Wanita
setengah baya itu tiba-tiba memelukku dari belakang, saat aku sedang bersantai
menikmati sore yang terguyur hujan. “Kau sudah besar” ucap wanita itu dengan
nada menahan tangis. Ia adalah wanita yang kadang datang dengan misterius
kerumahku. Sejak kecil ibuku jarang memperbolehkanku menemuinya, aku tidak tau
apa yang ada dalam pikiran ibuku. Aku hanya bisa menuruti apa yang ibu
perintahkan, karena aku tau, seorang ibu selalu mengiginkan yang terbaik untuk
anaknya. Mungkin orang itu adalah orang yang jahat, hingga ibuku tak
mengijinkanku dekat dengannya.
Beberapa
bulan yang lalu, wanita yang semakin tua itu datang lagi kerumahku. Kali ini
dia tak aku temui, dia hanya menitipkan sebuah bingkisan untukku. Isi bingkisan
itu hanya berisi baju warna coklat. Baju itu sangat bagus, aku menyukainya dan
aku sering memakainya. “baju itu sudah kusam, kenapa kamu masih sering
memakainya?” tanya ibuku. “aku menyukainya bu, meskipun sekarang sudah kusam.
Tapi rasanya sama saja saat baju ini masih baru” jawabku. Baju itu memang telah
kusam, karena baju itu yang lebih sering aku pakai dari pada baju-baju yang
lain. Obrolan sesaat dengan ibu berlalu begitu saja, ibuku pergi kerumah
tetangga, berkumpul dengan ibu-ibu yang lain untuk sekedar mengobrolkan hal-hal
tak penting. Kalau mereka sedang berkumpul, obrolan mereka lebih tajam dari
pada gosip-gosip di TV.
Rumah
tetanggaku akhir-akhir ini sering ramai dengan orang-orang, maklum rumah itu
baru saja lahir seorang anak bayi laki-laki. Tangisnya sering terdengar nyaring
kerumahkan, bahkan ketika larut malam tangisan itu masih sering terdengar, dan
itu membuat malam semakin seram. Tangisan bayi itu seperti tangisan kuntilanak
dalam film-film horor asli Indonesia. Saat aku mendengarkan tangisan bayi itu,
bayanganku langsung dipenuhi hantu-hantu asli Indonesia itu, terutama
kuntilanak. Itu menurutku hantu yang paling menyeramkan dari hantu-hantu yang
lain, karena kuntilanak dapat menyamar menjadi wanita cantik. Ketika ada
laki-laki mendekatinya dan hendak mencumbuinya, wanita cantik itu tiba-tiba
berubah wujud menjadi sesosok wanita yang menyeramkan, dengan tangis dan tawa
khasnya, “ih,ih,ih,ih,ihhhhh”begitu. Oleh sebab itu, sampai saat ini aku masih
takut untuk mendekati seorang wanita cantik, apalagi saat malam hari.
Dua
minggu kemudian aku tak lagi mendengar tangisan bayi itu. Mungkin bayi itu
sudah lelah menangis, atau bosan menangis hingga dia memutuskan untuk diam,
atau menangis dalam hati saja. Namun perkiraanku salah, karena pada siangnya
aku datang kerumah tetanggaku itu. “kemana bayinya mbak?” tanyaku. “ohh, dia
ada di rumah budenya. Dia merawatnya sementara, soalnya aku masih ada kuliah” jawab
mbak Suni dengan polosnya. Bayi itu terlahir dari rahim seorang mahasiswa,
karena masih ada kuliah dan tak selalu bisa merawatnya, ia ditawari oleh
budenya. Anaknya akan dirawat budenya yang tak punya anak. “itu juga untuk
membantu budeku, biar dia bisa hamil juga” tambah mbak Suni. “begitu ya mbak”.
Setelah saat itu aku tak lagi khawatir akan bayangan hantu setelah mendengar
tangisan pada malam hari. Bayi itu sudah pindah tangan.
Pagi
hari aku selalu disibukkan dengan selimut yang selalu meliliti tubuhku. “bangun
Ir, sudah siang” teriak ibuku dari luar kamar. “sekarang kan libur buk”
jawabku. “iya, tapi tidak baik bangun terlalu siang, nanti rejekimu dipatok
ayam”. Mendengar kata-kata itu aku langsung bergegas bangun, cuci muka, lalu
melanjutkan berbaring di depan TV. Kali ini ibuku tak melarangku untuk
bermalas-malasan di depan TV, yang penting aku tak melanjutkan tidur. Aku juga
tak mau rejekiku dipatok ayam, meskipun di rumahku tidak ada ayam. Beberapa
saat kemudian teh hangat ia sajikan sebagai teman bermalasku. “cepat mandi,
lalu makan” ucap ibuku. Ibuku sangat perhatian, meskipun dia sering menjadi
sosok yang sangat misterius, dan sering merahasiakan sesuatu dariku. Mengenai
tetanggaku itu, sampai beberapa minggu kemudian aku tak sekalipun melihat bayi
itu. Meskipun mbak Suni tidak ada kuliah dan kupikir dia sekarang sedang libur
akhir semester, tapi tidak ada bayi yang seharusnya ia susui.
Suatu
malam aku tak bisa tidur, aku seperti merindukan tangisan bayi menyeramkan itu.
Malam itu begitu sunyi, lebih sunyi dari pada saat aku tidur, karena
mimpi-mimpiku begitu bising. Sesekali suara burung hantu seperti
memanggil-manggil sebuah nama, suaranya yang terpotong-potong seperti
mengisyaratkan sesuatu. Beberapa saat kemudian aku mendengar suara orang
tersedu-sedu, seperti sebuah tangisan namun tak selepas bayi itu menangis.
Suara itu berasal dari rumah mbak Suni, mungkin saja itu benar-benar dia. Suara
tangisan tersedu-sedu itu terus diiringi oleh suara burung hantu yang terasa
semakin mendekat dan menjauh. Malam itu membuatku hanya bisa tidur sekitar 2
jam saja. Bayanganku dipenuhi hal-hal aneh. Apalagi orang di desaku percaya,
bahwa kalau ada burung hantu di bawah burung itu pasti ada sesosok hantu yang
menemaninya. Tapi, aku tidak terlalu percaya akan hal itu, karena burung hantu
saat ini bisa menjadi peliharaan orang dan di kebon binatang aku dapat menemui
burung hantu yang jumlahnya cukup banyak. Tidak mungkin hantu bermain di siang
hari.
Keesokan
harinya aku melihat mbak Suni sedang menjemur pakaianya. Ia menjemur banyak
baju bayi dan pakaiannya sendiri. Sinar matahari membuat wajahnya yang cukup
manis bersinar-sinar, ia masih cukup muda. Aku melihat matanya bengkak, seperti
orang habis menangis. Mungkin betul mbak Suni yang malam itu menangis
tersedu-sedu. Aku tak berani menanyakan itu padanya. Aku hanya tetangganya dan
suami mbak Suni cukup aku segani. Suaminya juga masih cukup muda, tapi ia sudah
bekerja. Kadang aku dan suaminya ngobrol-ngobrol sampai larut malam, sambil
menunggu pertangdingan sepak bola dimulai. Ia juga sangat tertutup mengenai
keluarganya. Aku juga tak berani menanyakan hal-hal yang menyangkut kehidupan
keluarganya.
Suatu
malam suami mbak Suni mengajakku ke sebuah cafe. Ia menraktirku beberapa botol
minuman. Aku tau minuman itu tidak baik untukku, minuman itu berarkohol. Tapi
aku tidak bisa menolaknya, karena ia telah membelikannya untukku. Kita minum
sampai larut malam, pembicaraan kita tak bertema. Di situlah ia tiba-tiba
menceritakan hal yang tak pernah aku duga, tentang istrinya dan anaknya. “aku
dan istriku tidak bisa menemui anakku lagi” katanya dengan nada sedih. “bude
kurang ajar, tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa” tambahnya. Aku tidak menjawab
apa-apa setelah ia melontarkan perkataan itu. Mungkin ia sedang bersedih
sehingga dia memesan minuman seperti itu. Sepertinya ia butuh teman untuk
bercerita. Setelah beberapa saat aku baru menjawabnya “kenapa bisa begitu mas?”
tanyaku. “awalnya karena aku dan istriku sibuk, bude istriku menawari kami. Ia
ingin merawat dan meminjam anak kami, dengan alasan agar ia bisa hamil. Tapi,
karena ia tak kunjung hamil, kami tidak pernah diperbolehkan bertemu dengan
anak kami. Ia mengambil anakku” ia tidak bisa menahan air matanya. Aku pun
turut bersedih mendengar cerita itu. “kenapa ngak lapor polisi saja mas?”
tanyaku. “tidak mungkin, ia sangat baik dulunya pada kami, bahkan biaya
melahirkan istriku ia yang memberi kami pinjaman uang. Orang tua istriku juga
tak memperkenankan kami melaporkan ini pada polisi, dengan alasan ini hanya
masalah keluarga” jawabnya. Aku tidak bisa menyarankan apa-apa lagi, setidaknya
bebannya menjadi sedikit ringan dengan berbagi cerita denganku. “maaf bang,
cafenya sudah mau tutup” pelayan itu memotong pembicaraan kami. Kami pulang
tergopong-gopong, ia aku sarankan untuk tidur di rumahku, agar keluarganya
tidak tau apa yang telah ia lakukan malam itu.
Memang,
di desaku hal seperti ini sering terjadi. Orang-orang percaya bahwa orang yang
sulit hamil, dengan ia meminjam bayi orang lain selama beberapa hari untuk
dirawatnya ia dapat hamil juga. Kepercayaan seperti ini sepertinya sudah
mengakar, tapi tidak semuanya berhasil. Contoh yang gagal mungkin seperti yang
dialami bude mbak Suni. Pada akhirnya anak mbak Suni yang harus jadi korban,
dan mbak Suni dan suaminya yang harus mengalami kesedihan.
Seminggu
kemudian aku tak lagi melihat mbak Suni dan suaminya, katanya mereka sudah
pindah keluar kota, ke dekat kampus mbak Suni dan tempat kerja suaminya. Sejak
saat itu juga tak ada lagi yang mengajakku ngobrol sampai larut malam. Hanya
ada laron-laron yang mengerubungi lampu teras rumahku. Mereka seperti
membutukan kehangatan malam, tapi mereka tak berani menikmati hangatnya
matahari di siang hari. Mungkin di kehidupan laron-laron itu juga ada
kepercayaan seperti kehidupan manusia. Mungkin mereka juga percaya bahwa lampu
di teras rumahku adalah matahari. Tapi sayang, kehidupan laron itu sangat
singkat, karena mereka harus mati setelah terjatuh di kolam ikan depan rumahku.
Lampu itu juga berada tepat di atas kolamku dan laron yang terjatuh akan
menjadi santapan ikanku. Sampai disitu
saja kehidupan laron itu.
*
Suatu
hari, ketika aku berjalan-jalan di pasar yang cukup jauh dari rumahku, aku
melihat wanita setengah baya itu sedang berjalan dan hendak memasuki sebuah
gedung. Wanita itu tak melihatku, kali ini ia berpakaian cukup rapi meskipun
sudah lewat setengah baya. Mungkin ia bekerja di gedung itu, aku membuntutinya.
Aku ingin tahu, kenapa wanita itu sering datang kerumahku dan selalu ingin
menemuiku. Ia masuk ke gedung itu dan hilang di antara ruang2 yang begitu
banyak. Aku tak tahu harus mencarinya kemana. Aku coba bertanya pada
recepsionis yang ada di dekat pintu masuk. “ada yang bisa saya bantu pak?”
tanyanya dengan lemah lembut. Ia memanggilku dengan sebutan “pak”, mungkin aku
terlihat tua, atau dia hanya menghormati setiap orang yang datang, aku tidak
peduli. “wanita lewat setengah baya yang barusan masuk kemana ya mbak?, ia
pakai baju biru” tanyaku. “ohh, Bu Suni ya. Ia ke ruang meeting, sedang ada
pertemuan. Kalau bapak ingin menemuinya mungkin besaok saja. Ini kartu namanya”
jawabnya. aku mengambil kartu nama itu dan langsung bergegas pulang “terima
kasih mbak”. Aku sangat terkejut dengan apa yang diakatakan wanita itu, namanya
sangat tidak asing untukku.
Sampai
di rumah aku melihat kartu nama yang diberikan wanita itu, “Suni Saraswati”.
“apa yang sedang kamu lihat ?” ibuku mengejutkanku. “tidak ada bu” jawabku.
Tapi ibuku berusaha melihat apa yang aku pegang. Aku memberikan kartu nama itu
padanya. Ketika ibu melihat kartu nama itu wajahnya langsung memucat. Aku tidak
tahu apa yang membuatnya sedih. Wajahnya semakin pucat, aku memperhatikan
wajahnya dan air matanya menetes.
“dari
mana kamu mendapatkannya nak?” tanya ibuku.
“dari
kantornya bu. Aku mengikuti wanita yang sering datang kemari, ia masuk ke
sebuah gedung, tapi aku aku tidak bertatap muka dengannya kok bu. Aku tidak
mungkin melanggar apa yang ibu perintahkan. Aku mendapatkan kartu itu dari
recepcionis. Ia memberikan ini padaku”.
“ia
nak, aku percaya padamu” air mata ibuku semakin deras, ia tersedu-sedu.
“kenapa
ibu menangis, siapa sebenarnya wanita itu” sejenak ibu terdiam, beberapa saat
kemudian ia melanjutkan pembicaraan.
“ia
orang yang melahirkanmu nak”
“apa....
apa maksud ibu?”
“ya,
dia ibumu, dia orang yang melahirkanmu. Sudah saatnya kamu tau, maafkan ibu,
selama ini ibu sudah menutupinya. Ibu sayang padamu, ibu tidak mau berpisah
denganmu. Kamu anakku satu-satunya”.
Aku
tak dapat berkata apa-apa lagi. Meskipun ibuku bukan orang yang melahirkanku,
ia adalah orang yang sangat baik. Aku tidak mengerti harus berbuat apa. Aku
hanya ingin berterimakasih pada Soir yang telah menceritakan ini, bagaimana
ketika aku dilahirkan, hingga aku menemukan orang yang melahirkanku saat ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar