Minggu, 26 April 2015

Harga Sebuah Kesepian



Oleh : Hudy Majnun



Suatu sore yang cerah, ia menikmati segelas teh hangat untuk menghangatkan diri, semakin hangat lagi saat ia menikmati teh di dekat tungku api dapurnya. Rasanya seperti tak punya dosa apapun, tidak ada pikiran apapun yang dapat mengganggunya. Sesekali tangannya mengembangkan dekat api, agar semakin hangat yang ia rasakan. Setelah merasa hangat, ia keluar dari dapur yang beralaskan tanah. Sengaja rumahnya tidak dilapisi semen ataupun kramik, dengan begitu ia merasa lebih dekat dengan bumi. Beberapa saat kemudian ia keluar dari rumah, menuju halaman yang dikelilingi pepohanan. Setiap hari ia selalu menyempatkan diri untuk duduk di kursi halaman rumahnya, menikmati setiap hembusan angin, menikmati lambaian dedaunan, bunga-bunga, dan hangatnya matahari yang kadang menyengat. Setiap kali ia merasakan ketenangan dan kenikmatan di halaman rumahnya, ia selalu berkata “Dunia yang Agung” dengan menelentangkan kedua tangannya, seolah ia baru saja terbebas dari kurungan panjang. Tak perlu mencari daerah yang tinggi/mendaki gunung untuk menikmati senja ataupun matahari terbit, karena rumahnya berada di daerah yang cukup tinggi. Rumahnya begitu sepi, hanya ia seorang diri. Tetangganya cukup jauh dari rumahnya, tetangga paling dekat berada di jarak sekitar 100 M. 


Dua anaknya ia sekolahkan di kota yang cukup jauh dari rumahnya. Sebenarnya ia tak ingin menyekolahkan anaknya, tapi karena sudah menjadi tanggungjawab dan tuntutan dari keadaan, ia terpaksa menyekolahkan anaknya hanya untuk menjalani kewajibannya sebagai orang tua. Sekarang, anak pertamanya sudah kelas 3 SMA dan anak keduanya baru kelas 4 SD. Sejak sekolah, kedua anaknya sudah tidak tinggal dengan orang tuanya, mereka tinggal dengan nenek dari ibu, karena lebih dekat dengan sekolah.


Ia memutuskan hidup sendiri ketika ditinggal istrinya. Saat anak pertamanya baru lulus SD, istrinya pergi entah kemana, meninggalkan dirinya tanpa pesan apapun. Setelah beberapa bulan kemudian istrinya memberi kabar, bahwa ia berada di negeri tetangga dan sudah bekerja disana. Itu cukup melegakan dirinya sejenak, walau ia tak terima dengan perlakuan istrinya, ia tetap sabar dan mencoba berpikir baik mengenai istrinya, hatinya masih lebih berfungsi daripada otaknya. Tapi, setelah kabar dan sabar itu terjadi, sebulan kemudian istrinya memberi kabar lagi melalui surat. Ia mengabarkan bahwa dirinya baik-baik saja dan bahagia, selain itu surat itu juga berisi tentang permintaan cerai dari istrinya, dengan alasan ia lebih bahagia seperti itu. Itu cukup membuat pria bernama Rasi ini terpukul, hancur hatinya, sedih, kehilangan, dan sebagainya. Namun, itu hanya ia rasakan beberapa hari saja. Karena ada sesuatu yang ia kerjakan, yang membuatnya menjadi lebih sabar. 


Setelah itu ia kembali tenang dan semakin tenang saat hidup sendirian, kemudian pindah rumah ke lokasi yang lebih tenang, di daerah pegunungan. Di sanalah ia menemukan ketenangan, namun ia tak pernah kesepian, karena di sekitarnya banyak hewan-hewan yang senantiasa menjadi teman. Ketika pagi, ia disambut berbagai kicau burung yang merdu, sampai sore tak pernah sepi hewan apa saja berkeliaran di pepohonan halaman rumahnya. Sengaja ia tanami halamannya dengan pohon-pohon yang menjadi kesenangan hewan-hewan. Ada pohon bringing yang berdaun lebat, pinus, dan sebagainya. Halamannya lebih luas daripada rumahnya. Ada hal aneh yang sering terjadi padanya, ketika berada di halaman rumahnya, ia kadang terdiam dalam waktu yang lama, bisa dari pagi sampai sore ia duduk di kursi bawah pohon, kadang seperti orang tidur, tapi ketika ada tetangganya memanggil ia langsung menjawab. Ketika Rasi seperti orang tidur, kadang ada hewan mendekat dan hinggap di kursi tempat ia duduk, kursi panjang yang terbuat dari kayu seadanya, tanpa sandaran. Ia selalu bersandar ke pohon kalau sedang duduk disana. Entah kenapa hewan-hewan itu tidak kabur meskipun ia bangun tiba-tiba. 


Kedua anaknya kadang datang ke tempat itu, untuk minta jatah uang jajan dan sebagainya. Ia tak pernah kekurangan, sawah yang ia tanami selalu mencukupi kebutuhan ekonomi dan biaya untuk anaknya. Suatu sore, anak pertamanya datang ketika Rasi sedang tertidur di kursi biasanya. Anaknya melihat ayahnya sedang tertidur di kusri, kemudian ia ingin membuat kejutan dengan mengagetkan ayahnya. Ia mendekat pelan-pelan, ketika ia sudah berada di belakangnya ayahnya dan siap mengagetkan, tiba-tiba ayahnya lansung menoleh dan berkata “hayooo, mau ngagetin ayah ya..?”, “ahh... ayah selalu begitu”, “duduk sini” lanjut ayahnya. 


Setelah obrolah di halaman selesai mereka masuk ke dalam rumah, ayahya sudah menyediakan masakan kesukaan anaknya, jamur... ya, itu adalah sayur kesukaannya sejak kecil, dan Rasi selalu mencarikan jamur untuk anaknya setiap pagi. “wahhh... ayah selalu mengerti kesukaanku” kata anaknya. Rasi hanya tersenyum. Dengan sangat nikmat mereka melahap makanan yang ada di meja. Semua makanan adalah masakannya Rasi sendiri, walau hanya makanan sederhana, itu adalah makanan yang paling nikmat menurutnya. Mungkin menurut mereka berdua makanan yang mereka makan adalah makanan yang lebih enak dari pada makanan di restoran. Mereka makan sambil berbicara santai. Rasi banyak menceritakan tentang keadaan halamannya yang semakin indah, tentang hewan-hewan, dan sebagainya. Sedang anaknya menceritakan berbagai macam permasalahan yang terjadi sekolah, di lingkungannya, dan di kota-kota besar, baik masalah bencana alam, penyakit, peperangan, teroris, permasalah politik dan pemerintahan, dan sebagainya. 


Ayahnya sangat tertarik dengan semua cerita yang diceritakan anaknya. Apalagi semua cerita mengandung masalah. Kadang memang hidup tidak luput dari masalah, tapi masalah tak harus menimbulkan perpecahan, apalagi kebencian antar sesama. 


“apa masalah yang paling hangat menurutmu, anakku?” tanya Rasi


“semua masalah terasa hangat yah. Soalnya selalu diulur-ulur penyelesaiannya, apalagi masalah di pemerintahan. Wahh... pokoknya akan pusing kalau memikirkannya”.


“yasudah... aku tidak mau kamu yang pusing karena menceritakannya padaku”.


Suap demi suap terus masuk ke dalam mulut mereka, melalui ternggorokan, kemudian lambung, dan perut. Namun pada akhirnya harus ada yang terbuang ke sungai ataupun toilet. Manusia seperti hanya sebuah penyaringan, yang tak terbuang akan kau gunakan untuk berbagai macam aktivitas, itu yang sering disebut energi. Mereka terus memakan makanan sambil sesekali berbicara. 


“memang apa yang menjadi penyebab utama permasalahan itu, anakku?” tanya Rasi.


Setelah menelan makanan yang dikunyahnya, anaknya menjawab. “tidak tau yah, mungkin mereka sedang bercanda dengan hal yang main-main, hahaha”. 


“kau bisa saja anakku. Mungkin hati mereka dikalahkan oleh otaknya, jadi ambisi mereka tidak tertahankan. Padahal solat mereka kadang masuk TV kan. Sudah solat kok masih begitu”. 


“maksud ayah?”


“tidak ada maksud apa-apa, hanya sekedar ngomong. Ayah kadang bingung, apa yang sebenarnya manusia cari”.


“cari masalah mungkin yah. Hehe. Kalau aku sendiri ya cari ilmu”.


“cari ilmu ya memang wajib. Dengan ilmu kamu akan menemukan apa yang kamu cari, bukan malah menyesatkan. Repot kalau melihat mereka dengan berbagai permasalahan itu. Mending kayak ayah disini, tidak ada sedikitpun masalah, dan tenang sekali, menikmati sebuah kemerdekaan.”


“kita kan punya dunia dan pilihan masing-masing yah”.


“begitulah yang ada dalam pikiran orang. Ilmu mereka yang bermasalah begitu banyak, bahkan gelar mereka begitu panjang, rata-rata sudah naik haji, namun pada akhirnya mereka terjebak banyak permasalahan dan tidak ada yang mau mengalah”.


Tidak ada inti dari pembicaraan itu. Makanan sudah habis, meja dibersihkan, dan anak Rasi berpamitan untuk pulang. Rasi kembali ke halaman rumahnya. Ia terbayang-bayang cerita yang disampaikan anaknya, bahkan cerita yang banyak mengandung masalah itu menggingatkannya pada permasalahannya sendiri. Ia teringat istrinya, namun tidak ada lagi sakit hati. Permasalahan dengan istrinya bukanlah sebuah permasalahan yang banyak dibayangkan orang. Itu hanyalah sebuah peristiwa biasa baginya, kehilangan sesosok istri bukan berarti kehilangan cintanya pada istrinya. Bahkan ia semakin mencintai istrinya yang meninggalkannya. Semakin hari ia semakin cinta kepada istrinya yang telah pergi, ia selalu menguatkan cintanya dengan prasangka-prasangka baik. “istriku kini tak berwujud, seperti Tuhanku, dan aku sangat mencintainya. Aku akan terus menanti dan mencari sebuah pertemuan dengan dirinya.” Cerita anaknya membuatnya mengingat banyak hal. Bahkan sesekali ia seolah seperti menjadi sisi lain dari masalah yang ada di pemerintahan. 


Tak salah ia memilih untuk hidup sendirian. Sendirian bukan berarti kesepian, disitu kita akan menemukan berbagai pengetahuna yang jernih untuk pikiran dan hati. Orang-orang yang selalu hidup di tengah keramaian pasti akan rindu sebuah kesepian. Entah dimana mereka akan menemukan kesepian, mungkin di kamar mandi, dalam lemari, atau bahkan di dalam kubur. Aku tidak pernah membayangkan orang sesibuk presiden, menteri, dan orang-orang pemerintahan lainnya bisa menemukan sebuah kesepian, atau ketenangan. 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar