Jumat, 23 Januari 2015

Waktu Berkata Lain



                                              “dua”

Oleh : Hudy Majnun

Perut istriku kini kian besar, entah apa yang ada di dalamnya. Semoga itu benar-benar calon anak yang diharapkan, amin. Terimakasih telah ikut mengamini. Semoga kita saling bertukar do’a dan harapan-harapan kita terkabul, berikut harapanku dan istriku. 

Dua bulan lalu istriku mengalami mual-mual yang terjadi berangsur-angsur, setiap hari pasti mual dan muntah-muntah. Aku khawatir dengan keadaannya, aku tidak membawa istrinya ke dukun, tapi ke dokter. Kekhawatiran itu berujung bahagia “selamat, anda akan menjadi calon ayah” kata dokter itu. Aku dan istriku sangat berterimakasih kepada dokter tersebut. Tapi, Seharusnya aku berterimakasih pada diriku sendiri, karena perjuanganku setiap malam kepada istriku, ia menjadi calon ibu dan aku calon ayah. 

Sejak saat itu, setiap waktu perut istriku semakin membesar dan terjadi hal-hal aneh padanya. Ia sering meminta hal-hal yang membuatku kewalahan. Pernah sekali waktu ia menginginkan tidur di halaman depan rumah dengan mendirikan tenda kecil. Aku turuti maunya, itu kulakukan agar kelak anakku tidak ngileran, karena keinginan perempuan yang sedang hamil akan berpengaruh pada anaknya jika tidak dituruti. Dan hal-hal lain berkaitan dengan makanan yang sering diminta istriku sudah menjadi hal biasa. 

Setiap 2 minggu sekali aku berkunjung ke dokter, untuk memeriksa dan mengetahui perkembangan kandungannya. Hal itulah yang membuatku menemukan jawaban atas pertanyaan yang pernah hinggap padaku di masa lalu. Kabar terakhir tentang Lala yang kabarnya sering berkunjung kerumah sakit. Aku bertemu dengannya, tepatnya aku melihatnya dari sudut jendela yang sempit saat berjalan di lorong rumah sakit. Ketika istriku masuk keruang dokter untuk periksa, aku beralasan untuk pergi ke toilet. Aku pergi ke lorong untuk memastikan bahwa wanita itu benar-benar Lala. Aku kembali melewati lorong tadi, sekarang aku lebih lama mengintipnya dari jendela yang tertutup kelambu. Hanya ada lubang kecil untuk melihatnya, di sana ada kedua orang tuanya dan dua temannya yang menemani. Ia takkan bisa melihatku sedang mengintip. Sesekali aku harus berpura seperti orang beristirahat ketika ada orang yang lewat, dan kemudian melanjutkan memperhatikan apa yang sedang terjadi padanya. Ia mengenakan baju coklat kusam, dan mukanya pun kusam, mungkin karena sakit ia tidak mandi dalam beberapa hari ini. 

Beberapa saat kemudian, setelah aku yakin wanita itu adalah Lala, aku kembali ke ruangan istriku diperiksa. “kandungan istri anda semakin membaik pak” kata dokter itu. “terimakasih dok” aku berusaha untuk senang mendengar kabar baik itu, meskipun sebenarnya aku sedih melihat Lala sedang terbaring sakit, aku sangat ingin menemui wanita itu, menanyakan kabar bahkan menemaninya sampai sembuh. Tapi, ruang dan waktu kita sudah berbeda, kini keluarga dan istriku seperti tembok penghalang yang memebatasiku untuk menumpahkan perasaan yang tak kunjung reda. Tapi, aku harus menghargai istri dan keluarga yang sudah cukup lama kubina, istriku orang yang sangat baik, aku tak mungkin mengecewakannya. Apalagi sekarang ia sedang hamil anakku. 

Keesokan harinya aku kembali ke aktivitasku, kembali ke tempatku bekerja. Tapi bayangan dan rasa ingin bertemu dengan wanita itu masih terus menghantuiku. Aku memberanikan diri dengan berbagai macam resiko, aku ijin pulang terlebih dahulu pada atasan dan teman-temanku. Saat itulah aku mampir ke rumah sakit dan menemuinya. Entah kenapa, ketika aku mengetuk pintu dan mengucap salam jantungku berdetak sangat cepat. Aku tidak tau dengan apa yang aku lakukan dan wanita itu pun sangat terkejut melihatku. “dari mana kamu tau aku disini?” katanya. “dari teman-teman” kujawab saja begitu. Hanya kata itu yang aku dengar dari mulutnya, sampai beberapa menit kemudian ia hanya terdiam dan aku hanya ngobrol dengan orang tuanya, dengan obrolan yang sungguh tak ku minati.

Sesekali aku memperhatikan mata wanita itu yang mulai layu, dengan rambut yang berantakan, tapi di situlah dulu aku menyukainya, mungkin sampai sekarang. Sambil mendengarkan pembicaraan dengan ayahnya. Rambutnya masih sama seperti tiga tahun lalu, bergelombang dan selalu tak terlihat rapi. Aku seperti terhanyut kembali oleh gelombang yang dulu pernah menghanyutkanku, gelombang tenang dan aku tertidur di perahu, terayun-ayun, terombang-ambing di lautan lepas, hingga aku lupa daratan. Aku tak berani menanyakan apa-apa padanya ataupun memulai pembicaraan. Ia tampak cuek tak tak perduli dengan keberadaanku. Beberapa saat kemudian ia baru mengucapkan sesuatu padaku “dimakan kuenya”. Aku mulai terpancing untuk berani mengajaknya berbicara. 

“kau sendiri sudah makan?” ucapku.

“sudah, makanan spesial dari dokter”

“apa itu?”

“bubur dan obat” ia menunjukkan obat yang berwarna-warni di dalam bungkus plastik. Setelah itu aku mulai memancing pembicaraan yang lain. 

“sejak kapan dirawat disini?” tanyaku

“baru 2 hari kemarin”. Aku tau ia berbohong padaku. Karena kemarin, saat mengantar istriku, aku bertanya tentangnya pada recepsionis rumah sakit, dan pasien bernama Lala sudah seminggu yang lalu di rawat disini. Entah kenapa ia membohongiku, mungkin ia ingin menambah kebohongannya padaku setelah peryataannya tentang waktu, dulu padaku. Tapi, setidaknya keadaan ini sudah menjawab rasa penasaranku, kabarnya dulu ia sering kerumah sakit, dan ku kira ia hanya mengantar sanak saudaranya, tapi ternyata yang sakit adalah dirinya sendiri. 

“setelah lulus, apa kesibukanmu?” aku melanjutkan.

“tidak ada”. Kali ini aku tidak bisa menebak ia berbohong atau tidak. “katanya kamu bekerja di luar kota?” ia melanjutkan.

“ya, aku sempat bekerja di luar kota, tapi sekarang dan seterusnya, mungkin aku tetap di kota ini. Aku dipindah tugaskan di kota ini”

“teman-teman baru kemarin datang kesini” 

“wah, bagaimana mereka sekarang?”

“seperti biasa, selalu rame”

Pembicaraan kami tiba-tiba terpotong, karena seorang perawat datang dan memberi suntikan padanya. Perawat itu cukup menyeramkan, kepalanya tertutup dan mulutnya juga tertutup masker, kemudian mendekat dan berkata “waktunya istirahat” suaranya seperti seseorang yang mengakui kesalahan, namun suaranya disamarkan. Beberapa saat kemudian Lala tertidur. Waktu masih menunjukkan jam 3 sore, sedang kerjaku selesai jam 5. Masih ada 2 jam untuk bisa menemani wanita itu, meskipun ia sedang tertidur. 

Banyak sekali yang aku ingat ketika melihat wajahnya. Wajahnya seperti gambaran masa lalu, yang tersimpan dan tak pernah usang di memori wajahnya. Aku berada di sisi kanannya, dan kuletakkan kedua tanganku di atas tempat ia berbaring. Tanganya sedikit membengkat karena jarum infus masih tertancap di atasnya. Kedua orang tuanya sedang sibuk membereskan barang-barang yang ada di ruangan itu dan tak terlalu memperhatikan keberadaanku di sisi anaknya. Mungkin mereka sangat percaya bahwa aku adalah orang baik-baik, meskipun pikiran-pikiran bodoh sesekali melintasi pikiranku. Pikiran seperti di film-film, yang menyamar menjadi orang baik, namun tiba-tiba memasukkan racun kedalam botol infus agar yang diiunfus mati. Tapi, itu hanya pikiran konyol yang kadang kubayangkan untuk mengisi kekosongan. 

Tangan Lala sesekali bergerak, sepertinya ia tidak tidur dengan nyenyak. Aku melihat matanya terpejam dengan terpaksa, karena pengaruh suntikan tadi ia harus tertidur. Padahal mungkin saja ia masih ingin menemaniku berbicara. Aku menoleh kekanan dan kekiri, sepertinya orang tuanya sedang sibuk ngobrol berdua dan membiarkan aku disamping Lala. Melihat kondisi aman, aku memberanikan diri untuk memegang tangannya yang bengkak. Jari-jarinya masih sangat halus seperti dulu, saat aku sempat digenggamnya. Tapi tangannya kali ini sangat lemas, tak bertenaga sama sekali. Aku mengelus-elus tanganya, berharap dia bisa tidur dengan nyenyak.
Tangannya terasa dingin. Aku masih sangat mengingat rasa tangannya dulu yang hangat. Ketika di tengah kegelapan aku kedinginan dan tanganku hampir kaku, aku menggenggam tanganku sendiri dan meniup-niupnya dekat mulut, sambil berjalan berdua menuju tempat teman-temanku berkumpul. Waktu itu aku tak mengenakan jaket, hanya kaos biasa yang membalut tubuhku, sedangkan Lala menggunakan jaket hangatnya. Tiba-tiba ia menarik tanganku dan meremasnya kuat-kuat. Tangannya begitu hangat, sehingga tanganku tak jadi membeku lagi, bahkan seluruh badanku terasa hangat. Waktu itu, aku tidak tau bahwa genggaman itu hanyalah agar aku tak kedinginan. Kupikir itu adalah genggaman yang memberiku harapan. Sekitar 30 detik tangannya terus meremas tanganku dan aku juga membalas meremasnya. Genggaman tangan itu seperti genggaman yang tak ingin terlepas,  tidak boleh ada yang mengganggunya. Tapi, beberapa saat kemudian ia melepaskan tangannya. Ketika aku mencoba meraihnya kembali, tempat tujuan sudah dekat, dan teman-temanku sudah menanti. Tak mungkin aku meraih tangannya kembali. 

Beberapa hari kemudian, setelah malam itu berlalu, aku berbincang-bincang dengannya, dan pembicaan tertuju pada malam itu. Ia mengatakan bahwa genggaman malam itu hanya agar aku tak kedinginan, tidak ada maksud lain. Harapanku seperti hilang dalam gelap. “sudahlah” dalam hatiku. 

Kini tangannya ada dalam genggamanku, tangan yang lemas dan membengkak. Tak sedikitpun tangannya bergerak ketika aku memegangnya dari samping tempatnya tidur. Ia sepertinya mulai tidur dengan nyenyak, sebenarnya aku tak ingin melepaskan tangannya yang lemas, tapi aku merasa curang, memegang tangannya saat ia tidur. Tapi, aku juga ingin membalas kebiakannya dulu, saat dia kedinginan aku juga ingin menggenggam tangannya, agar tangannya tak membeku. Mungkin dia sudah lupa dengan masa lalu itu, mungkin ia juga lupa tentang peryataannya tentang “waktu berkata lain”. Semua sudah berlalu, aku tak ingin mengusik hidupnya dengan kenangan-kenangan yang belum selesai itu. Aku tidak tau bagaimana kehidupannya sekarang, yang jelas aku tak menemukan cincin apa-apa di tangannya. 

Waktu sudah menunjukkan jam 4.30, aku melepaskan tanganya perlahan, ia tak kunjung bangun dari tidurnya. Mungkin pengaruh obat itu cukup lama, tapi ia harus bangun jam 5. Ia tidak boleh melewatkan sore hari dengan tertidur, kata orang itu tidak baik. Orang tuanya tetap asik berbicara sambil menonton TV. Ada salah seorang temannya yang lain datang, mereka bertiga, dua wanita dan satu lelaki. Mereka membawa buah-buahan yang terbungkus plastik transparan. Lelaki itu mendekatiku  dan mengulurkan tangannya, ia mengajakku bersalaman dan memperkenalkan diri. “Musa” ucapnya. “Soir” jawabku. Namanya seperti Nabi-nabi, dan mungkin lelaki ini orang baik. Aku berdiri, dan bergeser ke kursi tamu belakang tempat tidur Lala, tapi lelaki itu mengambil alih tempatku tadi. Ia duduk di samping kanan tempat Lala terbaring. Mungkin saja lelaki ini adalah orang spesial buat Lala, dan mungkin juga orang ini menyukai Lala dan hendak melamarnya ketika Lala terbangun dari tidurnya. Pikiran-pikiran aneh banyak melintasi pikiranku, aku tidak suka melihatnya berdekatan dengan Lala. Tapi, tak mungkin juga aku melarangnya. Aku mulai gelisah dengan keberadaan lelaki itu. Ia memang cukup tampan, berpakaian rapi, berambut rapi, kumis dan jenggotnya tercukur mulus, dan tingginya hampir sama denganku. Sangat pantas jika berpasangan dengan Lala, tapi aku juga demikian. 

Dari pada semakin tak karuan yang kupikirkan, kuputuskan untuk pulang, apalagi sudah hampir jam 5, itu saatnya aku pulang kerja. Aku tak sempat berbicara apa-apa lagi dengan Lala. Lelaki itu membuat perjalananku menuju rumah menjadi tidak tenang. Namun, sesampainya di rumah, istriku selalu menyambut dengan baik, lemah lembut, dan penuh kasih sayang. Ia tak tau bahwa hari ini aku sudah berbohong, kalau ia tau mungkin itu akan membuatnya kecewa. Aku tidak mau itu terjadi dan aku segera melupakan hal itu. Kupikir lelaki benama Musa itu memang pantas untuknya.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar