Rabu, 07 Januari 2015

Sebuah Sisir Untuk Adikku



                                                                             Oleh : Hudy Majnun
 
Dia suka berdandan layaknya selebritis, di kamarnya penuh dengan alat make up, mulai dari merk abal-abal sampai merk terkenal. Setiap matahari terbenam dia selalu terbit layaknya bulan. Hidupnya selalu bersebrangan dengan matahari. Mungkin dia hidup dengan cara kelelawar, berkeliaran dan mencari makan setiap hari mulai gelap dan pulang kembali setelah perut kenyang. Tapi jangan bayangkan bahwa dia adalah BatMan, dia hanya laki-laki biasa yang usianya sudah setengah baya. Dia tetap sendiriandi rumah tua itu, tanpa seorang anak ataupun seorang istri. Aku tak dapat menyalahkan siapapun, dia menjadi seperti ini, dia hanya menjalani takdirnya.

Suatu malam, ketika aku sedang berada di warung kaki lima, aku bertemu dengannya, dia datang dan menyanyikan lagu dengan suaranya yang cukup merdu. Semerdu kicauan burung malam. Namun, tak sekalipun matanya tertuju padaku yang selalu memperhatikannya. Orang-orang yang mendengarkan menjadi kepayang menikmati suara merdunya. Suaranya kadang seperti raja dangdut dan kadang seperti ratu dangdut. Suara kendaraan yang berlalu lalang tak dapat mengubur suaranya yang nyaring. Dia menyanyikan lagu lama milik Rhoma Irama, yang berjudul “gelandangan”. Yang paling aku ingat dari lirik lagu itu adalah Langit sebagai atap rumahku dan bumi sebagai lantainya. Lagu itu cukup terkenal pada masanya dan sampai sekarang masih menjadi lagu favorit dari golongan tertentu. Suaranya tidak hanya merdu, tapi ia bisa menyanyikan lagu duet laki-laki dan perempuan seorang diri. Itu merupakan kelebihannya.  

Menjadi seperti ini memang hal yang sangat sulit bagi Reni, tak jarang ia mendapat cacian dari orang. Tapi, di lain sisi hal ini merupakan pilihan yang ia tentukan ketika masih berumur empat bulan. Semuanya berawal dari sebuah kelahiran yang harus ia lewati. 30 tahun yang lalu ia terlahir dari keluarga yang biasa-biasa saja, tak kurang tak lebih. Ibunya mempunyai warung makan dan ayahnya pegawai koperasi simpan pinjam. Sehari-hari pasangan ini selalu disibukkan oleh pekerjaannya. Selain itu si istri juga sudah disibukkan oleh kedua anak laki-lakinya. Sebelum Reni lahir, ibunya sudah mempunyai 2 orang anak. Anak pertama umur 8 tahun, anak kedua masih berumur 1,5 tahun.

Suatu hari ibu Reni sakit dan datang ke dokter terdekat. Ternyata dokter itu menyatakan bahwa ia hamil dan sudah berusia 4 bulan. Ibu Reni tak pernah berharap untuk hamil lagi, karena 2 anak sudah cukup merepotkannya. Selain itu, ia juga ikut program KB “dua anak cukup”.

“syukuri saja ma, ini rejeki kita” kata suaminya. 
“iya pa, aku hanya tak menduga. Padalah aku sudah ikut KB, jadi aku tidak khawatir kita bercinta setiap malam. Memang beberapa bulan ini aku tidak datang bulan, kupikir itu efek pil KB”
“yasudahlah, semoga saja anak kita kali ini perempuan”
“iya pa, amin”

Beberapa bulan kemudian anak itu lahir, tapi harapan pasangan ini untuk memiliki anak perempuan harus pupus. Anak yang lahir itu berjenis kelamin laki-laki. Bayi itu di beri nama “Jusuf Ihsan”. Mereka tak dapat merubah takdir Tuhan. Mau tidak mau mereka harus menerima itu dengan ikhlas, mereka juga tidak melupakan pepatah lama,bahwa banyak anak banyak rejeki. Pepatah itu juga terbukti pada kehidupan suaminya, setelah sebulan kelhiran Ihsan, suaminya berhenti bekerja dan diterima di perusahaan yang lebih besar, gajinya 2x lipat dari sebelumnya, meskipun perusahaannya sama-sama di bidang simpan pinjam.

Ketika umur 2 bulan ihsan harus menjalani sebuah ritual, yaitu selapan, itu istilah jawa, aku juga tidak mengerti artinya. Tradisi ini dilakukan agar anak bisa menjadi orang yang berbakti. Ihsan digendong oleh ayahnya, kemudian dibawa berkeliling ke orang-orang yang berdiri sambil bersolawat. Setiap orang diberi kesempatan untuk membasuh kening Ihsan dengan air yang dicampur dengan bunga-bunga. Dan untuk orang yang memimpin upacara, diberi hak untuk memotong sedikit dari rambut Ihsan.

Setelah itu masih ada ritual lain. Ketika umur 5 bulan Ihsan harus menjalani ritual Turun Tanah, istilah kerennya Landing, yang keren lagi nyabek katana (madura). Hal ini merupakan tahap dimana ia sudah diperbolehkan untuk menyentuh tanah. Seorang anak akan dibiarkan berbuat apa saja di tanah, sebelum itu kaki bayi harus menginjak tajen yang sudah disediakan dan sudah didoakan. Setelah itu ia dihadapkan pada pilihan yang telah ditentukan ibunya. Ihsan didudukkan, kemudian di depannya disediakan tempat yang berisi berbagai macam benda, mulai dari alat tulis, alat make up, dan sebagainya, sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh orang tuanya. Orang tua Ihsan percaya pada ritual ini, bahwa barang apa yang ia ambil kelak akan menjadi profesinya. Kalau ia mengambil alat tulis, mereka percaya ia akan menjadi ilmuan atau penulis dan kalau mengambil alat make up, ia akan menjadi perias pengantin atau tukang make up terkenal. Begitulah kepercayaan-kepercayaan yang tertanam pada orang tua Ihsan, tidak hanya orang tua Ihsan saja, tapi masih banyak masyarakat yang percaya pada ritual seperti ini. Ini juga merupakan budaya asli di wilayah bagian Indonesia.

Waktu itu Ihsan diarahkan untuk mengambil alat make up oleh ibunya, tapi ayahnya mengarahkan untuk mengambil alat tulis. “ayo Ihsan ambil cermin” kata ibunya. “ayo ihsan ambil bolpoin” kata ayahnya. Meskipun Ihsan belum bisa berbicara apa-apa, aku yakin ia mengerti maksud orang tuanya, dan aku yakin Ihsan akan kebigungan. Pada akhirnya Ihsan mengambil barang yang paling dekat dengannya, ia mengambil sisir. Setelah ia memegang sisir itu ritual dinyatakan selesai. Ada yang kecewa ia mengambil sisir, tapi ada juga orang yang tetap bersorak ceria melihat Ihsan sudah berhasil mengambil salah satu barang. “semoga itu yang terbaik untukmu anakku” kata ayah Ihsan. Hal itu seperti penentuan takdirnya kelak, padahal Ihsan yang masih kecil tak mampu berpikir apa-apa tentang apapun yang akan ia ambil. Kalau ia bisa berpikir layaknya orang dewasa pasti ia akan mengambil sesuatu yang akan memebuat masa depannya enak. Begitu pula diriku, aku akan mengambil sebuah benda yang bisa membuatku kaya raya tanpa bekerja. Sayangnya saat umur segitu aku tak dapat berpikir apa-apa. Dulu waktu aku mengalami ritual itu aku hanya mengambil sebuah gunting, aku tidak tau bagaimana menerjemahkan gunting itu di kehidupanku saat ini. Coba tanyakan pada orang tuamu, kau dulu mengambil apa, jika pernah mengalami ritual seperti itu. Lalu tafsirkan pada kehidupanmu saat ini, mungkin saja dulu kau mengambil pisau, hingga sekarang kau jadi seorang pembunuh atau tukang kupas singkong.

Ketika Ihsan mulai masuk SMP, ia lebih sering berkumpul dengan kaum hawa dari pada kaum adam. Lambat laun Ihsan menyukai hal-hal yang berhubungan dengan wanita, bermain boneka misalnya. Sifatnya sedikit demi sedikit terlihat seperti orang kesurupan Syahrini. Ia mulai suka bernyanyi, dan sering menghabiskan waktu di rumah temannya yang mempunyai sound untuk karaokean. 

Di sisi lain, teman-teman sekolahnya sering mengucilkannya, Ihsan tak bisa berbuat apa-apa selain menangis dan mengadukan perbuatan itu kepada ibunya. Ia sering pulang dengan menangis, “ibukk, mereka godain Ihsan lagi” itu yang sering ia ucapkan ketika masuk kerumah sambil mengucek-ucek matanya dengan tangan. Orang tuanya tak terlalu memperhatikan pergaulannya di luar rumah. Di rumah pun hanya bisa berkumpul pada hari minggu dan hari libur lainnya saja. Hal itu berlanjut sampai Ihsan masuk di SMA, tapi kecengengannya semakin berkurang dan jarang.

Ketika Ihsan kelas 2 SMA, ia mengalami nasib buruk. Ayahnya mengalami kecelakaan saat bekerja dan kecelakaan itu merenggut nyawa ayahnya. Hal ini membuat semua anggota keluarga terpukul. Terutama ibunya, yang harus menanggung tanggungjawab lebih berat setelah ditinggal suaminya. Ibu Ihsan harus semakin kerja keras untuk membiayai anak-anaknya. Namun untung, kedua kakak Ihsan sudah mempunyai pekerjaan meskipun penghasilannya pas-pasan. Kedua kakaknya juga telah berkeluarga dan jarang sekali pulang kerumahnya. Jadi, di rumah itu hanya tinggal Ihsan dan Ibunya.

Ketika ayahnya meninggal, Ihsan tinggal berdua dengan ibunya. Ihsan semakin bebas bergaul, dan kecengengannya sudah sembuh. Mungkin itu hikmah ketika ayahnya meninggal. Tapi, ia tetap kesurupan Syahrini. Sejak saat itu Ihsan sering pulang larut malam, dan pernah tidak pulang beberapa hari. Ibunya masih mengkhawatirkannya. Suatu hari ibunya memarahinya “kemana saja kau ini, anak tak tau diri. Tugasmu hanya belajar, jangan berbuat aneh-aneh, ibu capek”. Ihsan hanya terdiam. Ia menjadi sedikit pendiam setelah ayahnya pergi, mungkin ia mengalami trauma atau kesedihan yang berlarut-larut. Semanjak itu pula sifat ibunya semakin keras kepada Ihsan dan kedua kakaknya. Oleh sebab itu kedua kakaknya memilih keluar dari rumah dan tinggal di rumah istri mereka masing-masing. Ihsan tak punya pilihan lain selain tetap tinggal bersama ibunya. Ibunya juga semakin tua, tak mungkin Ihsan meninggalkannya. Kedua kakaknya pun kurang peduli, hanya sesekali datang menjenguk Ihsan dan ibunya.

Ihsan berhenti ketika ia sudah kelas 3 SMA, ibunya tak mampu membiayainya dan nilai Ihsan juga sangat buruk, jadi tidak salah ia memutuskan untuk berhenti sekolah. Sejak saat itu Ihsan berusaha membantu ibunya berjualan dan bekerja apa saja untuk mendapatkan uang. Selama beberapa tahun Ihsan bekerja apa saja, mulai menjadi kuli, penjaga toko, tukang cuci, dan sebagainya. Tetapi Ihsan tidak pernah betah dengan tempat kerjanya, karena teman-teman kerjanya selalu menggodanya. Ihsan tidak tahan dengan hal itu dan ia memutuskan untuk keluar dari tempat kerjanya. Karena kesurupan Syahrini tak kunjung sembuh, teman-teman kerjanya tak tahan untuk tidak menggodanya. Meskipun mereka hanya bercanda, namun Ihsan merasa tersinggung. Itu karena ia hanya manusia, bukan nabi.

Setelah menjadi tukang cuci sebuah restaurant, Ihsan memutuskan untuk tidak bekerja lagi, ia lebih memilih menjaga warung milik ibunya. Sejak saat itu Ihsan tak pernah keluar saat siang, tapi ia keluar pada malam hari. Ibunya semakin tua dan sering sakit, ia harus mencari uang tambahan untuk mengobati ibunya. Akhirnya ia bertemu dengan orang-orang yang sama-sama kesurupan. Itu membuatnya menemukan dunianya. Awalnya ia hanya kenal dengan Mila, lama kelamaan Ihsan diajak bergabung dengan kelompoknya. Ihsan mulai belajar cara berdandan layaknya perempuan. Tapi ia berdandan bukan hanya untuk merias wajahnya, tapi untuk mencari uang. Ada beberapa dari kelompoknya yang mencari uang dengan melayani laki-laki hidung belang, namun Ihsan tak memilih jalan itu. “kau mau pegang mic atau hisap mic ?” kata Mila. Meskipun itu istilah yang baru Ihsan dengar, ia langsung mengerti apa maksudnya. Tapi kau paham ngak ?. Ia memilih menjual suaranya saja, ia ngamen ke warung-warung pinggir jalan dan rumah-rumah. Tak ada yang harus ia keluhkan, ia merasa nyaman dengan pekerjaan ini. Tak adalagi yang menggodanya saat bekerja. Godaan yang datang kali ini adalah sesekali dari orang-orang yang mendengarkan ia bernyanyi, tapi hal itu tak membuatnya tersinggung. Ia lebih senang digoda orang saat benar-benar berdandan menjadi perempuan. Ibunya tak pernah tau apa yang dilakukan Ihsan di luar rumah, saat pulang Ihsan menjadi anak seperti biasanya, meskipun sifatnya tetap seperti kesurupan.

Suatu hari ibunya sakit keras, Ihsan sudah mengobatinya semaksimal mungkin, sudah berbagai orang pintar ia datangi, namun Tuhan menakdirkan lain. Ibunya harus berpulang, dan saat itu ia baru bisa berkumpul dengan kakak-kakaknya. Mungkin itu hikmahnya. Ia tak berbicara banyak walaupun kakaknya menayakan penyebab kematian ibunya. “kalian seperti pemburu gosip, tidak mau terlibat tapi ingin tau banyak” ucap Ihsan kepada kedua kakaknya.

Semenjak ibunya meninggal Ihsan tinggal sendirian, kakak-kakaknya kembali ke dunia mereka masing-masing. Warungnya terpaksa ditutup, karena yang membuat warung itu tetap buka adalah masakan ibunya. Ia fokus pada profesinya yang baru, teman-tamannya sangat mengerti perasaan Ihsan. Namun perasaan Ihsan biasa-biasa saja. “aku ikhlas kok, kalian tak perlu khawatir. Ini hanya kehidupan, mari kita bermain lagi untuk kehidupan ini” ucap Ihsan kepada teman-temannya. Sejak saat itu teman-temannya memberi ia nama Reni, sebagai nama resmi dalam kelompok itu. Bertahun-tahun Reni menjalani profesi menjadi pengamen. Orang-orang hanya mengenal nama Reni, nama Ihsan seolah-olah mati bersama ibunya.  

Ia menyanyikan lagu ”Gelandangan” itu sampai selesai, kemudian aku memberikannya uang 5 ribu rupiah, sebagai tanda terimakasih telah menghiburku sampai selesai makan dan sebagai tanda maafku padanya. Reni sebenarnya sangat mengenalku, bahkan sangat kenal dekat dulunya denganku. Aku sangat merasa bersalah melihatnya seperti saat ini, tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa, itu adalah pilihannya. Mungkin bukan sekedar pilihan yang ia tentukan begitu saja, karena saat umur 4 bulan ia telah menentukan pilihan itu. Pada ritual itu, ia memilih sisir dari pada yang lain. Sisir bisa mengartikan banyak hal, bahkan pilihannya saat ini tidak jauh dari sisir. Ia suka berdandan dan menyisir rambutnya yang mulai panjang. Aku menyesal tak pernah memperdulikannya sejak dulu, kini ia harus menjalani takdir seperti ini hanya gara-gara sebuah sisir yang ia pilih ketika umur 4 bulan. Berulang kali aku membujuknya untuk tinggal bersamaku, tapi itu tak sedikitpun mengubah pendiriannya. Maafkan aku Ihsan, aku merasa menjadi kakak yang gagal untukmu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar