Dia suka berdandan layaknya selebritis, di
kamarnya penuh dengan alat make up, mulai dari merk abal-abal sampai merk
terkenal. Setiap matahari terbenam dia selalu terbit layaknya bulan. Hidupnya
selalu bersebrangan dengan matahari. Mungkin dia hidup dengan cara kelelawar,
berkeliaran dan mencari makan setiap hari mulai gelap dan pulang kembali
setelah perut kenyang. Tapi jangan bayangkan bahwa dia adalah BatMan, dia hanya
laki-laki biasa yang usianya sudah setengah baya. Dia tetap sendiriandi rumah
tua itu, tanpa seorang anak ataupun seorang istri. Aku tak dapat menyalahkan
siapapun, dia menjadi seperti ini, dia hanya menjalani takdirnya.
Suatu malam, ketika aku sedang berada di
warung kaki lima, aku bertemu dengannya, dia datang dan menyanyikan lagu dengan
suaranya yang cukup merdu. Semerdu kicauan burung malam. Namun, tak sekalipun
matanya tertuju padaku yang selalu memperhatikannya. Orang-orang yang
mendengarkan menjadi kepayang menikmati suara merdunya. Suaranya kadang seperti
raja dangdut dan kadang seperti ratu dangdut. Suara kendaraan yang berlalu
lalang tak dapat mengubur suaranya yang nyaring. Dia menyanyikan lagu lama
milik Rhoma Irama, yang berjudul “gelandangan”. Yang paling aku ingat dari
lirik lagu itu adalah Langit sebagai atap
rumahku dan bumi sebagai lantainya. Lagu itu cukup terkenal pada masanya
dan sampai sekarang masih menjadi lagu favorit dari golongan tertentu. Suaranya
tidak hanya merdu, tapi ia bisa menyanyikan lagu duet laki-laki dan perempuan
seorang diri. Itu merupakan kelebihannya.
Menjadi seperti ini memang hal yang sangat
sulit bagi Reni, tak jarang ia mendapat cacian dari orang. Tapi, di lain sisi
hal ini merupakan pilihan yang ia tentukan ketika masih berumur empat bulan. Semuanya
berawal dari sebuah kelahiran yang harus ia lewati. 30 tahun yang lalu ia
terlahir dari keluarga yang biasa-biasa saja, tak kurang tak lebih. Ibunya
mempunyai warung makan dan ayahnya pegawai koperasi simpan pinjam. Sehari-hari
pasangan ini selalu disibukkan oleh pekerjaannya. Selain itu si istri juga
sudah disibukkan oleh kedua anak laki-lakinya. Sebelum Reni lahir, ibunya sudah
mempunyai 2 orang anak. Anak pertama umur 8 tahun, anak kedua masih berumur 1,5
tahun.
Suatu hari ibu Reni sakit dan datang ke dokter
terdekat. Ternyata dokter itu menyatakan bahwa ia hamil dan sudah berusia 4
bulan. Ibu Reni tak pernah berharap untuk hamil lagi, karena 2 anak sudah cukup
merepotkannya. Selain itu, ia juga ikut program KB “dua anak cukup”.
“syukuri saja ma, ini rejeki kita” kata
suaminya.
“iya pa, aku hanya tak menduga. Padalah aku
sudah ikut KB, jadi aku tidak khawatir kita bercinta setiap malam. Memang
beberapa bulan ini aku tidak datang bulan, kupikir itu efek pil KB”
“yasudahlah, semoga saja anak kita kali ini
perempuan”
“iya pa, amin”
Beberapa bulan kemudian anak itu lahir, tapi
harapan pasangan ini untuk memiliki anak perempuan harus pupus. Anak yang lahir
itu berjenis kelamin laki-laki. Bayi itu di beri nama “Jusuf Ihsan”. Mereka tak
dapat merubah takdir Tuhan. Mau tidak mau mereka harus menerima itu dengan
ikhlas, mereka juga tidak melupakan pepatah lama,bahwa banyak anak banyak
rejeki. Pepatah itu juga terbukti pada kehidupan suaminya, setelah sebulan
kelhiran Ihsan, suaminya berhenti bekerja dan diterima di perusahaan yang lebih
besar, gajinya 2x lipat dari sebelumnya, meskipun perusahaannya sama-sama di
bidang simpan pinjam.
Ketika umur 2 bulan ihsan harus menjalani sebuah
ritual, yaitu selapan, itu istilah
jawa, aku juga tidak mengerti artinya. Tradisi ini dilakukan agar anak bisa
menjadi orang yang berbakti. Ihsan digendong oleh ayahnya, kemudian dibawa
berkeliling ke orang-orang yang berdiri sambil bersolawat. Setiap orang diberi
kesempatan untuk membasuh kening Ihsan dengan air yang dicampur dengan
bunga-bunga. Dan untuk orang yang memimpin upacara, diberi hak untuk memotong
sedikit dari rambut Ihsan.
Setelah itu masih ada ritual lain. Ketika umur
5 bulan Ihsan harus menjalani ritual Turun
Tanah, istilah kerennya Landing, yang
keren lagi nyabek katana (madura).
Hal ini merupakan tahap dimana ia sudah diperbolehkan untuk menyentuh tanah.
Seorang anak akan dibiarkan berbuat apa saja di tanah, sebelum itu kaki bayi
harus menginjak tajen yang sudah
disediakan dan sudah didoakan. Setelah itu ia dihadapkan pada pilihan yang
telah ditentukan ibunya. Ihsan didudukkan, kemudian di depannya disediakan
tempat yang berisi berbagai macam benda, mulai dari alat tulis, alat make up,
dan sebagainya, sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh orang tuanya. Orang tua
Ihsan percaya pada ritual ini, bahwa barang apa yang ia ambil kelak akan
menjadi profesinya. Kalau ia mengambil alat tulis, mereka percaya ia akan
menjadi ilmuan atau penulis dan kalau mengambil alat make up, ia akan menjadi
perias pengantin atau tukang make up terkenal. Begitulah
kepercayaan-kepercayaan yang tertanam pada orang tua Ihsan, tidak hanya orang
tua Ihsan saja, tapi masih banyak masyarakat yang percaya pada ritual seperti
ini. Ini juga merupakan budaya asli di wilayah bagian Indonesia.
Waktu itu Ihsan diarahkan untuk mengambil alat
make up oleh ibunya, tapi ayahnya mengarahkan untuk mengambil alat tulis. “ayo
Ihsan ambil cermin” kata ibunya. “ayo ihsan ambil bolpoin” kata ayahnya.
Meskipun Ihsan belum bisa berbicara apa-apa, aku yakin ia mengerti maksud orang
tuanya, dan aku yakin Ihsan akan kebigungan. Pada akhirnya Ihsan mengambil
barang yang paling dekat dengannya, ia mengambil sisir. Setelah ia memegang
sisir itu ritual dinyatakan selesai. Ada yang kecewa ia mengambil sisir, tapi
ada juga orang yang tetap bersorak ceria melihat Ihsan sudah berhasil mengambil
salah satu barang. “semoga itu yang terbaik untukmu anakku” kata ayah Ihsan. Hal
itu seperti penentuan takdirnya kelak, padahal Ihsan yang masih kecil tak mampu
berpikir apa-apa tentang apapun yang akan ia ambil. Kalau ia bisa berpikir
layaknya orang dewasa pasti ia akan mengambil sesuatu yang akan memebuat masa
depannya enak. Begitu pula diriku, aku akan mengambil sebuah benda yang bisa
membuatku kaya raya tanpa bekerja. Sayangnya saat umur segitu aku tak dapat
berpikir apa-apa. Dulu waktu aku mengalami ritual itu aku hanya mengambil
sebuah gunting, aku tidak tau bagaimana menerjemahkan gunting itu di
kehidupanku saat ini. Coba tanyakan pada orang tuamu, kau dulu mengambil apa,
jika pernah mengalami ritual seperti itu. Lalu tafsirkan pada kehidupanmu saat
ini, mungkin saja dulu kau mengambil pisau, hingga sekarang kau jadi seorang
pembunuh atau tukang kupas singkong.
Ketika Ihsan mulai masuk SMP, ia lebih sering
berkumpul dengan kaum hawa dari pada kaum adam. Lambat laun Ihsan menyukai
hal-hal yang berhubungan dengan wanita, bermain boneka misalnya. Sifatnya sedikit
demi sedikit terlihat seperti orang kesurupan Syahrini. Ia mulai suka
bernyanyi, dan sering menghabiskan waktu di rumah temannya yang mempunyai sound
untuk karaokean.
Di sisi lain, teman-teman sekolahnya sering
mengucilkannya, Ihsan tak bisa berbuat apa-apa selain menangis dan mengadukan
perbuatan itu kepada ibunya. Ia sering pulang dengan menangis, “ibukk, mereka
godain Ihsan lagi” itu yang sering ia ucapkan ketika masuk kerumah sambil mengucek-ucek matanya dengan tangan. Orang
tuanya tak terlalu memperhatikan pergaulannya di luar rumah. Di rumah pun hanya
bisa berkumpul pada hari minggu dan hari libur lainnya saja. Hal itu berlanjut
sampai Ihsan masuk di SMA, tapi kecengengannya semakin berkurang dan jarang.
Ketika Ihsan kelas 2 SMA, ia mengalami nasib
buruk. Ayahnya mengalami kecelakaan saat bekerja dan kecelakaan itu merenggut
nyawa ayahnya. Hal ini membuat semua anggota keluarga terpukul. Terutama
ibunya, yang harus menanggung tanggungjawab lebih berat setelah ditinggal
suaminya. Ibu Ihsan harus semakin kerja keras untuk membiayai anak-anaknya.
Namun untung, kedua kakak Ihsan sudah mempunyai pekerjaan meskipun
penghasilannya pas-pasan. Kedua kakaknya juga telah berkeluarga dan jarang
sekali pulang kerumahnya. Jadi, di rumah itu hanya tinggal Ihsan dan Ibunya.
Ketika ayahnya meninggal, Ihsan tinggal berdua
dengan ibunya. Ihsan semakin bebas bergaul, dan kecengengannya sudah sembuh.
Mungkin itu hikmah ketika ayahnya meninggal. Tapi, ia tetap kesurupan Syahrini.
Sejak saat itu Ihsan sering pulang larut malam, dan pernah tidak pulang
beberapa hari. Ibunya masih mengkhawatirkannya. Suatu hari ibunya memarahinya
“kemana saja kau ini, anak tak tau diri. Tugasmu hanya belajar, jangan berbuat
aneh-aneh, ibu capek”. Ihsan hanya terdiam. Ia menjadi sedikit pendiam setelah
ayahnya pergi, mungkin ia mengalami trauma atau kesedihan yang berlarut-larut. Semanjak
itu pula sifat ibunya semakin keras kepada Ihsan dan kedua kakaknya. Oleh sebab
itu kedua kakaknya memilih keluar dari rumah dan tinggal di rumah istri mereka
masing-masing. Ihsan tak punya pilihan lain selain tetap tinggal bersama
ibunya. Ibunya juga semakin tua, tak mungkin Ihsan meninggalkannya. Kedua
kakaknya pun kurang peduli, hanya sesekali datang menjenguk Ihsan dan ibunya.
Ihsan berhenti ketika ia sudah kelas 3 SMA,
ibunya tak mampu membiayainya dan nilai Ihsan juga sangat buruk, jadi tidak
salah ia memutuskan untuk berhenti sekolah. Sejak saat itu Ihsan berusaha
membantu ibunya berjualan dan bekerja apa saja untuk mendapatkan uang. Selama
beberapa tahun Ihsan bekerja apa saja, mulai menjadi kuli, penjaga toko, tukang
cuci, dan sebagainya. Tetapi Ihsan tidak pernah betah dengan tempat kerjanya,
karena teman-teman kerjanya selalu menggodanya. Ihsan tidak tahan dengan hal
itu dan ia memutuskan untuk keluar dari tempat kerjanya. Karena kesurupan
Syahrini tak kunjung sembuh, teman-teman kerjanya tak tahan untuk tidak menggodanya.
Meskipun mereka hanya bercanda, namun Ihsan merasa tersinggung. Itu karena ia
hanya manusia, bukan nabi.
Setelah menjadi tukang cuci sebuah restaurant,
Ihsan memutuskan untuk tidak bekerja lagi, ia lebih memilih menjaga warung
milik ibunya. Sejak saat itu Ihsan tak pernah keluar saat siang, tapi ia keluar
pada malam hari. Ibunya semakin tua dan sering sakit, ia harus mencari uang
tambahan untuk mengobati ibunya. Akhirnya ia bertemu dengan orang-orang yang sama-sama
kesurupan. Itu membuatnya menemukan dunianya. Awalnya ia hanya kenal dengan
Mila, lama kelamaan Ihsan diajak bergabung dengan kelompoknya. Ihsan mulai
belajar cara berdandan layaknya perempuan. Tapi ia berdandan bukan hanya untuk
merias wajahnya, tapi untuk mencari uang. Ada beberapa dari kelompoknya yang
mencari uang dengan melayani laki-laki hidung belang, namun Ihsan tak memilih
jalan itu. “kau mau pegang mic atau
hisap mic ?” kata Mila. Meskipun itu
istilah yang baru Ihsan dengar, ia langsung mengerti apa maksudnya. Tapi kau
paham ngak ?. Ia memilih menjual suaranya saja, ia ngamen ke warung-warung
pinggir jalan dan rumah-rumah. Tak ada yang harus ia keluhkan, ia merasa nyaman
dengan pekerjaan ini. Tak adalagi yang menggodanya saat bekerja. Godaan yang
datang kali ini adalah sesekali dari orang-orang yang mendengarkan ia
bernyanyi, tapi hal itu tak membuatnya tersinggung. Ia lebih senang digoda
orang saat benar-benar berdandan menjadi perempuan. Ibunya tak pernah tau apa
yang dilakukan Ihsan di luar rumah, saat pulang Ihsan menjadi anak seperti
biasanya, meskipun sifatnya tetap seperti kesurupan.
Suatu hari ibunya sakit keras, Ihsan sudah
mengobatinya semaksimal mungkin, sudah berbagai orang pintar ia datangi, namun
Tuhan menakdirkan lain. Ibunya harus berpulang, dan saat itu ia baru bisa
berkumpul dengan kakak-kakaknya. Mungkin itu hikmahnya. Ia tak berbicara banyak
walaupun kakaknya menayakan penyebab kematian ibunya. “kalian seperti pemburu
gosip, tidak mau terlibat tapi ingin tau banyak” ucap Ihsan kepada kedua
kakaknya.
Semenjak ibunya meninggal Ihsan tinggal
sendirian, kakak-kakaknya kembali ke dunia mereka masing-masing. Warungnya
terpaksa ditutup, karena yang membuat warung itu tetap buka adalah masakan
ibunya. Ia fokus pada profesinya yang baru, teman-tamannya sangat mengerti
perasaan Ihsan. Namun perasaan Ihsan biasa-biasa saja. “aku ikhlas kok, kalian
tak perlu khawatir. Ini hanya kehidupan, mari kita bermain lagi untuk kehidupan
ini” ucap Ihsan kepada teman-temannya. Sejak saat itu teman-temannya memberi ia
nama Reni, sebagai nama resmi dalam kelompok itu. Bertahun-tahun Reni menjalani
profesi menjadi pengamen. Orang-orang hanya mengenal nama Reni, nama Ihsan
seolah-olah mati bersama ibunya.
Ia menyanyikan lagu ”Gelandangan” itu sampai
selesai, kemudian aku memberikannya uang 5 ribu rupiah, sebagai tanda
terimakasih telah menghiburku sampai selesai makan dan sebagai tanda maafku
padanya. Reni sebenarnya sangat mengenalku, bahkan sangat kenal dekat dulunya
denganku. Aku sangat merasa bersalah melihatnya seperti saat ini, tapi aku
tidak bisa berbuat apa-apa, itu adalah pilihannya. Mungkin bukan sekedar
pilihan yang ia tentukan begitu saja, karena saat umur 4 bulan ia telah
menentukan pilihan itu. Pada ritual itu, ia memilih sisir dari pada yang lain.
Sisir bisa mengartikan banyak hal, bahkan pilihannya saat ini tidak jauh dari
sisir. Ia suka berdandan dan menyisir rambutnya yang mulai panjang. Aku
menyesal tak pernah memperdulikannya sejak dulu, kini ia harus menjalani takdir
seperti ini hanya gara-gara sebuah sisir yang ia pilih ketika umur 4 bulan.
Berulang kali aku membujuknya untuk tinggal bersamaku, tapi itu tak sedikitpun
mengubah pendiriannya. Maafkan aku Ihsan, aku merasa menjadi kakak yang gagal
untukmu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar