Rabu, 03 Desember 2014

Waktu Berkata Lain



                                                                          Oleh : Hudy Majnun
Seperti gelombang pantai utara, tak terlalu besar. Gelombangnya hanya mampu mengayun-ayun perahu hingga sang nelayan tertidur pulas. Seharusnya dalam ayunan gelombang itu, ia memancing, agar harapan mendapatkan ikan bisa terus berjalan. Dengan begitu kemungkinan mendapatkan ikan akan semakin besar. Tetapi ketika ia memilih untuk  tidur di atas ayunan gelombang, entah harapan apa yang akan ia dapatkan. Hingga memunculkan kemungkinan yang seperti apa. Nelayan harusnya pergi mencari ikan di tengah laut, bukan mencari impian dalam ketenangan gelombang. Wanita itu terlihat kusam, penampilannya sangat membosankan, tapi wajahnya seperti berseri-seri, bukan karena cantik, tapi karena tidak ada alasan. Berseri-seri seperti saat kau sedang berada di bawah pohon dan di sekitarmu adalah padang rumput atau sawah-sawah. Betapa sejuknya angin itu. Suatu saat nanti sang nelayan akan mengerti bahwa gelombang itu adalah hal yang tak ia sadari akan menghanyutkan, ia hanya mengerti bahwa ia sedang berada di atas perahu.
Wanita si rambut gelombang-begitu aku menyebutnya- baru saja menyelesaikan sekolahnya dan ia masuk di perguruan tinggi. Aku bertemu dengannya saat mengikuti suatu kegiatan kampus, kebetulan kegiatan itu dilaksanakan di pinggir pantai dekat kampus. Aku tak pernah mengeti dirinya sebelumnya. Di sana aku hanya bisa mengenal wajahnya, namanya masih menjadi rahasianya. Aku belum melihat jelas wajahnya yang seperti berseri, karena awan gelap masih menjadi penghalang pandanganku. Hujan mengguyur kami semua, namun rintik yang menetes bukanlah kabar gembira yang memberi tahu namanya. Petir menyambar tanpa aturan, wanita itu tak terlihat ketakutan seperti teman-teman yang lain. Ada sekitar 50 orang, hanya sebagian yang ku kenal dan ku tahu namanya. Memang banyak yang tak ku tahu namanya, tapi hanya wanita itu yang membuatku mengharapkan hujan cepat reda.
Setelah melalui banyak ketakutan karena hujan dan petir, langit kembali tenang meskipun matahari tetap bersembunyi di balik awan. Sebelum senja ditelan gelap, teman-teman seniorku melupakan satu kegiatan. Kita semua disuruh membuat lingkaran. Kemudian satu-persatu dari kami menyebutkan nama, di sanalah aku mendengar pertama kali suaranya “Lala” tegas dari mulutnya. Tiada yang terucap selain kata itu. Rahasia tentang namanya terungkap begitu saja, tanpa aku harus berusaha mati-matian untuk mencari tahu namanya. Waktu itu aku memang cukup pengecut untuk mendekati seorang wanita. Mukaku langsung seperti udang goreng waktu mendekati wanita. Tapi jangan bayangkan bahwa mukaku senikmat udang goreng itu.
Sampai di suatu kesempatan berkumpul bersamanya lagi, rama-ramai, tiba-tiba ia menjerit “auwww!!”. Dari kejauhan aku memperhatikannya. Ternyata ia tersengat tawon, padahal ia tidak sama sekali mengganggu tempat tawon-tawon itu. Itu seperti recana rahasia Tuhan, karena setelah ia tersengat tawon itu, aku bisa sedikit berbicara dengannya. Dengan berani aku mendekatinya “kau tidak apa-apa?” meskipun aku tahu ia sedang kesakitan. “tidak apa-apa” padahal ia juga tahu kalau dirinya sedang kesakitan. Itu seperti percakapan konyol, tapi itu merupakan percakapan berharga bagiku. “terimakasih tawon” dalam hatiku. Berkat tawon itulah aku bisa berbicara dengannya meskipun dengan sedikit gugup, pertanyaan konyol dan jawaban yang sedikit bohong terjadi. Kau tau, mukaku tetap seperti udang goreng itu.  
Kesempatan berikutnya terjadi ketika aku dan teman-teman sedang berlibur ke sebuah gunung. Tak jauh dari kampus juga, hanya perlu 2 jam untuk sampai ke gunung itu, itu tak terlalu jauh menurutku. Aku sedikit kaget ketika ia bersama lelaki lain. Aku sedikit cemburu meskipun aku bukan apa-apa baginya. laki-laki itu secara fisik pantas untuk menjadi pendampingnya, tapi sifatnya tidak begitu ku sukai. Ia seperti politisi, yang ingin selalu terlihat paling hebat di antara yang lain, ia seperti ingin menguasai semuanya, dan menyingkirkan orang-orang yang tidak ia sukai.  Aku tau laki-laki itu menyukai Lala, tapi aku yakin Lala tidak akan menyukai laki-laki itu. Laki-laki si parasit itu perlahan mulai curiga dengan gerak-gerikku, ia mulai tahu kalau aku tidak menyukainya mendekati Lala, dan ia juga tau kalau aku menyukai Lala. Aku dapat membaca pikirannya yang ingin menyingkirkanku. Aku tidak peduli pada rencananya, aku tetap berusaha mendekati ingin menjadi yang terbaik bagi Lala. Meskipun aku tak sebaik udang goreng di restaurant mewah.
Sebelum turun gunung, dengan gegabah aku mengajak Lala untuk bicara. Aku mengatakan padanya “aku menyukaimu, Lala” Lala hanya terdiam, seperti ia sudah mengerti dengan apa yang aku rasakan. “hati-hati si parasit sedang mengincarmu” aku mengatakan itu sebelum aku meninggalkannya untuk pulang kerumah masing-masing. Lala tidak berkata  apa-apa. Ia seperti sudah mengerti dengan semua rencana si parasit dan rencanaku. Ya.. aku membuat serangan lebih dulu daripada si parasit, serangan yang entah berujung gol atau tidak. Aku tidak memperdulikan itu, yang penting aku lebih dulu menyerangnya. Satu hal yang aku lewatkan waktu itu, sebelum aku melangkah pergi, ia seperti ingin menjawab pernyataanku. Tapi aku tidak memperdulikannya. Itu adalah hal terbodoh yang ku lakukan. Kalau aku memberinya kesempatan bicara, mungkin saja ia sudah menjadi kekasihku atau mungkin aku akan patah hati waktu itu juga. Aku tidak pernah tau apa yang akan ia katakan. Setelah kejadian itu, aku jarang bertemu dengannya. Kita sama-sama mempunyai kesibukan sendiri.
Satu tahun berikutnya aku mendengar kabar bahwa ia menjalin hubungan dengan laki-laki lain, bukan si parasit itu. Dan ternyata si parasit sudah di patahkan hatinya oleh si Lala. Aku sedikit senang mendengarnya. Aku sudah tau bahwa Lala tidak menyukai si parasit. Lala mau bersamanya dulu hanya untuk menghargainya, karena si parasit telah menawarkan diri untuk mengajak Lala bersamanya waktu ke gunung, dan aku telat mengajak Lala untuk bersamaku.
Tidak lama setelah aku mendengar kabar Lala bersama orang lain, aku mendengar kabar lagi bahwa Lala sudah tidak lagi bersamanya, ia putus. Aku kembali sedikit senang, karena aku tau ia sekarang sendiri. Tapi aku sendiri sedang bersama orang lain, yang setengah hati aku sayangi. Tak lama kemudian aku juga memutuskan untuk mengakhiri hubunganku dengan wanita yang setengah hati kusayangi itu. Tidak ada yang sakit hati di antara aku dan wanita itu, karena aku tau ia juga tak terlalu menyayangiku. Kita hanya mengisi kesepian yang kita rasakan.
“bagaimana kabarmu” ucapku ketika bertemu Lala.
“baik. Kamu ?” jawab Lala.
“baik juga. Gimana sama pacarmu?”
Aku pura-pura tidak tau tentang hubungannya yang sudah berakhir. “sudah berakhir” jawabnya. Selanjutnya kita hanya saling berbalas senyuman. Mungkin ini perjumpaan yang diharapkan. Aku sudah tidak segugup dulu untuk berbicara dengan wanita ini. Mukaku sudah tak semerah udang goreng itu, karena proses sekian setahun itu membuat mentalku semakin baik, menghadapi apapun. Tidak lama kami berbalas senyuman dan ia permisi untuk pulang. Aku hanya bisa mempersilahkannya. Seharunya aku mengajaknya untuk berbicara lebih banyak, tentang perasaan, atau tentang cerita lama aku dan dia. Atau, aku bisa mengungkit lagi ungkapan yang kuucapkan padanya dulu, sewaktu turun gunung. Tapi aku ragu, apakah dia masih mengingat itu.
Beberapa bulan setelah pertemuan itu, aku kembali dipertemukan dengan Lala. Itu pada sebuah acara yang cukup melelahkan, dua hari 1 malam, aku, Lala dan teman-teman yang lain menginap di dalam hutan. Di sana aku banyak melewatkan waktu bersamanya, namun tidak ada obrolan berdua dengannya. Sepulang dari acara itu aku kembali memiliki kesempatan untuk bicara berdua dengannya. Teman-teman pulang lebih dulu, aku dan Lala tetap berdiam di kursi. Pada kesempatan itu aku berani bercerita banyak, ia tertarik dengan ceritaku. Sesekali ia juga bercerita tentang pengalaman-pengalamannya selama tidak bertemu denganku.
Lama kami berbincang. Sampai kami menceritakan pengalaman kami waktu naik gunung dulu. Aku coba untuk menceritakan tentang perkataanku dlu padanya, tentang perasaanku dan si parasit. Jawaban Lala sangat membuatku kaget setengah mati bercampur penyesalan yang sangat mendalam. Ternyata, ketika aku mengungkapkan bahwa aku menyukainya dulu, ia juga mempunyai perasaan yang sama. “kenapa dulu kamu tidak pernah menanyakan perasaanku?” kata Lala. Aku ingin menangis rasanya, tapi tak mungkin aku menangis di hadapannya. Itu akan semakin membuatku tak berharga. Memang tak mungkin wanita mengungkapkan perasaannya, tanpa kita menanyakan itu padanya. Wanita memang mempunyai hasrat yang lebih besar dari pada laki-laki, tapi wanita sangat pandai menyimpan rasa malunya. Dan itu, sulit untuk aku baca.
Dengan gegabah “lagi” aku mengungkapkan bahwa perasaanku masih sama seperti dulu, “aku tetap menyukaimu sampai sekarang”. Dia hanya tersenyum, sepertinya ia tak lagi mempercayaiku. Ia tahu, bahwa selama ini aku menjalin hubungan dengan wanita lain. Harapanku semakin surut. Tapi aku yakin ia masih memiliki sisa-sisa perasaan lama itu, seperti diriku. Aku menceritakan bahwa aku tidak pernah sepenuh hati mencintai wanita itu. Namun, cerita itu tak berpengaruh apa-apa baginya. sampai diakhir pembicaraan, aku mengajaknya menjalin hubungan denganku, namun dengan halus ia menolak. “tidak mungkin untuk sekarang” itu bisa aku terima, karena aku mengerti bahwa sekarang ia baru patah hati. “mmm... semoga nanti waktu berkata lain” tambahnya. Itu seperti memberiku harapan. Tapi entah benar atau tidak. Kata-kata itu menyimpan banyak rahasia. Kau tau, aku melakukan kebodohan lagi, karena aku tidak menanyakan apa maksud perkataannya. Setelah percakapan itu, aku kita kembali ke dunia masing-masing. Tidak pernah bertemu untuk waktu yang lama.
Sesekali aku membuat puisi yang menyindir waktu, ku harap dia membaca puisiku pada media sosial, dan ku harap ia mengerti apa maksud puisiku itu. Beberapa tahun berlalu, tak ada sedikitpun tanda-tanda bahwa ia masih mengingat kata-kata itu. Tentang waktu yang akan berkata lain. Aku mulai putus asa dengan mengharapkan waktu berkata lain, aku juga tidak mengerti apa maksudnya ia berkata seperti itu. Itu kata-kata yang penuh rahasia, sampai saat ini aku masih penasaran dengan maksud kata itu. Itu seperti harapan besar, seperti bunga di antara dua tebing kata Gardeer.
Dua tahun kemudian aku dan Lala lulus. Aku memutuskan untuk bekerja di luar kota, jauh dari tempat Lala. Setelah kelulusan itu, aku tak lagi ada komunikasi dengannya. Terakhir yang aku tau tentangnya, bahwa ia sedang ada di rumah sakit. Aku tidak tau, ia yang sakit atau sanak saudaranya yang sedang sakit. Pesanku tak pernah ia balas, mungkin ia membenciku atau tak ingin menyia-nyiakan waktu untuk membalas pesanku. Semoga wanita beramput gelombang itu selalu sehat.
Sekarang aku sudah mempunyai istri. Tiga bulan yang lalu aku menikah. Kau tahu, bahwa perasaanku pada Lala masih sama seperti dulu. Meskipun aku mencoba melupakan kata terakhirnya, tentang “waktu berkata lain” aku masih menganggap bahwa kata itu masih menjadi harapan. Sekarang aku mulai mengerti bahwa gelombang rambutnya membuatku terlelap di atas perahu, dan aku lupa dengan tujuanku mencari ikan. Belum aku mengerti tentang rahasia waktu yang ia katakan. Jika kalian bertemu dengan Lala, ataupun wanita lain yang rambutnya bergelombang tenang, tolong tanyakan padanya. Apa yang dia maksud dengan “waktu berkata lain”. Jika kau mengerti maksud kata itu, tolong sampaikan padaku. Aku mudah di temui, karena Soir selalu tidur di perahunya, di atas gelombang rambut wanita itu, Lala. Jangan biarkan Soir mati penasaran.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar