Minggu, 14 Desember 2014

Selesai Sebelum Berakhir



Cerpen-
Oleh : Hudy Majnun

Sangat jelas terlihat, awan-awan hitam berbondong-bondong ke arah utara. Bulan sesekali hilang ditelan awan gelap. Malam itu, gerimis mulai berjatuhan. Ragu rasanya melangkahkan kaki, menuruti keinginan hati. Takut kalau pada akhirnya harus terguyur hujan, cuaca yang dingin akan semakin dingin jika terguyur hujan. Namun, Lufi dan Eri meyakinkannya untuk berangkat, menonton pertunjukan. “angin cukup kencang, tak mungkin turun hujan” ucap Eri. “bintang-bingtang mulai terlihat dan semut-semut juga tak terlihat berkeliaran” Lufi menambahkan keyakinannya. Mereka bertiga berangkat menonton pertunjukan itu.
Sesampainya di lokasi, ternyata acara sudah berlangsung. Sesi pertama tinggal menit-menit terahir. Kubu kuning menang tipis. Pertunjukan masih berlangsung seru, sorak penonton membuat pertunjukan semakin panas. Ada yang menyoraki dengan provokasi “pukul yang keras. Kenakan kepalanya” ada juga penonton yang memaki “pemain goblok, keluar saja kau”. Sesekali ia memperhatikan sekeliling. Wajah-wajah itu memang tak asing, hanya saja ia tak mengenali mereka semuanya. Mereka adalah orang-orang di kampung Soir, mereka sangat antusias menonton pertunjukan itu.
Pengadil pertunjukan itu adalah teman akrabnya waktu SMP, ia anak pak Kades. Sebut saja si Nades “anak kades”. Nades sangat jeli memimpin pertunjukan, tidak ada pelanggaran yang tidak dia temukan. Sekecil apapun pelanggaran yang dilakukan, pasti Nades mengetahuinya, lalu dia menghentikan pertunjukan sejenak untuk memperingati si pelangar. Dia hanya mengingatkan, bukan menghakimi dan si pelanggar hanya akan mendapat teguran bukan hukuman. Karena ini memang sebuah permaianan, bukan seperti permaianan pemerintahan. Kalau di pemerintahan, yang melanggar akan dihukum dan pengadil yang menentukan hukuman. Dalam permainan ini, pemain tidak bisa menyogok pengadil, mungkin kalau di pemerintahan pengadil masih bisa menjual keadilannya.
 Si Nades memang sangat menguasai pertunjukan ini. Dulu waktu SMP dia merupakan pemain andalan sekolah, jika ada kejuaraan seperti itu. Meskipun dia sangat ahli, sekolahnya tidak pernah lolos untuk pertunjukan selanjutnya. Itu pasti karena patnernya yang lain tak se-ahli dia. Ya... teman Soir itu memang ahli, tapi ia tak bisa berbuat apa-apa kalau tak ada teman-teman yang tidak ahli lainnya. Dulu dia sempat mengajari Soir melakukan pertunjukan seperti itu, tapi ia tak berminat untuk melakukannya. Soir lebih suka melihat saja, sebagai penonton. Tanpa resiko mendapat cacian dari penonton.
Sebagai penonton yang baik, ia tidak mengikuti penonton lain yang bersorak dengan cacian atau pujian itu. Sesekali ia hanya bertukar komentar dengan kedua temannya. Sok pintar mengomentari jalannya pertunjukan, tapi paling tidak mereka tidak menggunakan komentar-komentar yang bersifat buruk. Soir sempat dipelototi penonton yang bersorak dengan cacian. Orang itu melototinya karena Soir melototinya lebih dulu. Orang itu pikir pandangannya seperti sebuah tantangan, padahal ia hanya keheranan melihat tingkahnya seperti itu. Maklum saja, mungkin penonton itu sedang emosi karena pertunjukan itu tak sesuai keinginannya. Soir mengalah, tak lagi meladeni pelototannya. Pandangannya dialihkan ke penonton yang lain, yang tidak tau kalau ia sedang memperhatikannya.
Soir tak lagi fokus melihat pertunjukan, karena baginya perilaku penonton yang demikian lebih seru dibandingkan dengan pentunjukan di lapangan. Pandangannya terhenti di dekat stand komentator pertunjukan. Di sana ada seorang wanita yang sedang memperhatikannya. Wajah wanita itu sepertinya tidak asing. Lama  Soir bertukar pandang dari kejauhan dengan lampu yang sedikit remang. Sedikit demi sedikit ia mulai mengingat wanita itu. Yaa... wanita itu pernah hidup di masa lalunya. Soir sekarang ingat, yang paling jelas adalah tatapannya. Ia adalah kekasihnya dulu. Tatapannya masih sama persis ketika dulu Soir sering menggodanya. Tatapan yang sedikit nakal, aku yakin tak hanya Soir yang tertarik ketika mendapatkan tatapan itu.
Pertunjukan pertama usai, semua pemain pertunjukan bersalaman, setelah lebih dari 1 jam saling serang. Teman Soir yang jadi pengadil digantikan orang lain yang sama sekali tak dikenal. Aku sedikit ragu dengan kemampuan pengadil asing ini. Penampilan dan dandanannya pun tidak seperti teman Soir tadi. Tapi yasudahlah, itu tak berpengaruh apa-apa bagi Soir. Semua pemain pertunjukan inti mulai masuk lapangan. Soir heran ketika temannya yang jadi pengadil tadi juga ikut menjadi pemain pertunjukan. Memang sia-sia jika kemampuannya hanya digunakan untuk jadi pengadil saja. Kemampuannya tidak sebagus dulu, sekarang dia sudah lumayan tua, tenaganya sedikit berkurang. Tak sekuat dulu, perutnya pun tak se-seksi dulu. Dia sekarang seperti wanita hamil 4 bulanan, perutnya buncit. Mungkin akibat makan enak terus, jadi dia lupa diet.
Pertunjakan inti dimulai. Pikiran soir masih dihantui wanita masa lalu yang kini sesekali memperhatikannya. “Dari pada penasaran dengan nasibnya sekarang, lebih baik aku tidak menghampirinya, aku menanyakan ke Lufi saja” perasaan Soir menggugah.
“itu si Ila ya?”
“yang mana?”
“ituu, di dekat stand komentator”
“owhh, iya. Itu suaminya lagi main”
“hah..#@^%*”
Lufi menunjuk lurus si Nades. Soir tiba-tiba seperti terkena sengatan listrik, seperti ada sesuatu yang membuat badannya langsung memanas. Mungkin ia sedikit cemburu, atau tidak terima, mungkin karena lelaki itu tak pantas untuknya, atau wanita itu tak pantas untuknya. Lufi mungkin bercanda, karena dia sedikit mengerti dengan masa lalu Soir dan Ila. Soir dan Ila adalah sepasang kekasih kontroversi, dulunya. Soir pernah dihakimi ayah Ila, karena ada orang yang memberitahu kepada ayahnya tentang hubungan mereka. “kalian masih kecil, jadi tolong jangan main pacar-pacaran dulu” begitu kata ayah Ila. Ayahnya baik, meskipun Soir bersalah telah mencuri hati anaknya ia tidak marah, tepatnya ia memberi nasihat. Soir dihakimi ketika ada pengajian bersama ayahnya, di situ ia disaksikan teman-temannya.
            Seandainya si Nades mengerti tentang masa lalu wanita itu, mungkin ia akan berpikir lagi untuk menikahinya. Apalagi mengerti kalau ia adalah kekasih Soir, dulunya. Tapi, mungkin Nades dan Ila sekarang sedang dibuai asmara, hingga muncul perjanjian antara mereka untuk tidak pernah mengungkit masa lalu. Kupikir Nades juga memiliki masa lalu yang tak begitu baik juga. Tidak hanya dia, kita semua pasti pernah memiliki masa lalu yang buruk bukan. Tapi, bukan berarti kita harus mengulanginya. Kalau kita mengulanginya, berarti kita selalu jatuh dilubang yang sama. Masih banyak lubang di dunia ini, kau bisa memilihnya sesuka hati sebagai tempat terjatuh. Cinta memang bisa membutakan semuanya, logikapun bisa lumpuh kalau cinta sudah dirasa. Semoga itu salah.
            Pertunjukan itu berakhir dengan mengecewakan, lampu mati sebelum pertandingan selesai. Pemenangnya entah yang mana, kupikir masih seri. Karena sebelum lampu mati masih berjalan babak kedua, dan mata Ila masih liar. Lampu mati, tatapan itupun hilang ditelan kerumunan. Suara keluhan pononton terdengar seperti suara balapan motor, saling suang suing. Mereka sama kecewanya dengan Soir. “panitianya payah, gak niat” suara dari penonton yang ditelan gelap. Entah pada siapa mereka mengucapkan itu, yang jelas kepada panitia penyelenggara bukan pada penjual kacang atau penjual yang menumpang rejeki.
Wanita itu hilang begitu saja, mungkin ia sedang bersama si Nades, berpelukan dalam gelap, karena wanita itu takut gelap, Soir sangat mengerti itu.  Sebab, dulu Soir dan wanita itu pernah berada dalam gelap,  dan ia memeluk erat tubuh Soir. “aku takut gelap” kata wanita itu. Soir membalas pelukan itu, semakin lama semakin erat, lama-lama pelukan itu bukan saja pelukan ketakutan, tapi pelukan penuh hasrat. Aku tidak tau apa yang terjadi setelah itu, yang jelas mereka bebas melakukan apapun di tempat yang hanya ada mereka berdua.
Dalam sekejap tempat itu menjadi sepi, tidak ada lagi sorakan ataupun cacian dari penonton. Hanya tersisa nyala lampu dari penjual kacang dan penjual kopi yang berharap lampu menyala lagi, agar rupiah bisa mereka kumpulkan. Namun sayang, penonton sudah tidak ada lagi, mereka pun berkemas dengan kekecawaan yang lebih mendalam daripada para penonton. Penjual itu bukan mengaharapkan suatu hiburan, melainkan mengharap rupiah dari hiburan itu. Dengan muka yang sedikit murung penjual itu pergi, tanpa keluhan dari mulut mereka. Tapi keluhan itu benar-benar terlihat jelas di wajah mereka, wajah mereka bisa berbicara. Mungkin seperti ini “rupiahku lenyap ditelan gelap”.
Pertunjukan tidak berujung, semuanya selesai tanpa tau bagaimana akhirnya. Itu seperti cerita yang mengambang. Berakhir sebelum titik akhir, selesai sebelum usai. Sama seperti tatapan mata wanita itu, hilang sebelum kumengerti arti tatapannya. Memang tatapan itu sudah pernah Soir rasakan, itu sudah lama sekali. Dan hubungan Soir dengan wanita itu belum sepenuhnya berakhir. Mereka tidak pernah mengakhiri hubungan mereka secara resmi. Mereka hanya hidup masing-masing dan di tempat masing-masing. Soir memang tidak mengharapkan wanita itu lagi, tapi bagaimana dengan kesepakan yang pernah mereka buat dulu. Siapakah yang saat ini mengingkari.
Tapi, kupikir wanita itu sudah lupa dengan kesepakatan mereka dulu. Itu memang sudah terjadi sekitar 5 tahun yang lalu. Setelah itu tidak ada lagi komunikasi diantara mereka. Mungkin saja wanita itu bosan menunggu Soir, hingga dia menerima lelaki lain. Atau Soir sendiri sudah tidak peduli dengan wanita itu, hingga dia merelakan wanita itu untuk orang lain. Sekarang semuanya sudah terjadi, wanita itu telah menjadi milik temannya sendiri. Jadi, sisa rasa yang mereka miliki tidak perlu dihiraukan lagi.
Sekarang wanita itu sudah banyak berubah, dandanannya pun sudah seperti wanita dewasa, tepatnya seperti ibu rumah tangga. Soir memang sedikit pangling dengan wajahnya, tapi tidak dengan tatapannya. Tatapan tajam dan liar. Soir pergi keluar kota seminggu setelah ia dihakimi oleh ayahnya, dan mulai saat itu Soir tidak pernah bertemu lagi dengannya. Dan waktu itu belum ada kesepakatan antara Soir dan Ila untuk mengakhiri hubungan mereka. Jadi mereka berpisah begitu saja dan kupikir hubungan mereka tetap menjadi sepasang kekasih, karena belum ada kesepakatan untuk mengakhiri. Tapi, kini kekasih itu telah menjadi istri orang lain. Mau tidak mau Soir harus menerima kenyataan itu. Kekasihnya adalah istri temannya. Hubungan suami istri lebih kuat dari pada hubungan Soir dan wanita itu.
Pernikahan itu dilindungi hukum dan agama, jadi tak bisa diakhiri begitu saja. Berbeda dengan hubungan cinta monyet yang dialami Soir, mereka hanya terikat oleh rasa dan perjanjian biasa. Itu dapat berakhir dan diakhiri kapan saja dia mau. Tapi kau tau, Tuhan dan hamba tidak pernah mempunyai hubungan formal seperti suami istri. Tetapi seorang hamba yang sangat cinta kepada Tuhannya tidak bisa dipisahkan oleh apapun. Itu memang sangat berbeda, Tuhan bukan manusia, dan manusia bukan Tuhan. Tapi ada kata-kata seperti ini “Tuhan ada dimana-mana”, mungkin saja di dalam tubuh Soir atau Ila, atau di dalam dirimu. Itu hanya perkiraanku saja, dan ini belum tentu benar.
Soir dan 2 temanya pulang sebelum pertunjukan belum benar-benar berakhir. Pikiran tentang wanita itu seperti hantu penasaran. Dalam perjalanan pulang awan hitam sudah tidak terlihat lagi, bulan sudah muncul dengan sempurna, tanpa dihantui awan-awan. Berikut nasib wanita dan hubungan itu, sudah bukan menjadi rahasia lagi. Kini nasibnya sudah pasti dengan lelaki itu, dan kupikir nasib hubungan cinta monyet Soir sudah jelas. Berakhir. “selamat kekasih lamaku” dalam hati Soir.*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar