Senin, 26 Januari 2015

Ketika Adam dan Hawa Masih Kecil




Oleh : Hudy Majnun


Ketika masih berusia 2,5 tahun, sewajarnya anak kecil, aku suka sekali bermain. Mulai permainan petak umpet, jual-jualan, dan satu yang hanya pernah kumainkan sekali bersama teman-temanku, yaitu nikah-nikahan. Kata “jual-jualan” dengan pengulangan kata, terus ditambahi imbuhan-an, itu mengartikan bahwa kegiatan itu hanya permainan atau pura-pura, meniru kegiatan aslinya.
Aku dan teman-teman di desaku waktu kecil sering bermain jual-jualan dan melakukan transaksi jual beli dengan menggunakan daun sebagai uang. Tapi sayangnya tidak ada transaksi online seperti saat ini. Biasanya yang diperjual belikan adalah sayur-sayuran, buah-buahan, dan sampo sachetan yang kami buat dari pelepah pisang, kemudian kami bentuk kotak-kotak menyerupai sampo asli yang bisa digantung pada tali. Untuk buah-buahan dan sayur-sayuran, kadang kami menggunakan buah dan sayur sungguhan, karena di desaku buah dan sayuran sangat melimpah. Untuk memilikinya kami tak perlu membelinya, banyak buah dan sayur yang tumbuh liar.
Ada yang jadi pembeli, penjual, perampok, masyarkat biasa, dan sebagainya. Semuanya kami atur begitu saja dengan kesepakatan bersama tanpa ada rasa iri. Semuanya terasa seperti kehidupan sesungguhnya, tapi kami lakukan dengan cara yang sederhana, dengan rasa pri-kemanusiaan yang tulus. Tak ada diskriminasi terhadap salah satu teman yang mendapatkan peran sebagai pencuri ataupun peran yang kurang penting dalam permainan. Karena tujuan kami hanyalah bersenang-senang.
Adegan yang paling ku ingat dalam permainan jual-jualan, yaitu ketika aku menjadi seorang pencuri. Setelah selesai mengambil barang curian, aku harus menjatuhkan sebuah benda hingga berbunyi keras. Biasanya aku menjatuhkan piring yang terbuat dari seng, sehingga bila dijatuhkan akan menimbulkan bunyi “klontangg!!!”, seperti itu.  Hal itu dilakukan sebagai tanda bahwa ada pencuri masuk. Agar adegan benar-benar seperti sesungguhnya, aku melakukan itu dengan cara yang baik, yaitu dengan cara pura-pura tidak sengaja menyenggolnya. Itu seperti penjiwaan peran. Kemudian semua warga/teman-teman terkejut dan berusaha mengejarku. Pada akhirnya aku harus tertangkap dan mendapatkan hukuman diikat di sebuah pohon selama beberapa menit.
Adegan seperti itu juga ditiru dari kehidupan masyarakat sekitar, karena kami anak kecil yang sering menjadi saksi sebuah peristiwa dan kami mengulanginya dalam bentuk permainan. Tapi,-dalam kehidupan nyata-tak mungkin seorang pencuri memberikan tanda saat dia sudah mengambil barang. Ini hanya permainan, maka kami membuat tanda seperti itu. Apalagi kami tidak terlalu paham dengan kecurangan atau kelicikan yang banyak dilakukan oleh orang dewasa.
Dalam permainan itu, salah satu dari kami bertindak sebagai layaknya sutradara. Dan aku pernah menjadi sutradara itu. Jadi, aku mengatur teman-temanku untuk menjadi ini dan itu. Sebagai seorang sutradara/pemimpin, aku juga terlibat dalam permainan, namun aku mengambil peran yang sangat mudah dan tidak beresiko. Di akhir permainan, tidak pernah ada kesimpulan dari apa yang kami lakukan. Setelah adegan selesai atau permainan berakhir, semua pulang kerumah masing-masing. Bahkan ada yang harus pulang dengan menangis, karena orang tuanya marah, akibat bermain terlalu lama.
Mungkin permainan seperti ini terlihat keren jika menjadi sebuah film yang dapat ditonton banyak orang. Tapi, sebuah film tak mungkin dapat direncanakan hanya oleh salah satu orang. Permainan anak kecil memang terlihat lucu, tapi itu sebuah karya dari kejujuran dan kepolosan mereka. Kepolosanku juga, dulu.
***
Permainan jual-jualan dan aksi percurian mungkin seperti peristiwa sosial pada umumnya, dan adegan itu sering muncul dalam sebuah film. Selain itu, permainan yang sering aku lakukan bersama teman-teman kecilku dulu adalah permaian Nikah-nikahan. Dalam permainan ini, aku pernah mendapatkan peran menjadi pengantin laki-laki. Aku disandingkan dengan anak perempuan tetanggaku yang dulu sangat cantik-tapi sekarang sudah bersuami. Istiana namanya, dan kami akrab memanggila Iis.  
Aku dan Iis pernah menjalani sebuah ritual-kalau di kehidupan orang dewasa itu ritual yang sangat sakral. Kami berdua menggunakan baju pengantin yang terbuat dari sarung dan aku mengenkannya setengah badan, dengan gulungan di dada. Begitu juga dengan pengantin perempuan. Ketika masih kecil, seorang perempuan memang wajar-wajar saja telanjang bersama dengan anak laki-laki lain, tapi sangat aneh jika itu dilakukan oleh orang dewasa, apalagi ditempat umum.
Kami berdua duduk di sebuah batu, dekat sungai. Teman-teman yang lain mengumpulkan berbagai macam bunga. Kami menunggu sambil menduga-duga apakah yang akan terjadi, aku sedikit merasa deg-deg-an berada dekat Iis. Kami sama sekali tak berbicara apapun saat menunggu. Sampai beberapa saat kemudian teman-teman yang lain datang dengan membawa berbagai macam bunga di tangan.
Bunga-bunga sudah didapatkan, kemudian dikumpulkan menjadi satu dalam sebuah bak kecil dan dicampur dengan air yang diambil dari sungai. Mereka menyirami kami berdua dengan bunga itu, istilahnya mandi kembang. Air yang bercampur bunga terasa mulai menjalari tubuh, dari ujung kepala melewati mata, hidung, mulut, dan terus sampai ke sela-sela pahaku. Sesekali serpihan bunga hinggap di bibiku, aku mengigitnya, kemudian menyemburkan pada teman yang berada di depanku.
Setelah ritual selesai, aku dan Iis dinyatakan sah menjadi suami-istri. Ritual mandi bunga/kembang selesai, maka permainan juga dianggap berakhir. Dan aku tidak pernah berpikir bahwa permainan akan berlanjut sampai adegan malam pertama. Tapi ternyata teman-teman yang lain sudah menyediakan tempat, agar aku bisa berdua dengan Iis. Permainan terus berlanjut.
 Tempat itu cukup tertutup, seperti sebuah kotak berukuran 1x2m yang tertutup dengan kain berwarna putih. Kami berdua disuruh masuk ke dalam kotak. Teman-teman memperingatkanku agar tidak berbuat aneh-aneh. Iis menurut saja apa mau teman-teman. Ia memang lugu. Kami masuk dan hanya terdiam. Ia menunduk sepanjang di dalam kotak. “ayo, gerak-gerakkan kainnya biar terlihat seperti pengantin malam pertama” kata teman-teman yang berdiri di luar kotak. Aku pun menggerak-gerakkan kain itu, dan teman-temanku bersorak “yeee”. Setelah itu selesai, mereka menyuruh kami keluar.
Aku dan Iis masih mengenakan sarung setengah badan yang basah akibat siraman tadi. Aku melihat Iis seperti kedinginan karena sarungnya yang ia kenakan basah. Pikiranku kemana-mana melihat wajahnya yang cantik, dengan rambut panjang yang terurai basah. Tangannya masih setia menempal pada pahanya dengan telapak di bawah, begitu juga dengan tanganku. Sesekali tanganku bergerak seperti orang sedang memaikan piano dengan mahir. Beberapa saat kemudian, entah apa yang melintas di pikiranku. Tiba-tiba aku tergerak mendekati wajahnya. Seperti ada sebuah dorongan dari belakang yang membuatku mencium pipi Iis. Astaga, rasanya seperti mencium kain sutra yang begitu halus. Ketidaksengajaan yang berlangsung satu detik itu tak membuat Iis mengubah posisinya, ia tetap terdiam.
Setelah itu, aku keluar lebih dulu, seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Kotak mereka bongkar, kain diturunkan. Aku sangat terkejut setelah kain diturunkan oleh teman-temanku. Iis tiba-tiba menangis dengan keras, seperti orang yang kehilangan barang berharganya. Keempat temanku mencoba menenangkannya dengan mengiming-imingi setangkai mawar sisa, tapi sia-sia.
Beberapa saat kemudian ibunya datang, “Iis kenapa ?, kalian apakan Iis?” tanya ibu Iis dengan nada meninggi. Semua temanku terdiam, tidak ada yang berani menjawab pertanyaannya, termasuk aku. Iis digendong ibunya. Tangis pun mulai mereda, dan ia kembali terdiam dalam dekapan hangat ibunya.
Teman-teman menatapku dengan perasaan curiga, seolah-olah akulah yang bersalah. Telah menyebabkan pengantin perempuan menangis.
“Kau apakan Iis, Ir ?” tanya salah seoran temanku.
“Tidak ada” jawabku.
Alaah... mana ada maling ngaku” ucapnya. “kamu sudah melanggar aturan” imbuhnya. Aku diam.
Beberapa saat kemudian teman-temanku mulai beranjak pergi. Iis pergi, dan teman-temanku juga pergi. Dengan wajah kusam, seolah mereka benci padaku. Teman-teman menganggapku telah menyalahi aturan yang sudah mereka buat. Aku tidak mungkin menjelaskan bahwa ada sesuatu yang mengdorong dari belakang, hingga mukaku mengenai pipi Iis. Rasanya itu penjelasan konyol.
Baru saja masa indah aku lalui, tapi sebentar kemudian berubah malapetaka. Aku merasa seperti dibuang dari surga. Hanya gara-gara sebuah kesalahan kecil aku tercampakkan. Sedih. Aku tak bisa menahan tangis. Aku merenung seraya mengusap air mata di bawah pohon dekat batu pelaminan. Tersedu-sedu. Sesekali aku mendengar kicauan burung di atasku, mereka seperti sedang menertawakanku.
Aku tidak tau apa itu sebuah larangan, peraturan, dan sebuah dosa. Aku hanya seorang anak kecil berusia 2,5 tahun. Aku tidak tau, kenapa aku dianggap bersalah hanya karena mencium pipinya di dalam surga kotak kecil. Kemudian mereka mencampakkanku seperti pendosa besar. Padahal, tanpa sehelai benang pun yang menutupi tubuh adalah hal yang wajar bagi anak kecil. Bagaimana mungkin aku menerima hukuman ini, hanya gara-gara mencium pipi Iis. Aku harus menerima dosa, bahkan menurunkan dosa-dosa itu pada keturunanku nanti. Rasanya, permainan ini tidak adil untukku, mereka tak pernah ingin mengerti dengan kesalahanku yang sederhana.
 Teman-teman tak pernah mengerti. Mereka hanya menganggap akulah yang bersalah, tapi tak pernah bertanya mengapa atau kenapa. Berikut juga orang tuaku. Mereka hanya menasehatiku, tanpa pernah memikirkan penjelasanku, bahwa mencium pipi perempuan kecil adalah hal yang wajar.
Jika Adam dan Hawa harus dibuang dari Surga Tuhan karena memakan buah terlarang. Maka aku harus terbuang dari surga kotak hanya karena mencium pipi Iis. Aku tidak tau bagaimana Adam dan Hawa melakukan kesalahan itu, mungkin mereka juga sama sepertiku. Mungkin mereka juga anak kecil, menganggap semua yang dilakukan adalah wajar. Apalagi hanya memakan buah terlarang, daun pun bisa saja dimakan oleh anak kecil, karena ia tidak tau apa itu larangan atau peraturan.
Tapi, untungnya aku mempunyai ayah dan ibu, yang memberitahu apa yang boleh dimakan dan apa yang tidak boleh. Tapi, Adam dan Hawa, apakah mereka punya orang tua sepertiku ?!. Atau mungkin mereka diciptakan Tuhan langsung menjadi manusia dewasa. Meskipun, ada teori mengatakan, bahwa manusia adalah evolusi dari kera/monyet. Apa dulunya Adam dan Hawa adalah monyet ?... Sudahlah..! Apapun dan bagaimanapun mereka, banyak yang percaya bahwa kita adalah keturunannya.
***
Cukup lama aku manangis di bawah pohon dekat surga batu pelaminan, sendirian, hingga tenggorakanku terasa kering. Kemudian ibuku datang, ia menggendongku dan membawaku pulang. Di perjalanan aku masih tersedu-sedu menangis, ibu membuka kancing bajunya, menyodorkan puting susunya yang hitam padaku. Aku diam sambil menghisapnya. Ibu sepertinya sudah tau dengan apa yang terjadi, jadi ia tak mengatakan banyak hal padaku. Ia hanya berkata, “jangan pernah bermain seperti itu lagi, kau masih kecil”.
 Nasehat ibu aku turuti. Setelah kejadian itu, aku tidak lagi bermain permainan seperti itu. Bahkan sampai sekarang, ketika mulai dewasa, aku masih sangat takut untuk mencoba permainan seperti itu lagi. Kurasa, dunia sudah tak seindah surga masa kecil, jadi aku tidak mau melanggar apa yang dikatakan ibu.
Aku tidak mau terbuang pada kehidupan yang lebih kejam dari ini. Apalagi ketika SD aku sering disuguhi buku-buku siksa neraka, yang dijual oleh pedangan keliling. Mereka biasanya selalu ada di pinggir jalan ketika jam istirahat sekolah. Katanya, orang-orang yang masuk neraka adalah orang-orang yang melanggar peraturan, dan mereka berdosa. Mungkin, aku akan masuk neraka karena telah melanggar peraturan yang dibuat teman-temanku, dan aku tidak bisa menikmati surga kotak itu lagi. []


2 komentar:

  1. Cerpen kk bagus. aku baca dr awal sampe akhir.
    Bnr ngga klo psn dr cerpen ini kita tdk boleh melanggar peraturan? klo melanggar akan jd orng yg terbuang...

    BalasHapus
  2. boleh diartikan seperti apa saja, benar juga menurutmu...

    BalasHapus