semua penghuni rumah berkumpul. Aku tak curiga sedikitpun pada perkumpulan itu. Karena kupikir perkumpulan itu hanya perkumpulan rutin yang kami adakan minimal sebulan sekali. Kecurigaanku mulai muncul ketika aku dipanggil oleh adik-adikku. Mereka menyuruhkan berdiri di tengah-tengah mereka. Karena itu sebuah permintaan, aku menurutinya. “kau tau apa yang telah kamu lakukan?” tanya salah seorang adikku dengan nada sedikit membentak. “aku tidak tau” jawabku. Aku benar-benar tidak tau apa yang mereka maksud dan aku merasa tidak pernah melakukan salah apapun. “kau telah mencuri rencana kami” ucapnya. “apa maksudnya?”, aku semakin bingung. Kemudian mereka menjelaskan bahwa aku diam-diam mencuri rencana mereka. Katanya, aku telah membaca lebih dulu rencana yang mereka buat dan mereka tidak dapat menerima itu. Karena aku tidak senaja membaca rencana itu, aku mengakuinya. Dan aku membalas mereka “kalian terlalu ceroboh menyimpan sebuah rencana”. Mereka hanya diam, karena itulah yang terjadi. Namun mereka tetap memberi hukuman padaku. Aku mereka asingkan. 
        
Waktu terus berlalu dan beberapa jam kemudian mereka mengungkapkan rencana mereka yang sebenarnya. Berlahan aku mulai mempunyai gambaran jelas mengenai cuplikan rencana yang telah kubaca beberapa hari yang lalu. Kali ini aku bukan hanya melihat cuplikannya, tapi melihatnya secara jelas dan utuh, dari awal sampai akhir rencana itu. Ternyata rencana itu hanya sebuah ucapan terimakasih mereka kepada kami, kakak-kakaknya, yang telah menerima dan membina mereka selama beberapa bulan setelah mereka diangkat. “dasar... mereka memang hebat” pikirku. Tapi, karena mereka menganggapku bersalah karena membaca rencana itu lebih awal, mereka sedikit membedakanku dari teman-temanku yang lain. Itu tak masalah bagiku, yang penting aku telah mengerti arti cuplikan yang kubaca sebelumnya. Tapi tidak untuk mimpi-mimpi yang ku alami, mereka tetap menjadi rahasia sang pemilik mimpi. Yang mampu ku lihat dari mimpi-mimpi itu hanya sebuah hitungan angka, tepatnya sebuah pelajaran pengurangan atau bagaimana jumlah itu menjadi semakin sedikit. Diakhir perkumpulan itu, mereka menyatakan bahwa mereka bahagia menjadi cacing-cacing. “cacing-cacing, cizzzz” sorak mereka. Cacing yang kompak.
        
Setelah perkumpulan itu, kami seperti mengalami kehidupan yang baru. Kami dihadapkan dengan banyak rintangan dan rencana-rencana baru untuk kehidupan selanjutnya. Perjalanan itu kami mulai dengan sebuah tekat. Kami membawa satu kain kebanggaan, yang suatu saat nanti akan kita tancapkan ketika sampai di puncak. Sekali lagi rencana itu seperti cuplikan film atau sebuah mimpi. Tapi mimpi ini tidak dihasilkan dengan mata terpejam, sebaliknya, mimpi itu kami dapatkan dengan cara tidak memejamkan mata sampai larut malam. Rencana yang indah. Dari rencana itu, aku dan cacing-caing itu memulai perjalanan pada sebuah ketinggian. Tapi kau tau, cacing-cacing seperti kami tidak mempunyai kecepatan untuk mencapai tujuan. Kami berjalan sangat lambat, bahkan kami bisa saja tergelincir dan mati karena lendir-lendir kami sendiri. Kaki kami tak cukup kuat untuk untuk terus mendaki jalan yang curam. Apalagi bentuk kami yang bulat dan memanjang, seperti sebatang rokok yang lentur.
       
Ketinggian itu dapat kami lihat dengan rencana kami, tapi itu begitu remang. Kami dan adik-adik kami, memulai perjalanan panjang itu. “kalian sudah siap?” tanyaku. “siap” tegas mereka. “selain bekal, persiapkan juga mental kalian”, kuharap mereka tak melupakan itu. Ketika kami sudah lama berjalan, di suatu tempat kami menghadapi segerombolan manusia, menurutku mereka tak tau diri. Manusia itu berjalan sangat tidak hati-hati. Adik-adik kami merasa takut, karena kami sedang berada di tengah-tengah gerombolan manusia itu. “mereka takkan bisa menginjak kita” ucapku, agar adik-adikku tak ketakutan. Ada salah satu dari adikku yang menangis ketakutan menghadapi manusia tak tau diri itu. “aku ingin pulang saja kak, mumpung masih dekat dengan rumah”, ucapnya sambil menangis. Aku tidak dapat mencegahnya, itu haknya untuk mundur secepat ini. “baiklah adikku, kau bisa pulang dengan tenang”. Diperjalanan pulang aku masih memperhatikannya melewati kaki-kaki manusia itu, namun harapannya untuk pulang harus terhenti di salah satu kaki manusia bersepatu biru. Ia terinjak kaki itu dan ia mati. Aku tak bisa membawanya pulang, atau menguburnya dengan terhormat. Tubuhnya sudah hancur, oleh kaki itu, bahkan semakin hancur setelah ia tak bisa bergerak, karena kaki-kaki yang lain tak dapat ia hindari lagi.
     
Segerombolan manusia dapat kami lewati, walau harus kehilangan salah satu dari kami. “sudahlah, dia hanya cacing. Kalian tak usah terlalu larut menyedihkannya” ucap temanku, kakak yang lain. Meskipun kami tidak mengenal air mata, adik-adik kami merasa sangat sedih melihat kepergiannya harus berakhir di kaki manusia tak tau diri itu. Kami takkan mampu membalas kematian adik kami, kami harus meneruskan perjalanan. “bersiaplah untuk rintangan selanjutnya” ucap kakak yang lain. “Perjalanan selanjutnya tidak akan sesulit tadi, tidak akan ada lagi manusia-manusia tak tau diri. Berjalanlah dengan sedikit cepat, tapi tetap hati-hati, karena udara dingin akan membuat lendir-lendir kalian akan semakin banyak dan licin” tambahku agar mereka lebih semangat. Meskipun aku tau kami tak bisa berjalan dengan cepat, aku tetap menyuruh mereka berjalan cepat, agar mereka cepat melupakan kesedihan itu.
       
Lama berjalan, kita berhenti di sebuah tempat. Tempat itu cukup aman dan tanah-tanah masih bersih atau belum tercemar sampah. Mereka beristirahat dengan menghisap tanah-tanah di sekitarnya, ada yang hanya berbaring memanjangkan tubuhnya yang licin. Hari semakin gelap, kupikir itu bukan karena malam akan datang, tapi awan-awan hitam menumpuk di atas kami. “Bersembunyilah di dalam tanah, gali lubang sedalam mungkin. Hujan akan segera turun” aku memperingati semuanya. Mereka langsung bergegas menggali lubang. Aku tidak menggali lubang secepat mereka, aku memperhatikan adik-adikku lebih dulu. Dalam menggali lubang kita tidak langsung berhasil, karena banyak batu dan akar yang harus kita hindari. Hujan mulai berjatuhan, hanya tinggal 2 adikku yang baru memendamkan diri setengah badan, yang lain sudah bersembunyi di dalam tanah. Aku kemudian menggali lubang dan menyembunyikan diri dari guyuran hujan. Beberapa saat kemudian hujan mulai reda, kami semua muncul kepermukaan. Tiga adikku tidak muncul-muncul. “kemana si mayat, si bangkai, dan si polos ?” tanyaku pada semua. Semua muka menunduk, tak ada yang berani menjawab. “hey... cacing-cacing, kemana 3 teman kalian?” aku sedikit membentak.  “mereka berdua hanyut terbawa arus air. Lubang yang mereka buat hancur dan mereka terbawa” ucap salah satu adik cacing dengan muka menyesal. Aku tidak dapat berkata apa-apa, padahal kami-kakak-kakaknya- sudah sering memperingati mereka, kalau mencari lubang harus di tanah yang benar-benar kuat dan aman. Aku yang salah atau mereka yang ceroboh. Mereka sudah tiada, entah kemana, hidup atau mati, kami tidak dapat mengetahuinya, karena arus air sangat deras. Mencari mereka dalam arus air sama saja membunuh diri kami.
      
Empat adik kami telah hilang, kini adik kami hanyat tinggal 6 cacing. Mereka sesekali terlihat lucu, aku sangat terhibur ketika melihat mereka bercanda dengan kekonyolannya. Sekuat mungkin aku melindungi mereka dari berbagai rintangan, tapi takdir mereka lebih kuat dari usahaku. Tak mungkin kulawan sebuah takdir, itu seperti aku melawan manusia-manusia itu. Kami hanya seekor cacing penuh lendir. Kami hanya mempunyai tujuan dengan kaki-kaki yang begitu lamban.
     
“Puncak itu sudak dekat” kata salah satu kakak cacing yang lain. Itu seperti sebuah motivasi, aku menyukainya, ya.. agar adik-adik yang lain tak terlalu meratap sedih, meskipun kehilangan anggota cacing adalah hal yang sangat menyedihkan. Beberapa bulan kami terus berjalan dengan lamban. Kami tak mengenal lelah, karena kami tek pernah terburu-buru. Itu tips juga buatmu, berjalanlah perlahan untuk tujuan yang sangat panjang. Selanjutnya memang rintangan semakin berat, tidak hanya hujan dan kaki-kaki manusia itu. Kali ini ketika kami harus menyebrang jalan, mobil-mobil siap membuat tubuh kita jadi penyet. Tapi kami bisa melewati hal tersebut, karena kami lebih kompak setelah mengambil hikmah dari kehilangan anggota cacing-cacing yang lain.
     
Kami beristirahat beberapa hari di bawah pohon besar. Pohon itu sangat rimbun. Manusia sering menyebut pohon itu sangat angker. Pohon seperti itu merupakan tempat para hantu. Tapi kami tidak takut pada hantu-hantu itu, itu adalah hantu manusia, bukan hantu para cacing. Karena dalam dunia cacing hantu-hantu seperti itu tidak ada. Bagi kami, hantu-hantu itu adalah kalian para manusia, hantu yang sekaligus menjadi maut. Di bawah pohon besar yang kami tidak tau namanya itu, kami tinggal untuk waktu yang cukup lama. Tidak ada yang membosankan, hanya saja bayangan tentang anggota cacing yang lain sering menjadi hantu bagi kami. Sesekali adik-adik itu berpikir ulang untuk meneruskan perjalanan yang tak berujung ini. Di bawah rumah sementara ini kami sering berkumpul untuk mencurahkan perasaan-perasaan terpendam, mengenai perjalanan atau mengenai cacing lain yang telah tiada. Hal itu kadang membuat mereka -adik-adik- ragu untuk meneruskan perjalanan.
      
Malam itu kami mempersiapkan perjalanan untuk esok hari. “aku tidak sanggup kak. Aku tinggal di rumah ini saja” ucap si pisang. “aku sebenarnya juga tidak ingin ikut, tapi aku sudah terlanjur jauh ikut berjalan” sahut si botol. Entah apa yang terjadi pada mereka, kupikir mereka sudah mempunyai mental yang kokoh untuk menghadapi perjalanan tak breujung ini. “baiklah, aku tak akan memaksa kalian untuk ikut”. Si botol tetap ikut meskipun ragu-ragu, tapi tidak untuk si pisang, dia memilih untuk tinggal karena berbagai alasan yang rumit. Hanya ada 5 adik cacing yang ikut, namun di tengah perjalan Si Botol yang ragu-ragu tadi berhenti, tanpa pamit ia meninggalkan rombongan. Tidak ada yang ia katakan sebelum ia pergi. Kami tidak dapat mencegah atau menunggunya, karena kami tak punya cukup tangan yang panjang untuk mencegahnya, dan hal itu akan menghambat kami pada tujuan. 4 cacing masih setia mengikuti perjalanan, tapi tak jarang sesekali dari mereka mengeluh dan ingin mundur. Tapi, keadaan dan teman-teman cacing beserta kakak-kakaknya meyankinkannya kembali untuk tetap ikut berjalan.
      
Kami terus meneruskan perjalanan itu, dengan sedikit keraguan yang akan hilang oleh kebersamaan. Sesekali kami berhenti untuk istirahat. Pada salah satu tempat istirahat, saat semua sedang tidur terlentang, aku banyak merenungkan berbagai hal, mengenai apa saja, tentang diri sendiri, perjalanan ini, dan tentang apa saja yang melintas di kepalaku. Tiba-tiba muncul cacing lain yang tak ku kenal dari bawah tanah. Ia cacing hitam yang lebih gesit dari pada kami, tapi cacing hitam itu tidak terlalu suka hidup berkelompok. Ia suka hidup sendiri-sendiri. 

“apakah aku mengganggumu?” tanyanya.
“tidak. Apa ada yang bisa aku bantu?” ucapku.
“tidak ada, aku hanya tersesat. Dan selalu tersesat”
“kemana tujuanmu?”
“itulah yang membuatku tersesat. Aku tak punya tujuan jelas”
“itu karena kau tak punya kelompok, jadi hidupmu akan selalu tersesat, wahai cacing hitam”
“hidupku memang tak punya kelompok, tapi aku punya mimpi”

Cacing hitam itu kemudian masuk kembali ketanah, dan hilang entah kemana. Kata-kata terakhirnya membuatku mengingat tentang mimpi-mimpi yang dulu pernah kualami saat tidur. Mimpi itu tentang pengurangan. Aku mulai memikirkan mimpi itu dan mencari-cari apa artinya. Ku arahkan pandanganku kepada adik-adik cacing yang sedang tidur. “mereka tinggal empat cacing” pikirku. Semakin dalam aku memikirkannya, mungkin ada kaitan dengan mimpiku dulu. Pikiranku mulai terbuka ketika aku mengingat bagaimana adik-adik cacing yang lain mati dan hilang. Awal perjalanan mereka 10 cacing tapi kini  hanya tinggal 4 cacing. “mungkin itu yang dimaksud mimpiku dulu”, pikirku. Sebuah pengurangan dengan caranya masing-masing. 10 adikku mengawali perjalanan, 1 mati terinjak kaki manusia, 3 hilang terbawa arus air, 1 memutuskan tinggal, itu artinya mundur, 1 lagi menghilang tanpa kabar, kini hanya 4 cacing yang bertahan dengan perasaan yang tak mampu kuduga, ragu-ragu ataukah sudah bermental super seiya. Saat itu aku sudah mengetahui secara jelas mengenai mimpi pengurangan itu, tepatnya kehilangan. Tapi, aku tidak tau apakah pengurangan itu sudah berakhir atau tidak, aku tau perjalan masih panjang dan tujuan masih jauh.

Aku dan kakak-kakak yang lain sudah tak mungkin terlalu jauh lagi mengantarkan 4 cacing itu. Kakiku sudah tak sekuat mereka, lendirku sudah tak selicin mereka. Di kehidupan kami, semakin licin dan banyak lendir yang kami miliki, menandakan semakin kuat kami berjalan. Lendir itu bisa sebagai senjata utama kami ketika menghadapi musuh. Lendir itu muncul karena proses di otak kami, kemudian lendir-lendir itu dengan sendirinya keluar dari mulut kami.

Matahari sudah mulai menampakkan diri, embun-embun yang dingin mulai berguguran dari ujung daun dan sesekali menimpa tubuh kami. Itu membuat adik-adikku terbangun, dan kami menjemur diri disaat pagi. Kami bercanda konyol, tertawa tak tau diri, melihat sekitar begitu lucu dan manusia-manusia itu tak dapat mengusik kami, mereka hanya berlari-lari di sekitar kami. Mereka tidak mungkin menginjak kami, karena kami berada di bawah pohon, dan mereka tak mungkin berlari-lari di bawah pohon. Manusia itu juga suka bercanda, sama seperti kami, tapi manusia itu punya air mata, tidak seperti kami. “selanjutnya kalian yang akan memimpin perjalanan, jadi persiapkanlah diri kalian” ucapku, sebelum memulai perjalanan itu. Kain kebanggaan itu masih kami simpan baik-baik. Hanya sesekali berkibar di tempat persinggahan sementara.

Mengenai Cacing Hitam yang pernah muncul tiba-tiba di malam itu, ternyata ia diam-diam mengikuti perjalanan kami. Dan ia mencatat tentang semua perjalanan yang kami lewati, dari awal sampai akhir. Kau tau, apa yang kau baca saat ini adalah catatan dari si cacing Hitam itu. Ia mencatat baik-baik perjalanan kami, ia juga berharap mendapatkan hikmah dari perjalanan kami dan kisah cacing lain. Aku sangat berterimakasih pada cacing hitam itu. Berkat cacing hitam itu aku dapat mengerti sebuah pengurangan (kehilangan) dengan caranya masing-masing. Cacing Hitam itu akan tetap mengikuti perjalanan cacing-cacing itu. Tapi cacing itu tak mau dianggap sebagai adik atau kakak, ia lebih suka dianggap sebagai Cacing Hitam.

Satu lagi, Cacing Hitam itu juga memberiku sebuah kenang-kenangan yang tak dapat kulupakan. Kenangan-kenangan yang sangat sederhana, kalau kau ingin tahu lihatlah di sini, https://www.youtube.com/watch?v=sj3eFkoQC38&feature=youtu.be

 

Minggu, 14 Desember 2014

Selesai Sebelum Berakhir



Cerpen-
Oleh : Hudy Majnun

Sangat jelas terlihat, awan-awan hitam berbondong-bondong ke arah utara. Bulan sesekali hilang ditelan awan gelap. Malam itu, gerimis mulai berjatuhan. Ragu rasanya melangkahkan kaki, menuruti keinginan hati. Takut kalau pada akhirnya harus terguyur hujan, cuaca yang dingin akan semakin dingin jika terguyur hujan. Namun, Lufi dan Eri meyakinkannya untuk berangkat, menonton pertunjukan. “angin cukup kencang, tak mungkin turun hujan” ucap Eri. “bintang-bingtang mulai terlihat dan semut-semut juga tak terlihat berkeliaran” Lufi menambahkan keyakinannya. Mereka bertiga berangkat menonton pertunjukan itu.
Sesampainya di lokasi, ternyata acara sudah berlangsung. Sesi pertama tinggal menit-menit terahir. Kubu kuning menang tipis. Pertunjukan masih berlangsung seru, sorak penonton membuat pertunjukan semakin panas. Ada yang menyoraki dengan provokasi “pukul yang keras. Kenakan kepalanya” ada juga penonton yang memaki “pemain goblok, keluar saja kau”. Sesekali ia memperhatikan sekeliling. Wajah-wajah itu memang tak asing, hanya saja ia tak mengenali mereka semuanya. Mereka adalah orang-orang di kampung Soir, mereka sangat antusias menonton pertunjukan itu.
Pengadil pertunjukan itu adalah teman akrabnya waktu SMP, ia anak pak Kades. Sebut saja si Nades “anak kades”. Nades sangat jeli memimpin pertunjukan, tidak ada pelanggaran yang tidak dia temukan. Sekecil apapun pelanggaran yang dilakukan, pasti Nades mengetahuinya, lalu dia menghentikan pertunjukan sejenak untuk memperingati si pelangar. Dia hanya mengingatkan, bukan menghakimi dan si pelanggar hanya akan mendapat teguran bukan hukuman. Karena ini memang sebuah permaianan, bukan seperti permaianan pemerintahan. Kalau di pemerintahan, yang melanggar akan dihukum dan pengadil yang menentukan hukuman. Dalam permainan ini, pemain tidak bisa menyogok pengadil, mungkin kalau di pemerintahan pengadil masih bisa menjual keadilannya.
 Si Nades memang sangat menguasai pertunjukan ini. Dulu waktu SMP dia merupakan pemain andalan sekolah, jika ada kejuaraan seperti itu. Meskipun dia sangat ahli, sekolahnya tidak pernah lolos untuk pertunjukan selanjutnya. Itu pasti karena patnernya yang lain tak se-ahli dia. Ya... teman Soir itu memang ahli, tapi ia tak bisa berbuat apa-apa kalau tak ada teman-teman yang tidak ahli lainnya. Dulu dia sempat mengajari Soir melakukan pertunjukan seperti itu, tapi ia tak berminat untuk melakukannya. Soir lebih suka melihat saja, sebagai penonton. Tanpa resiko mendapat cacian dari penonton.
Sebagai penonton yang baik, ia tidak mengikuti penonton lain yang bersorak dengan cacian atau pujian itu. Sesekali ia hanya bertukar komentar dengan kedua temannya. Sok pintar mengomentari jalannya pertunjukan, tapi paling tidak mereka tidak menggunakan komentar-komentar yang bersifat buruk. Soir sempat dipelototi penonton yang bersorak dengan cacian. Orang itu melototinya karena Soir melototinya lebih dulu. Orang itu pikir pandangannya seperti sebuah tantangan, padahal ia hanya keheranan melihat tingkahnya seperti itu. Maklum saja, mungkin penonton itu sedang emosi karena pertunjukan itu tak sesuai keinginannya. Soir mengalah, tak lagi meladeni pelototannya. Pandangannya dialihkan ke penonton yang lain, yang tidak tau kalau ia sedang memperhatikannya.
Soir tak lagi fokus melihat pertunjukan, karena baginya perilaku penonton yang demikian lebih seru dibandingkan dengan pentunjukan di lapangan. Pandangannya terhenti di dekat stand komentator pertunjukan. Di sana ada seorang wanita yang sedang memperhatikannya. Wajah wanita itu sepertinya tidak asing. Lama  Soir bertukar pandang dari kejauhan dengan lampu yang sedikit remang. Sedikit demi sedikit ia mulai mengingat wanita itu. Yaa... wanita itu pernah hidup di masa lalunya. Soir sekarang ingat, yang paling jelas adalah tatapannya. Ia adalah kekasihnya dulu. Tatapannya masih sama persis ketika dulu Soir sering menggodanya. Tatapan yang sedikit nakal, aku yakin tak hanya Soir yang tertarik ketika mendapatkan tatapan itu.
Pertunjukan pertama usai, semua pemain pertunjukan bersalaman, setelah lebih dari 1 jam saling serang. Teman Soir yang jadi pengadil digantikan orang lain yang sama sekali tak dikenal. Aku sedikit ragu dengan kemampuan pengadil asing ini. Penampilan dan dandanannya pun tidak seperti teman Soir tadi. Tapi yasudahlah, itu tak berpengaruh apa-apa bagi Soir. Semua pemain pertunjukan inti mulai masuk lapangan. Soir heran ketika temannya yang jadi pengadil tadi juga ikut menjadi pemain pertunjukan. Memang sia-sia jika kemampuannya hanya digunakan untuk jadi pengadil saja. Kemampuannya tidak sebagus dulu, sekarang dia sudah lumayan tua, tenaganya sedikit berkurang. Tak sekuat dulu, perutnya pun tak se-seksi dulu. Dia sekarang seperti wanita hamil 4 bulanan, perutnya buncit. Mungkin akibat makan enak terus, jadi dia lupa diet.
Pertunjakan inti dimulai. Pikiran soir masih dihantui wanita masa lalu yang kini sesekali memperhatikannya. “Dari pada penasaran dengan nasibnya sekarang, lebih baik aku tidak menghampirinya, aku menanyakan ke Lufi saja” perasaan Soir menggugah.
“itu si Ila ya?”
“yang mana?”
“ituu, di dekat stand komentator”
“owhh, iya. Itu suaminya lagi main”
“hah..#@^%*”
Lufi menunjuk lurus si Nades. Soir tiba-tiba seperti terkena sengatan listrik, seperti ada sesuatu yang membuat badannya langsung memanas. Mungkin ia sedikit cemburu, atau tidak terima, mungkin karena lelaki itu tak pantas untuknya, atau wanita itu tak pantas untuknya. Lufi mungkin bercanda, karena dia sedikit mengerti dengan masa lalu Soir dan Ila. Soir dan Ila adalah sepasang kekasih kontroversi, dulunya. Soir pernah dihakimi ayah Ila, karena ada orang yang memberitahu kepada ayahnya tentang hubungan mereka. “kalian masih kecil, jadi tolong jangan main pacar-pacaran dulu” begitu kata ayah Ila. Ayahnya baik, meskipun Soir bersalah telah mencuri hati anaknya ia tidak marah, tepatnya ia memberi nasihat. Soir dihakimi ketika ada pengajian bersama ayahnya, di situ ia disaksikan teman-temannya.
            Seandainya si Nades mengerti tentang masa lalu wanita itu, mungkin ia akan berpikir lagi untuk menikahinya. Apalagi mengerti kalau ia adalah kekasih Soir, dulunya. Tapi, mungkin Nades dan Ila sekarang sedang dibuai asmara, hingga muncul perjanjian antara mereka untuk tidak pernah mengungkit masa lalu. Kupikir Nades juga memiliki masa lalu yang tak begitu baik juga. Tidak hanya dia, kita semua pasti pernah memiliki masa lalu yang buruk bukan. Tapi, bukan berarti kita harus mengulanginya. Kalau kita mengulanginya, berarti kita selalu jatuh dilubang yang sama. Masih banyak lubang di dunia ini, kau bisa memilihnya sesuka hati sebagai tempat terjatuh. Cinta memang bisa membutakan semuanya, logikapun bisa lumpuh kalau cinta sudah dirasa. Semoga itu salah.
            Pertunjukan itu berakhir dengan mengecewakan, lampu mati sebelum pertandingan selesai. Pemenangnya entah yang mana, kupikir masih seri. Karena sebelum lampu mati masih berjalan babak kedua, dan mata Ila masih liar. Lampu mati, tatapan itupun hilang ditelan kerumunan. Suara keluhan pononton terdengar seperti suara balapan motor, saling suang suing. Mereka sama kecewanya dengan Soir. “panitianya payah, gak niat” suara dari penonton yang ditelan gelap. Entah pada siapa mereka mengucapkan itu, yang jelas kepada panitia penyelenggara bukan pada penjual kacang atau penjual yang menumpang rejeki.
Wanita itu hilang begitu saja, mungkin ia sedang bersama si Nades, berpelukan dalam gelap, karena wanita itu takut gelap, Soir sangat mengerti itu.  Sebab, dulu Soir dan wanita itu pernah berada dalam gelap,  dan ia memeluk erat tubuh Soir. “aku takut gelap” kata wanita itu. Soir membalas pelukan itu, semakin lama semakin erat, lama-lama pelukan itu bukan saja pelukan ketakutan, tapi pelukan penuh hasrat. Aku tidak tau apa yang terjadi setelah itu, yang jelas mereka bebas melakukan apapun di tempat yang hanya ada mereka berdua.
Dalam sekejap tempat itu menjadi sepi, tidak ada lagi sorakan ataupun cacian dari penonton. Hanya tersisa nyala lampu dari penjual kacang dan penjual kopi yang berharap lampu menyala lagi, agar rupiah bisa mereka kumpulkan. Namun sayang, penonton sudah tidak ada lagi, mereka pun berkemas dengan kekecawaan yang lebih mendalam daripada para penonton. Penjual itu bukan mengaharapkan suatu hiburan, melainkan mengharap rupiah dari hiburan itu. Dengan muka yang sedikit murung penjual itu pergi, tanpa keluhan dari mulut mereka. Tapi keluhan itu benar-benar terlihat jelas di wajah mereka, wajah mereka bisa berbicara. Mungkin seperti ini “rupiahku lenyap ditelan gelap”.
Pertunjukan tidak berujung, semuanya selesai tanpa tau bagaimana akhirnya. Itu seperti cerita yang mengambang. Berakhir sebelum titik akhir, selesai sebelum usai. Sama seperti tatapan mata wanita itu, hilang sebelum kumengerti arti tatapannya. Memang tatapan itu sudah pernah Soir rasakan, itu sudah lama sekali. Dan hubungan Soir dengan wanita itu belum sepenuhnya berakhir. Mereka tidak pernah mengakhiri hubungan mereka secara resmi. Mereka hanya hidup masing-masing dan di tempat masing-masing. Soir memang tidak mengharapkan wanita itu lagi, tapi bagaimana dengan kesepakan yang pernah mereka buat dulu. Siapakah yang saat ini mengingkari.
Tapi, kupikir wanita itu sudah lupa dengan kesepakatan mereka dulu. Itu memang sudah terjadi sekitar 5 tahun yang lalu. Setelah itu tidak ada lagi komunikasi diantara mereka. Mungkin saja wanita itu bosan menunggu Soir, hingga dia menerima lelaki lain. Atau Soir sendiri sudah tidak peduli dengan wanita itu, hingga dia merelakan wanita itu untuk orang lain. Sekarang semuanya sudah terjadi, wanita itu telah menjadi milik temannya sendiri. Jadi, sisa rasa yang mereka miliki tidak perlu dihiraukan lagi.
Sekarang wanita itu sudah banyak berubah, dandanannya pun sudah seperti wanita dewasa, tepatnya seperti ibu rumah tangga. Soir memang sedikit pangling dengan wajahnya, tapi tidak dengan tatapannya. Tatapan tajam dan liar. Soir pergi keluar kota seminggu setelah ia dihakimi oleh ayahnya, dan mulai saat itu Soir tidak pernah bertemu lagi dengannya. Dan waktu itu belum ada kesepakatan antara Soir dan Ila untuk mengakhiri hubungan mereka. Jadi mereka berpisah begitu saja dan kupikir hubungan mereka tetap menjadi sepasang kekasih, karena belum ada kesepakatan untuk mengakhiri. Tapi, kini kekasih itu telah menjadi istri orang lain. Mau tidak mau Soir harus menerima kenyataan itu. Kekasihnya adalah istri temannya. Hubungan suami istri lebih kuat dari pada hubungan Soir dan wanita itu.
Pernikahan itu dilindungi hukum dan agama, jadi tak bisa diakhiri begitu saja. Berbeda dengan hubungan cinta monyet yang dialami Soir, mereka hanya terikat oleh rasa dan perjanjian biasa. Itu dapat berakhir dan diakhiri kapan saja dia mau. Tapi kau tau, Tuhan dan hamba tidak pernah mempunyai hubungan formal seperti suami istri. Tetapi seorang hamba yang sangat cinta kepada Tuhannya tidak bisa dipisahkan oleh apapun. Itu memang sangat berbeda, Tuhan bukan manusia, dan manusia bukan Tuhan. Tapi ada kata-kata seperti ini “Tuhan ada dimana-mana”, mungkin saja di dalam tubuh Soir atau Ila, atau di dalam dirimu. Itu hanya perkiraanku saja, dan ini belum tentu benar.
Soir dan 2 temanya pulang sebelum pertunjukan belum benar-benar berakhir. Pikiran tentang wanita itu seperti hantu penasaran. Dalam perjalanan pulang awan hitam sudah tidak terlihat lagi, bulan sudah muncul dengan sempurna, tanpa dihantui awan-awan. Berikut nasib wanita dan hubungan itu, sudah bukan menjadi rahasia lagi. Kini nasibnya sudah pasti dengan lelaki itu, dan kupikir nasib hubungan cinta monyet Soir sudah jelas. Berakhir. “selamat kekasih lamaku” dalam hati Soir.*

Senin, 08 Desember 2014

Monyet-monyet Sedang Berpesta.




Oleh : Hudy Majnun 


Beberapa saat yang lalu aku masuk rumah sakit, kata dokter hanya kurang istirahat. Tapi yang kurasakan juga sesak nafas. Mungkin ada penyakit lain yang tidak bisa terdeteksi oleh dokter. Untung istriku baru saja datang dari luar negeri, sebagai TKI. Jadi aku tak perlu bingung memikirkan biaya rumah sakit. Istriku datang setiap 3 tahun sekali, tergantung majikannya memberi cuti atau tidak. Anak pertamaku menjadi guru kontrak di SD dekat rumah, namanya Lufi. Anak keduaku perempuan, namanya Ine, menjadi pengangguran setelah lulus SMA. Ia tak betah jika bekerja jauh dari rumah, sempat sekali ia bekerja jauh dari rumah. Hanya berselang 2 minggu ia pulang kerumah dengan air mata “aku tidak tahan jauh dari rumah” sambil menangis Ine mengatakan itu. Oleh sebab itu, sampai sekarang ia tetap menjadi penjaga rumah.

Aku sedikit prihatin dengan anak keduaku ini. Entah aku salah mendidiknya ketika masih kecil atau karena pergaulannya. Aku tidak mengerti dengan kondisi psikologis anak keduaku ini. Sangat jauh berbeda dengan Lufi, ia sangat gigih kuliah dan bekerja. Lufi sekarang sudah sarjana, tapi belum diangkat menjadi PNS. Lufi berharap sekali menjadi PNS- meskipun bagiku PNS bukanlah jalan terbaik- agar bisa memperbaiki ekonomi keluarga dan  agar ibunya tak kerja di luar negeri lagi. Apalagi akhir-akhir ini banyak kasus tentang penganiayaan TKI. Jadi aku sarankan kepadamu, jika punya anak, didiklah anakmu untuk menjadi seorang yang pemberani, laki ataupun perempuan. Agar tak bernasib sama dengan anak keduaku, Ine. Dan jika kamu punya istri, jangan biarkan ia bekerja di luar negeri, apalagi menjadi TKI.

Dua bulan yang lalu Lufi juga menambah pekerjaannya, setelah dari pagi sampai siang ia mengajar di SD, sore sampai malam ia menjaga apotek milik saudaranya. Ia semakin sibuk sekarang, jarang sekali ada dirumah, berbeda dengan Ine. Aku hanya bisa menjadi imamnya ketika solat subuh. Setelah sarapan pagi ia langsung berangkat. Datang siang, lalu berangkat lagi, pulang lagi malam. Aku hanya bisa membekalinya dengan do’a. Aku berharap, aku tidak menjadi beban untuk mereka, juga istriku. Setiap hari aku pergi ke sawah, merawat tanaman yang hampir siap panen.

Suatu malam Lufi tiba-tiba memarahiku. “sudah aku bilang, bapak tidak perlu ke sawah lagi. Biar aku nyuruh orang saja” kata Lufi dengan nada marah bercampur sedih. Semua keluargaku tiba-tiba menjadi baik, setelah aku pulang dari rumah sakit itu. Aku bahagia melihat mereka seperti itu. Tapi aku tidak suka dilarang-larang untuk beraktivitas berlebihan. Aku tidak menjawab apa-apa ketika Lufi memarahiku. Aku takut Lufi tambah emosi. Aku tau dia capek sekali setelah bekerja seharian, di sekolah dan di apotek. Kami tidak sempat ngobrol dengannya sampai larut malam, karena ia butuh istirahat.

Satu bulan yang lalu ada rombongan keluarga datang kerumahku. Rombongan itu datang bermaksud untuk melamar Ine. Aku tidak dapat menghalangi niat baik orang itu. Aku menerimanya, Ine tunangan dengan lelaki yang kupikir cukup alim itu. Ia lulusan dari pesantren yang cukup bagus. Tapi aku kurang mengerti tentang pekerjaannya. Aku yakin ia lelaki yang bertanggung jawab. Minggu depan, tepatnya hari rabu, keluarga kami ingin membalas lamaran lelaki itu. Di desaku tradisi lamaran memang seperti itu. Pertama pihak laki-laki datang ke pihak perempuan, kemudian pihak perempuan datang ke pihak laki-laki, dengan segala jenis kue. Aku senang menyaksikan itu, artinya aku akan mempunyai menantu, keluargaku akan bertambah. Ine juga mencintai laki-laki itu. “mohon doa restunya ayah” lembut Ine setelah rombongan pihak laki-laki pulang.

Mulai hari minggu kami menyicil segala keperluan untuk lamaran, mulai dari kue-kue yang akan di bawa, orang-orang yang akan ikut dan segala perlengkapan yang dibutuhkan. Semua itu diurus oleh Lufi. Lufi memang anak yang sangat bisa diandalkan. Sampai hari Senin pagi segala persiapan sudah mencapai 75%. Kue sudah memesan ke tukang kue, kendaraan sudah bayar DP, tinggal menentukan siapa saja yang ikut dan jam berapa harus berangkat. Untuk menentukan pemberangkatan lamaran harus mencari waktu yang baik. Kami percaya pada hitung-hitungan seperti ini. Ini dilakukan demi lancarnya acara lamaran dan demi nasib baik di masa depan anak-anak. Untuk mencari waktu yang baik, aku percayakan hal ini pada guru ngajiku dulu, ia sudah sangat sepuh namun kepandaiannya dalam mencari waktu baik masih bisa diandalkan. Akhirnya ia menentukan jam berangkat, yaitu rabu, jam 1 siang. Kurasa itu memang yang terbaik, tapi cuaca saat itu sedang musim penghujan, jadi jam 12 samapai jam 4 sore sangat rawan hujan. Sepulang dari tempat guruku, semua keluarga langsung kuberitahu mengenai hasil keputusan jam pemberangkatan. Semua setuju saja, karena semua pihak keluarga juga percaya.

Seperti biasa senin pagi aku masih harus ke sawah untuk mengurusi tanaman yang hampir panen. Mengenai tanaman itu, aku menanam jangung dan lombok. Harga lombok yang tidak stabil kadang memberi keuntungan besar untukku, tapi kadang memeberi kerugian yang cukup besar pula. Kau pasti merasakan juga jika harga lombok mahal, coba saja beli gorengan di warung-warung, pasti warung itu tidak menyediakan lombok gratis untukmu. “lombok mahal mas” ibu atau bapak penjual gorengan pasti bilang seperti itu. Setiap waktu harus kusempatkan untuk melihat tanaman itu, karena banyak hama yang mengganggu. Bahkan monyet-monyetpun sangat sering mencuri jagung-jagung, tapi tidak untuk lombok. Dasar monyet sialan, pikirku.

Masih Senin itu. Sepulang dari sawah aku sedikit merasa pusing, kurebahkan saja badan di ruang tamu. Kupikir aku tertidur lelap, aku tidak tau sedang bermimpi apa. Ketika bangun tubuhku sudah dipenuhi kabel-kabel, dan lenganku tertancap jarum infus. Ya... aku tidur di ruang tamu tapi bangun di rumah sakit. Aku tidak tau apa yang terjadi, mungkin aku berjalan saat tidur dan dalam perjalanan itu aku tertabrak mobil, kemudian seseorang yang baik membawaku kerumah sakit.

Waktu bangun tidur, Lufi sedang solat tepat di sebelah tempat aku berbaring. Ia berada di bawah, seperti sedang menyembahku, tapi tentu tidak. Ia mengerti apa yang harus ia sembah. Dia terlihat khusuk, aku yakin dia mempunyai harapan dan permintaan yang besar pada Tuhannya. Semoga Tuhan mengabulkan segala macam permintaannya.

“bapak sudah bangun?” sambil tersenyum Lufi menyapaku. Selanjutnya ia bercerita banyak tentang bagaimana aku bisa berada di rumah sakit. Katanya aku pingsan di ruang tamu, padahal aku hanya tidur seperti biasanya. Setelah itu ia langsung membawaku kerumah sakit. Dan kau tau, aku pingsan sampai setengah hari, katanya. Selama di rumah sakit aku tidak pernah diperbolehkan untuk merokok, minum kopi, dan pergi kesawah mengusir monyet-monyet itu. Makan pun aku hanya diberi bubur yang sangat tidak enak itu. Aku merasa seperti bayi. Atau orang tua yang sakit parah, padahal aku tidak merasakan sakit apa-apa, hanya saja kadang sesak nafas.

Selasa pagi aku sudah merasa segar, tidak sesak nafas, dan tidak merasakan sakit apapun. Jadi kuputuskan untuk pulang. Tapi kau tau, dengan berbagai alasan dokter melarangku untuk pulang waktu itu. Mungkin dokter itu masih kurang untuk menguras uangku. Kamar yang kutempati sangat mahal, sehari saja aku harus membayar 300 ribu, hampir sama dengan hotel-hotel berbintang. Uang segitu bisa buat makan berhari-hari, atau bisa buat membeli cadangan rokok selama sebulan lebih, bisa juga untuk yang lain-lain, selain hanya untuk tempat berbaring. Aku kalah dalam perdebatan itu, dokter itu bisa menang untuk perdebatan kali ini. Tapi, takkan kubiarkan ia menang pada kesempatan perdebatan lainnya. 1-0 untuk kemenangan dokter itu, tapi ingat, masih ada babak selanjutnya setelah ini. Aku sedikit tidak terima dengan hasil ini, tapi apa daya anak dan istriku tidak ada yang berpihak padaku.

Yang kutau pada hari selasa itu, bahwa aku sudah sangat sehat dan siap untuk mengusir para monyet-monyet di sawah. Satu hal lagi, selasa itu pikiran tentang membalas lamaran yang diterima Ine selalu membayangiku. Aku tidak sabar untuk mengetahui tempat lelaki yang melamar anakku itu. Mereka juga pasti akan sangat bahagia dengan kedatangan kami nantinya. Seharian itu aku hanya bisa membayangkan dan memikirkan hal-hal yang biasanya aku lakukan. Seharian itu berlalu tanpa aku tau bagaimana matahari bergerak dari timur kebarat, aku tidak tau apakah monyet-monyet sedang berpesta memakan tanamanku. Aku yakin monyet-monyet itu pasti bahagia melihat keadaanku–aku tidak bisa mengusiknya lagi memakan jagung-jagung itu. Berbahagialah para monyet, selagi aku masih disini, tapi tunggu besok. Setelah lamaran selesai kita akan bertengkar lagi, kalian pasti kalah karena takut dengan batu-batu yang sering kulemparkan kearahmu.

“sudah magrib pak, aku solat dulu” kata Lufi. Waktu itu aku juga tidak tau kenapa petang sudah berlalu. Selesai Lufi solat, ia membasuh mukaku dengan handuk basah. Padahal kupikir aku bisa melakukan itu sendiri, bahkan aku bisa pergi sendiri ke kamar mandi kemudian berlama-lama di atas kloset sampai sebatang rokok habis. Sebagai bapak yang baik aku tidak akan menolak kebaikan anakku.

Beberapa menit kemudian, sesak nafasku kumat, jantungku berdebar cukup kencang, lebih kencang daripada ketika kau berada di dekat wanita/lelaki kesayanganmu atau ketika kau akan mengutarakan cinta pada wanita/lelaki pujaanmu. Dokter datang, kemudian memberikan suatu sentuhan untukku. Aku kembali tertidur. Aku bermimpi sangat indah, berpetualang kemana-mana, bahkan aku bisa kemana-mana tanpa naik kereta atau naik kendaraan lainnya. Ya...aku bisa terbang seperti peri-peri dalam film Harry Potter atau seperti Peterpan. Aku terbang sangat tinggi, melebihi tingginya Monas, bahkan lebih tinggi daripada impian-impianmu. Aku bisa tidur di atas awan, bermain dengan meteor-meteor, atau menjadi salah satu dari bintang-bintang. Aku bisa melihat semua yang ada di bumi, bahkan aku bisa melihatmu sedang mencari-cari seseorang yang kau suka pada beranda akun facebookmu, sambil sesekali mengintip tulisan ini. Kau tak senang bukan, ketika ada sesuatu yang tak kau sadari sedang memperhatikanmu melakukan sesuatu yang sangat rahasia. Itu dapat kulakukan kali ini, jadi hati-hatilah.

Ketika aku sedang melihat-lihat keadaan di bumi, aku tertarik untuk mendekati kerumunan orang berbaju hitam. Mereka sedang mengelilingi gundukan tanah yang bertabur bunga. Banyak dari mereka yang menangis, entah karena apa. Di lain sisi, monyet-monyet sedang berpesta untuk merayakan suatu yang sangat membahagiakan bagi mereka.

Aku tidak tau apa yang sedang mereka tangisi dan apa yang membuat monyet-monyet itu sangat berbahagia. Semakin dekat aku mendekati kerumunan itu. Aku membaca sebuah tulisan pada kayu yang dibentuk indah tertancap di ujung gundukan tanah itu. “Suarna binti Nejo. Lahir kamis pon, 6 maret 1978, wafat selasa kliwon, 08 september 2014” itulah yang kubaca pada kayu itu. Aku teringat banyak hal setelah membaca itu, aku kembali dari terbang panjangku ke tempat aku terbaring. Di sana sudah tidak ada apa-apa, hanya ruang kosong yang sangat rapi dan wangi. Aku tidak tau kemana aku harus kembali. Seketika aku sadar, nama pada kayu itu mirip sekali dengan namaku. Tidak hanya nama, tanggal itu juga mirip dengan kelahiran dan waktu aku tidur.

Aku kembali terbang mendekati kerumunan orang tadi, tapi tempat itu sudah sepi. Hanya ada tiga orang tersisa. Dua wanita dan satu lelaki, sedang membaca sebuah buku/kitab. Sesekali aku mendengar mereka tersedu-sedu, sambil meneruskan membaca. Aku mencoba duduk tepat di depan mereka, tapi mereka tak menghiraukan keberadaanku, mereka tetap saja terus membaca. Mereka sangat tidak asing bagiku. Ketika selesai membaca syair-syair itu, pandangan mereka tertuju pada tulisan di kayu. Kali ini aku dapat melihat jelas wajah mereka. Mereka adalah anak-anak dan istriku. Aku menyapa mereka, tapi sedikitpun mereka tak menghiraukanku. Bahkan aku mengantarkan mereka pulang ke rumah, namun sama saja, mereka tak lagi menganggapku. Ini merupakan kesedihan yang sangat mendalam, yang tak pernah kurasakan.

Aku tidak bisa berbuat apa-apa lagi bagi mereka, bahkan aku tidak mungkin bisa menemani anakku Ine datang kerumah tunangannya. Memang aku bisa kemanapun yang aku mau, tapi aku tidak bisa berbuat apapun untuk yang aku mau. Entah apa yang harus aku lakukan, jika kau mempunyai saran silahkan sampaikan kepadaku. Tapi jangan dalam tulisan pada kayu yang kau tancapkan di tanah, karena itu awal kesedihanku, lebih sedih dari pada orang-orang berbaju hitam yang membaca syair di atas gundukan.*

_________________________________________________________________________________
Aku hanya mencoba merasakan menjadi jasad tanpa roh. Ia adalah bapak yang baik dan ia adalah temanku yang pergi tanpa pamit padaku. Aku baru tau kepergiannya setelah pulang kekampung halaman dan bertemu Lufi, temanku. Ia menceritakan kisahnya yang cukup memilukan. “aku tidak bisa merasakan apa-apa waktu itu. Aku sangat bersedih kehilangan bapakku, namun dilain sisi aku harus bahagia karena adikku akan tunangan” kata Lufi, tanpa sisa kesedihan. “tapi aku harus ikhlas”. Meninggalnya bapak Lufi karena terkena serangan jantung.

Rabu pagi Lufi dan keluarganya harus memakamkan ayahnya, kemudian siangnya ia harus tetap berangkat untuk membalas lamaran adiknya, Ine. Itu tidak dapat ia batalkan, karena persiapan sudah matang dan pihak laki-laki sudah melakukan berbagai persiapan untuk menyambut keluarga Lufi. Mereka adalah orang-orang hebat dalam versiku. Meskipun nama-nama yang kugunakan bukanlah nama sebenarnya.