Jumat, 02 Januari 2015

Anak Sebuah Mitos

    Oleh : Hudy Majnun



Wanita setengah baya itu tiba-tiba memelukku dari belakang, saat aku sedang bersantai menikmati sore yang terguyur hujan. “Kau sudah besar” ucap wanita itu dengan nada menahan tangis. Ia adalah wanita yang kadang datang dengan misterius kerumahku. Sejak kecil ibuku jarang memperbolehkanku menemuinya, aku tidak tau apa yang ada dalam pikiran ibuku. Aku hanya bisa menuruti apa yang ibu perintahkan, karena aku tau, seorang ibu selalu mengiginkan yang terbaik untuk anaknya. Mungkin orang itu adalah orang yang jahat, hingga ibuku tak mengijinkanku dekat dengannya. 


Beberapa bulan yang lalu, wanita yang semakin tua itu datang lagi kerumahku. Kali ini dia tak aku temui, dia hanya menitipkan sebuah bingkisan untukku. Isi bingkisan itu hanya berisi baju warna coklat. Baju itu sangat bagus, aku menyukainya dan aku sering memakainya. “baju itu sudah kusam, kenapa kamu masih sering memakainya?” tanya ibuku. “aku menyukainya bu, meskipun sekarang sudah kusam. Tapi rasanya sama saja saat baju ini masih baru” jawabku. Baju itu memang telah kusam, karena baju itu yang lebih sering aku pakai dari pada baju-baju yang lain. Obrolan sesaat dengan ibu berlalu begitu saja, ibuku pergi kerumah tetangga, berkumpul dengan ibu-ibu yang lain untuk sekedar mengobrolkan hal-hal tak penting. Kalau mereka sedang berkumpul, obrolan mereka lebih tajam dari pada gosip-gosip di TV. 


Rumah tetanggaku akhir-akhir ini sering ramai dengan orang-orang, maklum rumah itu baru saja lahir seorang anak bayi laki-laki. Tangisnya sering terdengar nyaring kerumahkan, bahkan ketika larut malam tangisan itu masih sering terdengar, dan itu membuat malam semakin seram. Tangisan bayi itu seperti tangisan kuntilanak dalam film-film horor asli Indonesia. Saat aku mendengarkan tangisan bayi itu, bayanganku langsung dipenuhi hantu-hantu asli Indonesia itu, terutama kuntilanak. Itu menurutku hantu yang paling menyeramkan dari hantu-hantu yang lain, karena kuntilanak dapat menyamar menjadi wanita cantik. Ketika ada laki-laki mendekatinya dan hendak mencumbuinya, wanita cantik itu tiba-tiba berubah wujud menjadi sesosok wanita yang menyeramkan, dengan tangis dan tawa khasnya, “ih,ih,ih,ih,ihhhhh”begitu. Oleh sebab itu, sampai saat ini aku masih takut untuk mendekati seorang wanita cantik, apalagi saat malam hari. 


Dua minggu kemudian aku tak lagi mendengar tangisan bayi itu. Mungkin bayi itu sudah lelah menangis, atau bosan menangis hingga dia memutuskan untuk diam, atau menangis dalam hati saja. Namun perkiraanku salah, karena pada siangnya aku datang kerumah tetanggaku itu. “kemana bayinya mbak?” tanyaku. “ohh, dia ada di rumah budenya. Dia merawatnya sementara, soalnya aku masih ada kuliah” jawab mbak Suni dengan polosnya. Bayi itu terlahir dari rahim seorang mahasiswa, karena masih ada kuliah dan tak selalu bisa merawatnya, ia ditawari oleh budenya. Anaknya akan dirawat budenya yang tak punya anak. “itu juga untuk membantu budeku, biar dia bisa hamil juga” tambah mbak Suni. “begitu ya mbak”. Setelah saat itu aku tak lagi khawatir akan bayangan hantu setelah mendengar tangisan pada malam hari. Bayi itu sudah pindah tangan. 


Pagi hari aku selalu disibukkan dengan selimut yang selalu meliliti tubuhku. “bangun Ir, sudah siang” teriak ibuku dari luar kamar. “sekarang kan libur buk” jawabku. “iya, tapi tidak baik bangun terlalu siang, nanti rejekimu dipatok ayam”. Mendengar kata-kata itu aku langsung bergegas bangun, cuci muka, lalu melanjutkan berbaring di depan TV. Kali ini ibuku tak melarangku untuk bermalas-malasan di depan TV, yang penting aku tak melanjutkan tidur. Aku juga tak mau rejekiku dipatok ayam, meskipun di rumahku tidak ada ayam. Beberapa saat kemudian teh hangat ia sajikan sebagai teman bermalasku. “cepat mandi, lalu makan” ucap ibuku. Ibuku sangat perhatian, meskipun dia sering menjadi sosok yang sangat misterius, dan sering merahasiakan sesuatu dariku. Mengenai tetanggaku itu, sampai beberapa minggu kemudian aku tak sekalipun melihat bayi itu. Meskipun mbak Suni tidak ada kuliah dan kupikir dia sekarang sedang libur akhir semester, tapi tidak ada bayi yang seharusnya ia susui.


Suatu malam aku tak bisa tidur, aku seperti merindukan tangisan bayi menyeramkan itu. Malam itu begitu sunyi, lebih sunyi dari pada saat aku tidur, karena mimpi-mimpiku begitu bising. Sesekali suara burung hantu seperti memanggil-manggil sebuah nama, suaranya yang terpotong-potong seperti mengisyaratkan sesuatu. Beberapa saat kemudian aku mendengar suara orang tersedu-sedu, seperti sebuah tangisan namun tak selepas bayi itu menangis. Suara itu berasal dari rumah mbak Suni, mungkin saja itu benar-benar dia. Suara tangisan tersedu-sedu itu terus diiringi oleh suara burung hantu yang terasa semakin mendekat dan menjauh. Malam itu membuatku hanya bisa tidur sekitar 2 jam saja. Bayanganku dipenuhi hal-hal aneh. Apalagi orang di desaku percaya, bahwa kalau ada burung hantu di bawah burung itu pasti ada sesosok hantu yang menemaninya. Tapi, aku tidak terlalu percaya akan hal itu, karena burung hantu saat ini bisa menjadi peliharaan orang dan di kebon binatang aku dapat menemui burung hantu yang jumlahnya cukup banyak. Tidak mungkin hantu bermain di siang hari.


Keesokan harinya aku melihat mbak Suni sedang menjemur pakaianya. Ia menjemur banyak baju bayi dan pakaiannya sendiri. Sinar matahari membuat wajahnya yang cukup manis bersinar-sinar, ia masih cukup muda. Aku melihat matanya bengkak, seperti orang habis menangis. Mungkin betul mbak Suni yang malam itu menangis tersedu-sedu. Aku tak berani menanyakan itu padanya. Aku hanya tetangganya dan suami mbak Suni cukup aku segani. Suaminya juga masih cukup muda, tapi ia sudah bekerja. Kadang aku dan suaminya ngobrol-ngobrol sampai larut malam, sambil menunggu pertangdingan sepak bola dimulai. Ia juga sangat tertutup mengenai keluarganya. Aku juga tak berani menanyakan hal-hal yang menyangkut kehidupan keluarganya. 


Suatu malam suami mbak Suni mengajakku ke sebuah cafe. Ia menraktirku beberapa botol minuman. Aku tau minuman itu tidak baik untukku, minuman itu berarkohol. Tapi aku tidak bisa menolaknya, karena ia telah membelikannya untukku. Kita minum sampai larut malam, pembicaraan kita tak bertema. Di situlah ia tiba-tiba menceritakan hal yang tak pernah aku duga, tentang istrinya dan anaknya. “aku dan istriku tidak bisa menemui anakku lagi” katanya dengan nada sedih. “bude kurang ajar, tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa” tambahnya. Aku tidak menjawab apa-apa setelah ia melontarkan perkataan itu. Mungkin ia sedang bersedih sehingga dia memesan minuman seperti itu. Sepertinya ia butuh teman untuk bercerita. Setelah beberapa saat aku baru menjawabnya “kenapa bisa begitu mas?” tanyaku. “awalnya karena aku dan istriku sibuk, bude istriku menawari kami. Ia ingin merawat dan meminjam anak kami, dengan alasan agar ia bisa hamil. Tapi, karena ia tak kunjung hamil, kami tidak pernah diperbolehkan bertemu dengan anak kami. Ia mengambil anakku” ia tidak bisa menahan air matanya. Aku pun turut bersedih mendengar cerita itu. “kenapa ngak lapor polisi saja mas?” tanyaku. “tidak mungkin, ia sangat baik dulunya pada kami, bahkan biaya melahirkan istriku ia yang memberi kami pinjaman uang. Orang tua istriku juga tak memperkenankan kami melaporkan ini pada polisi, dengan alasan ini hanya masalah keluarga” jawabnya. Aku tidak bisa menyarankan apa-apa lagi, setidaknya bebannya menjadi sedikit ringan dengan berbagi cerita denganku. “maaf bang, cafenya sudah mau tutup” pelayan itu memotong pembicaraan kami. Kami pulang tergopong-gopong, ia aku sarankan untuk tidur di rumahku, agar keluarganya tidak tau apa yang telah ia lakukan malam itu. 


Memang, di desaku hal seperti ini sering terjadi. Orang-orang percaya bahwa orang yang sulit hamil, dengan ia meminjam bayi orang lain selama beberapa hari untuk dirawatnya ia dapat hamil juga. Kepercayaan seperti ini sepertinya sudah mengakar, tapi tidak semuanya berhasil. Contoh yang gagal mungkin seperti yang dialami bude mbak Suni. Pada akhirnya anak mbak Suni yang harus jadi korban, dan mbak Suni dan suaminya yang harus mengalami kesedihan. 


Seminggu kemudian aku tak lagi melihat mbak Suni dan suaminya, katanya mereka sudah pindah keluar kota, ke dekat kampus mbak Suni dan tempat kerja suaminya. Sejak saat itu juga tak ada lagi yang mengajakku ngobrol sampai larut malam. Hanya ada laron-laron yang mengerubungi lampu teras rumahku. Mereka seperti membutukan kehangatan malam, tapi mereka tak berani menikmati hangatnya matahari di siang hari. Mungkin di kehidupan laron-laron itu juga ada kepercayaan seperti kehidupan manusia. Mungkin mereka juga percaya bahwa lampu di teras rumahku adalah matahari. Tapi sayang, kehidupan laron itu sangat singkat, karena mereka harus mati setelah terjatuh di kolam ikan depan rumahku. Lampu itu juga berada tepat di atas kolamku dan laron yang terjatuh akan menjadi santapan ikanku.  Sampai disitu saja kehidupan laron itu. 


*


Suatu hari, ketika aku berjalan-jalan di pasar yang cukup jauh dari rumahku, aku melihat wanita setengah baya itu sedang berjalan dan hendak memasuki sebuah gedung. Wanita itu tak melihatku, kali ini ia berpakaian cukup rapi meskipun sudah lewat setengah baya. Mungkin ia bekerja di gedung itu, aku membuntutinya. Aku ingin tahu, kenapa wanita itu sering datang kerumahku dan selalu ingin menemuiku. Ia masuk ke gedung itu dan hilang di antara ruang2 yang begitu banyak. Aku tak tahu harus mencarinya kemana. Aku coba bertanya pada recepsionis yang ada di dekat pintu masuk. “ada yang bisa saya bantu pak?” tanyanya dengan lemah lembut. Ia memanggilku dengan sebutan “pak”, mungkin aku terlihat tua, atau dia hanya menghormati setiap orang yang datang, aku tidak peduli. “wanita lewat setengah baya yang barusan masuk kemana ya mbak?, ia pakai baju biru” tanyaku. “ohh, Bu Suni ya. Ia ke ruang meeting, sedang ada pertemuan. Kalau bapak ingin menemuinya mungkin besaok saja. Ini kartu namanya” jawabnya. aku mengambil kartu nama itu dan langsung bergegas pulang “terima kasih mbak”. Aku sangat terkejut dengan apa yang diakatakan wanita itu, namanya sangat tidak asing untukku. 


Sampai di rumah aku melihat kartu nama yang diberikan wanita itu, “Suni Saraswati”. “apa yang sedang kamu lihat ?” ibuku mengejutkanku. “tidak ada bu” jawabku. Tapi ibuku berusaha melihat apa yang aku pegang. Aku memberikan kartu nama itu padanya. Ketika ibu melihat kartu nama itu wajahnya langsung memucat. Aku tidak tahu apa yang membuatnya sedih. Wajahnya semakin pucat, aku memperhatikan wajahnya dan air matanya menetes. 


“dari mana kamu mendapatkannya nak?” tanya ibuku. 


“dari kantornya bu. Aku mengikuti wanita yang sering datang kemari, ia masuk ke sebuah gedung, tapi aku aku tidak bertatap muka dengannya kok bu. Aku tidak mungkin melanggar apa yang ibu perintahkan. Aku mendapatkan kartu itu dari recepcionis. Ia memberikan ini padaku”.


“ia nak, aku percaya padamu” air mata ibuku semakin deras, ia tersedu-sedu.


“kenapa ibu menangis, siapa sebenarnya wanita itu” sejenak ibu terdiam, beberapa saat kemudian ia melanjutkan pembicaraan.


“ia orang yang melahirkanmu nak”


“apa.... apa maksud ibu?”


“ya, dia ibumu, dia orang yang melahirkanmu. Sudah saatnya kamu tau, maafkan ibu, selama ini ibu sudah menutupinya. Ibu sayang padamu, ibu tidak mau berpisah denganmu. Kamu anakku satu-satunya”.


Aku tak dapat berkata apa-apa lagi. Meskipun ibuku bukan orang yang melahirkanku, ia adalah orang yang sangat baik. Aku tidak mengerti harus berbuat apa. Aku hanya ingin berterimakasih pada Soir yang telah menceritakan ini, bagaimana ketika aku dilahirkan, hingga aku menemukan orang yang melahirkanku saat ini. 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar