Seperti
gelombang pantai utara, tak terlalu besar. Gelombangnya hanya mampu mengayun-ayun
perahu hingga sang nelayan tertidur pulas. Seharusnya dalam ayunan gelombang
itu, ia memancing, agar harapan mendapatkan ikan bisa terus berjalan. Dengan
begitu kemungkinan mendapatkan ikan akan semakin besar. Tetapi ketika ia
memilih untuk tidur di atas ayunan
gelombang, entah harapan apa yang akan ia dapatkan. Hingga memunculkan
kemungkinan yang seperti apa. Nelayan harusnya pergi mencari ikan di tengah
laut, bukan mencari impian dalam ketenangan gelombang. Wanita itu terlihat
kusam, penampilannya sangat membosankan, tapi wajahnya seperti berseri-seri,
bukan karena cantik, tapi karena tidak ada alasan. Berseri-seri seperti saat
kau sedang berada di bawah pohon dan di sekitarmu adalah padang rumput atau
sawah-sawah. Betapa sejuknya angin itu. Suatu saat nanti sang nelayan akan mengerti
bahwa gelombang itu adalah hal yang tak ia sadari akan menghanyutkan, ia hanya
mengerti bahwa ia sedang berada di atas perahu.
Wanita si rambut gelombang-begitu aku menyebutnya- baru saja
menyelesaikan sekolahnya dan ia masuk di perguruan tinggi. Aku bertemu
dengannya saat mengikuti suatu kegiatan kampus, kebetulan kegiatan itu dilaksanakan
di pinggir pantai dekat kampus. Aku tak pernah mengeti dirinya sebelumnya. Di
sana aku hanya bisa mengenal wajahnya, namanya masih menjadi rahasianya. Aku
belum melihat jelas wajahnya yang seperti berseri, karena awan gelap masih menjadi
penghalang pandanganku. Hujan mengguyur kami semua, namun rintik yang menetes
bukanlah kabar gembira yang memberi tahu namanya. Petir menyambar tanpa aturan,
wanita itu tak terlihat ketakutan seperti teman-teman yang lain. Ada sekitar 50
orang, hanya sebagian yang ku kenal dan ku tahu namanya. Memang banyak yang tak
ku tahu namanya, tapi hanya wanita itu yang membuatku mengharapkan hujan cepat
reda.
Setelah melalui banyak ketakutan karena hujan dan petir, langit kembali
tenang meskipun matahari tetap bersembunyi di balik awan. Sebelum senja ditelan
gelap, teman-teman seniorku melupakan satu kegiatan. Kita semua disuruh membuat
lingkaran. Kemudian satu-persatu dari kami menyebutkan nama, di sanalah aku
mendengar pertama kali suaranya “Lala” tegas dari mulutnya. Tiada yang terucap
selain kata itu. Rahasia tentang namanya terungkap begitu saja, tanpa aku harus
berusaha mati-matian untuk mencari tahu namanya. Waktu itu aku memang cukup
pengecut untuk mendekati seorang wanita. Mukaku langsung seperti udang goreng
waktu mendekati wanita. Tapi jangan bayangkan bahwa mukaku senikmat udang
goreng itu.
Sampai di suatu kesempatan berkumpul bersamanya lagi, rama-ramai,
tiba-tiba ia menjerit “auwww!!”. Dari kejauhan aku memperhatikannya. Ternyata
ia tersengat tawon, padahal ia tidak sama sekali mengganggu tempat tawon-tawon
itu. Itu seperti recana rahasia Tuhan, karena setelah ia tersengat tawon itu,
aku bisa sedikit berbicara dengannya. Dengan berani aku mendekatinya “kau tidak
apa-apa?” meskipun aku tahu ia sedang kesakitan. “tidak apa-apa” padahal ia
juga tahu kalau dirinya sedang kesakitan. Itu seperti percakapan konyol, tapi
itu merupakan percakapan berharga bagiku. “terimakasih tawon” dalam hatiku.
Berkat tawon itulah aku bisa berbicara dengannya meskipun dengan sedikit gugup,
pertanyaan konyol dan jawaban yang sedikit bohong terjadi. Kau tau, mukaku
tetap seperti udang goreng itu.
Kesempatan berikutnya terjadi ketika aku dan teman-teman sedang berlibur
ke sebuah gunung. Tak jauh dari kampus juga, hanya perlu 2 jam untuk sampai ke
gunung itu, itu tak terlalu jauh menurutku. Aku sedikit kaget ketika ia bersama
lelaki lain. Aku sedikit cemburu meskipun aku bukan apa-apa baginya. laki-laki
itu secara fisik pantas untuk menjadi pendampingnya, tapi sifatnya tidak begitu
ku sukai. Ia seperti politisi, yang ingin selalu terlihat paling hebat di
antara yang lain, ia seperti ingin menguasai semuanya, dan menyingkirkan
orang-orang yang tidak ia sukai. Aku tau
laki-laki itu menyukai Lala, tapi aku yakin Lala tidak akan menyukai laki-laki
itu. Laki-laki si parasit itu perlahan mulai curiga dengan gerak-gerikku, ia
mulai tahu kalau aku tidak menyukainya mendekati Lala, dan ia juga tau kalau
aku menyukai Lala. Aku dapat membaca pikirannya yang ingin menyingkirkanku. Aku
tidak peduli pada rencananya, aku tetap berusaha mendekati ingin menjadi yang
terbaik bagi Lala. Meskipun aku tak sebaik udang goreng di restaurant mewah.
Sebelum turun gunung, dengan gegabah aku mengajak Lala untuk bicara. Aku
mengatakan padanya “aku menyukaimu, Lala” Lala hanya terdiam, seperti ia sudah
mengerti dengan apa yang aku rasakan. “hati-hati si parasit sedang mengincarmu”
aku mengatakan itu sebelum aku meninggalkannya untuk pulang kerumah
masing-masing. Lala tidak berkata
apa-apa. Ia seperti sudah mengerti dengan semua rencana si parasit dan
rencanaku. Ya.. aku membuat serangan lebih dulu daripada si parasit, serangan
yang entah berujung gol atau tidak. Aku tidak memperdulikan itu, yang penting
aku lebih dulu menyerangnya. Satu hal yang aku lewatkan waktu itu, sebelum aku
melangkah pergi, ia seperti ingin menjawab pernyataanku. Tapi aku tidak
memperdulikannya. Itu adalah hal terbodoh yang ku lakukan. Kalau aku memberinya
kesempatan bicara, mungkin saja ia sudah menjadi kekasihku atau mungkin aku
akan patah hati waktu itu juga. Aku tidak pernah tau apa yang akan ia katakan.
Setelah kejadian itu, aku jarang bertemu dengannya. Kita sama-sama mempunyai
kesibukan sendiri.
Satu tahun berikutnya aku mendengar kabar bahwa ia menjalin hubungan
dengan laki-laki lain, bukan si parasit itu. Dan ternyata si parasit sudah di
patahkan hatinya oleh si Lala. Aku sedikit senang mendengarnya. Aku sudah tau
bahwa Lala tidak menyukai si parasit. Lala mau bersamanya dulu hanya untuk
menghargainya, karena si parasit telah menawarkan diri untuk mengajak Lala bersamanya
waktu ke gunung, dan aku telat mengajak Lala untuk bersamaku.
Tidak lama setelah aku mendengar kabar Lala bersama orang lain, aku
mendengar kabar lagi bahwa Lala sudah tidak lagi bersamanya, ia putus. Aku
kembali sedikit senang, karena aku tau ia sekarang sendiri. Tapi aku sendiri
sedang bersama orang lain, yang setengah hati aku sayangi. Tak lama kemudian
aku juga memutuskan untuk mengakhiri hubunganku dengan wanita yang setengah
hati kusayangi itu. Tidak ada yang sakit hati di antara aku dan wanita itu,
karena aku tau ia juga tak terlalu menyayangiku. Kita hanya mengisi kesepian
yang kita rasakan.
“bagaimana
kabarmu” ucapku ketika bertemu Lala.
“baik. Kamu
?” jawab Lala.
“baik juga.
Gimana sama pacarmu?”
Aku
pura-pura tidak tau tentang hubungannya yang sudah berakhir. “sudah berakhir”
jawabnya. Selanjutnya kita hanya saling berbalas senyuman. Mungkin ini
perjumpaan yang diharapkan. Aku sudah tidak segugup dulu untuk berbicara dengan
wanita ini. Mukaku sudah tak semerah udang goreng itu, karena proses sekian
setahun itu membuat mentalku semakin baik, menghadapi apapun. Tidak lama kami
berbalas senyuman dan ia permisi untuk pulang. Aku hanya bisa mempersilahkannya.
Seharunya aku mengajaknya untuk berbicara lebih banyak, tentang perasaan, atau
tentang cerita lama aku dan dia. Atau, aku bisa mengungkit lagi ungkapan yang
kuucapkan padanya dulu, sewaktu turun gunung. Tapi aku ragu, apakah dia masih
mengingat itu.
Beberapa bulan setelah pertemuan itu, aku kembali dipertemukan dengan
Lala. Itu pada sebuah acara yang cukup melelahkan, dua hari 1 malam, aku, Lala
dan teman-teman yang lain menginap di dalam hutan. Di sana aku banyak
melewatkan waktu bersamanya, namun tidak ada obrolan berdua dengannya. Sepulang
dari acara itu aku kembali memiliki kesempatan untuk bicara berdua dengannya.
Teman-teman pulang lebih dulu, aku dan Lala tetap berdiam di kursi. Pada
kesempatan itu aku berani bercerita banyak, ia tertarik dengan ceritaku.
Sesekali ia juga bercerita tentang pengalaman-pengalamannya selama tidak bertemu
denganku.
Lama kami berbincang. Sampai kami menceritakan pengalaman kami waktu naik
gunung dulu. Aku coba untuk menceritakan tentang perkataanku dlu padanya,
tentang perasaanku dan si parasit. Jawaban Lala sangat membuatku kaget setengah
mati bercampur penyesalan yang sangat mendalam. Ternyata, ketika aku
mengungkapkan bahwa aku menyukainya dulu, ia juga mempunyai perasaan yang sama.
“kenapa dulu kamu tidak pernah menanyakan perasaanku?” kata Lala. Aku ingin
menangis rasanya, tapi tak mungkin aku menangis di hadapannya. Itu akan semakin
membuatku tak berharga. Memang tak mungkin wanita mengungkapkan perasaannya,
tanpa kita menanyakan itu padanya. Wanita memang mempunyai hasrat yang lebih
besar dari pada laki-laki, tapi wanita sangat pandai menyimpan rasa malunya.
Dan itu, sulit untuk aku baca.
Dengan gegabah “lagi” aku mengungkapkan bahwa perasaanku masih sama
seperti dulu, “aku tetap menyukaimu sampai sekarang”. Dia hanya tersenyum,
sepertinya ia tak lagi mempercayaiku. Ia tahu, bahwa selama ini aku menjalin
hubungan dengan wanita lain. Harapanku semakin surut. Tapi aku yakin ia masih
memiliki sisa-sisa perasaan lama itu, seperti diriku. Aku menceritakan bahwa
aku tidak pernah sepenuh hati mencintai wanita itu. Namun, cerita itu tak
berpengaruh apa-apa baginya. sampai diakhir pembicaraan, aku mengajaknya
menjalin hubungan denganku, namun dengan halus ia menolak. “tidak mungkin untuk
sekarang” itu bisa aku terima, karena aku mengerti bahwa sekarang ia baru patah
hati. “mmm... semoga nanti waktu berkata lain” tambahnya. Itu seperti memberiku
harapan. Tapi entah benar atau tidak. Kata-kata itu menyimpan banyak rahasia.
Kau tau, aku melakukan kebodohan lagi, karena aku tidak menanyakan apa maksud
perkataannya. Setelah percakapan itu, aku kita kembali ke dunia masing-masing. Tidak
pernah bertemu untuk waktu yang lama.
Sesekali aku membuat puisi yang menyindir waktu, ku harap dia membaca
puisiku pada media sosial, dan ku harap ia mengerti apa maksud puisiku itu.
Beberapa tahun berlalu, tak ada sedikitpun tanda-tanda bahwa ia masih mengingat
kata-kata itu. Tentang waktu yang akan berkata lain. Aku mulai putus asa dengan
mengharapkan waktu berkata lain, aku juga tidak mengerti apa maksudnya ia berkata
seperti itu. Itu kata-kata yang penuh rahasia, sampai saat ini aku masih
penasaran dengan maksud kata itu. Itu seperti harapan besar, seperti bunga di
antara dua tebing kata Gardeer.
Dua tahun kemudian aku dan Lala lulus. Aku memutuskan untuk bekerja di
luar kota, jauh dari tempat Lala. Setelah kelulusan itu, aku tak lagi ada komunikasi
dengannya. Terakhir yang aku tau tentangnya, bahwa ia sedang ada di rumah
sakit. Aku tidak tau, ia yang sakit atau sanak saudaranya yang sedang sakit. Pesanku
tak pernah ia balas, mungkin ia membenciku atau tak ingin menyia-nyiakan waktu
untuk membalas pesanku. Semoga wanita beramput gelombang itu selalu sehat.
Sekarang aku sudah mempunyai istri. Tiga bulan yang lalu aku menikah. Kau
tahu, bahwa perasaanku pada Lala masih sama seperti dulu. Meskipun aku mencoba
melupakan kata terakhirnya, tentang “waktu berkata lain” aku masih menganggap
bahwa kata itu masih menjadi harapan. Sekarang aku mulai mengerti bahwa
gelombang rambutnya membuatku terlelap di atas perahu, dan aku lupa dengan
tujuanku mencari ikan. Belum aku mengerti tentang rahasia waktu yang ia katakan.
Jika kalian bertemu dengan Lala, ataupun wanita lain yang rambutnya
bergelombang tenang, tolong tanyakan padanya. Apa yang dia maksud dengan “waktu
berkata lain”. Jika kau mengerti maksud kata itu, tolong sampaikan padaku. Aku
mudah di temui, karena Soir selalu tidur di perahunya, di atas gelombang rambut
wanita itu, Lala. Jangan biarkan Soir mati penasaran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar