“XI IPS 2009”
Oleh : Hudy
Majnun
Pada hari Jum’at, Sekitar
pertengahan 2009, kami telah mempersiapkan teman-teman sekelas untuk menjadi
petugas upacara. Menjadi petugas upacara memang penuh dengan resiko, karena
kesalahan akan menjadi bahan tertawaan yang renyah bagi mereka yang tak
bertugas, bahkan seorang guru pun ingin sekali tertawa, tetapi karena ia sadar
dirinya adalah guru maka ia menahannya dengan penuh wibawa. Tak jarang kelas
kami selalu melakukan kesalahan saat menjadi petugas upacara, bahkan kelas kami
bisa dibilang petugas terburuk daripada kelas-kelas yang lain, baik kakak kelas
maupun adik kelas. Tapi, ada satu hal yang tak dimiliki kelas-kelas yang lain,
yaitu kekompakan yang solid dan inshaAllah itu kami miliki.
Hari jum’at itu, ketua kelas
dan wakil ketua kelas mengkoordinir teman-temannya, dan dengan semangat teman
yang lain mengajukan diri untuk menjadi petugas ini dan itu. Senang sekali
melihat teman-teman dengan semangat yang luar biasa, walau kadang mereka mengajukan
diri menjadi petugas yang resikonya sangat kecil, yaitu menjadi anggota paduan
suara. Itu tugas yang tidak terlalu berat karena ketika upacara bendera hanya
membawakan dua lagu kebangsaan, lagu Indonesia Raya dan Mengheningkan Cipta.
Resikonya sangat kecil, bila suara kita fals atau tidak enak didengar maka kita
bisa diam atau hanya sekedar mengikuti gerakan mulut tanpa mengeluarkan suara.
Petugas paduan suara terbilang paling mudah dan enak daripada petugas yang
lain, selain resikonya kecil dan lokasinya sangat enak. Dulu, petugas paduan
suara berada di depan kelas XI IPS dan berada tepat di bawah pohon. Jadi
petugas ini tidak akan merasa kepanasan.
Petugas dengan resiko paling
berat adalah pengibar bendera, pemimpin upacara, dan protokol atau pembawa
acara –itu menurutku. Pengibar bendera biasanya terdiri dari 3 orang, itu kalau
dulu, mungkin saja sekarang bertambah atau berkurang. Mereka akan berjalan dari
arah timur dengan langkah tegap dan kompak, itu kewajibannya. Soalnya mereka
sedang membawa bendera pusaka yang sangat sakral. Karena itu bendera yang
melambangkan kemerdekaan. Kalau salah dalam langkah akan sangat lucu, apalagi
salah mengikat bendera, yang putih diatas dan yang merah di bawah, nanti dikira
Polandia. Untuk protokol harus sangat peka terhadap aktivitas di lapangan,
kalau acara yang satu belum selesai, ia tidak boleh membacakan acara
selanjutnya. Kalau itu terjadi akan sangat lucu juga, misalnya petugas protokol
bosan menunggu sambutan pembina upacara, kemudian ia memabcakan acara
selanjutkan sebelum ia menutup sambutan. Mungkin itu akan membuat pembina
upacara tersinggung. Selain itu petugas protokol harus pandai membaca dan
memiliki suara yang enak di dengar, karena itu akan menambah hikmat upacara.
Untungnya kesalahan seperti itu jarang terjadi, terutama pada kelas XI IPS
2009. Kita selalu ambil aman, misalnya pakaian ala kadarnya, dan semua serba
ala kadarnya, yang terpenting kita tidak membuat kesalahan.
Satu lagi yang mempunyai
resiko cukup berat, yaitu pemimpin upacara. Kesalahan yang biasanya terjadi
ketika hormat atau istirahat ditempat, pemimpin upacara lupa menyiapkan atau
menegakkan kembali peserta upacara. Itu akan membuat peserta upacara bergemuruh
dan akhirnya menertawakan pemimpin upacara. Kesalahan jenis ini biasanya
mendapatkan kode dari pembina upacara, kalau pemimpin lupa biasanya pembina
akan mengerak-gerakkan alisnya dan mengangkat kapalanya supaya pemimpin upacara
ingat. Mungkin itu semacam bahasa tubuh/gerakan atau non-verbal.
Kembali ke kisah XI IPS
2009. Setelah kami membagi petugas-petugas upacara itu, kami bersiap untuk
latihan dihari sabtunya. Kami sangat senang kalau ada latihan upacara, karena
itu bisa membuat kami terbebas dari mata pelajaran di kelas. Hari jum’at
berlalu, semua petugas sudah ditentukan. Kami mempersiapkan diri lebih matang
lagi, karena waktu itu kami mendengar bahwa hari senin akan ada tamu special
yang akan ikut upacara. Mungkin dari kepolisian atau yang lain. Penentuan
petugas upacara ini – dulu waktu 2009 – memang dibuat giliran perkelas. Jadi
setiap upacara hari senin, petugas akan berganti. Jika senin ini kelas XI IPA,
maka selanjutnya Kelas XI IPS, selanjutnya lagi Kelas XII IPA, dan begitu
seterusnya sampai kembali pada kelas X A. Kalau sekarang mungkin kelasnya lebih
banyak, jadi banyak waktu untuk bersantai dan lebih lama jauh dari resiko
ditertawakan, itupun kalau sistemnya masih sama seperti dulu.
Hari sabtu itu tiba, kami
datang kesekolah dengan semangat. Seperti biasa, sebelum datang ke sekolah biasanya
sebagian dari kami berkumpul di terminal –yang gagal- di pasar sukosari. Disana
ada sebuah warung kopi, disitulah dulu kami sering berkumpul, dan itu kadang
membuat kami terlambat masuk kelas. Atau teman-teman yang datang tepat waktu
biasanya menjemur diri di samping kelas sambil menunggu guru datang. Setelah
bel masuk berbunyi, semua teman datang tanpa ada yang terlambat, malah yang
terlambat datang waktu itu adalah sang guru. Waktu itu hanya ada satu teman
kami yang tidak masuk sekolah. Sambil menunggu guru datang, kami menghabiskan
waktu dengan bercanda atau bermain apapun di dalam kelas. Kami selalu ramai dan
gaduh di dalam kelas kalau guru tak kunjung datang, bahkan kami sering
mendapatkan peringatan atau teguran dari kelas sebelah yang kami anggap sangat
rajin dulu. Kami bersebelahan dengan XI IPA, mereka kami anggap adalah
anak-anak yang rajin dan pintar, yang jelas dari pada kami. Memang dimana-mana
IPS selalu terkenal dengan kenakalan, kemalasan, ketidak disiplinan, dan
sebagainya. Tapi satu sisi positif yang jarang dipandang, bahwa kami –IPS-
punya kekompakan yang lebih. Kami orang sosial yang lebih banyak mempelajari
hidup, kehidupan, hubungan sesama, dan sebagainya.
Setelah jam istirahat
selesai kami masuk kelas kembali, dan waktu itu kami sudah bersiap-siap untuk
melakukan latihan upacara. Rian dan wakil ketua kelas mendatangi seorang guru
yang biasanya membimbing kami untuk latihan upacara. Mereka berdua keluar kelas
dan kembali beberapa menit kemudian. Mereka berdua masuk ke dalam kelas dengan
sedikit emosi, menyampaikan kabar yang kurang baik dan mengecewakan. Si Rian
masuk dengan membanting pintu kelas “kurang ajar, kita ngak jadi untuk menjadi
petugas upacara” kata Rian dengan emosi. Wakil ketua kelas menjelaskan,
“katanya, senin besok adalah giliran kelas XI IPA, padalah senin kemarin sudah
giliran mereka. Mentang-mentang akan ada tamu, kita tidak dipercaya untuk jadi
petugas upacara.” Penjelasan yang tidak jelas itu membuat teman-teman sekelas
marah. Memang senin pernah libur sekali, dan liburan itu tepat pada giliran
kelas kami menjadi petugas upacara. Kami berpikir bahwa senin selanjutnya tetap
menjadi bagian kami, tapi ternyata tidak. Kemarahan kami meledak-ledak, tidak
heran jika waktu itu banyak peryataan kotor keluar dari mulut labil kami.
Teman-teman sekelas merasa kecewa, kami tidak tau bagaimana caranya protes yang
benar, atau melakukan mediasi yang baik, yang jelas waktu itu kami sangat
kecewa, karena kami gagal menjadi petugas upacara.
Si Rian dan Wakil ketua
kelas mempunyai ide, mereka berdua mengajak semua teman sekelas untuk bolos
pada hari senin, sebagai bentuk protes. Namun, sebelum semua menyepakati hal
tersebut, guru sosiologi datang dengan wajah berseri-seri. Ia guru wanita yang cukup
cantik, baik, sangat pengertian, dan semakin cantik setelah beberapa bulan yang
lalu ia menikah. Ia masuk dan kami berusaha tenang, seolah tidak terjadi
apa-apa. Sebelum ia memulai pelajaran, Si Rian dan wakil ketua kelas berkata
akan melanjutkan pembicaraan dengan teman sekelas, setelah pelajaran sosiologi
selesai atau sebelum pulang. Pelajaran berjalan hikmah seperti biasanya. Tapi,
sepertinya guru sosiologi itu curiga, bahwa kami mempunyai rencana. Sebelum
guru itu keluar kelas, ia berpesan “rencanakan dan lakukanlah yang terbaik”, kemudian
ia pergi dengan salam. Itu membuat kami semakin bersemangat untuk melakukan
aksi.
Sebelum Si Rian dan wakil
ketua kelas melanjutkan pembicaraan yang tertunda, terlebih dahulu mereka
berdua berembuk dengan ketua kelas, namanya Heri. Heri menyutujui dan mendukung
aksi protes yang direncanakan. Akhirnya teman-teman sekelas menyetujui, bahwa
hari senin kita akan bolos semua. Oleh sebab itu mereka membuat perjanjian,
setiap anak harus menandatangani surat perjanjian yang berisi, “bahwa hari
senin harus bolos semua, kalau ada yang berkhianat akan didenda Rp. 20.000”.
Selain denda uang, mereka yang berkhianat akan mendapat hukuman selama
bersekolah, ia akan dipandang sebelah mata sebagai pengkhianat. Semua dengan
yakin menandatangani kertas tersebut, itu membuktikan bahwa kami begitu kompak,
apalagi untuk hal-hal yang tidak biasa seperti ini. Semua sudah bertanda tangan
dan berjanji, dan rencana ini hanya diketahui oleh teman-teman sekelas, tidak
akan ada yang berani membocorkannya.
Hari minggu berjalan seperti
biasanya, banyak yang bermalas di rumah, kencan, bermain, dan sebagainya. Itu
adalah hari minggu yang wajar, seperti hari minggu biasanya. Ketika minggu
malam mulai berderik, perasaan was-was untuk menghadapi hari senin semakin
membayang. Ada yang memang sudah ahli dalam membolos, namun ada juga anak rajin
yang ketakutan untuk membolos. Tidur rasanya tak nyenyak bagi mereka yang tak
biasa bolos. Namun hari senin segera berkunjung saat kami membuka mata. Ya, itu
adalah hari dimana janji dan kekompakan kami diuji. Akhirnya ada yang tetap
berangkat dengan berseragam, itu agar mereka tidak dicurigai oleh orang tuan
mereka, dan itu dilakukan agar uang saku tetap mereka dapatkan. Namun, ada juga
yang keluar rumah tanpa berseragam, ada pula yang tidur lebih lama dirumah,
menikmati bahwa hari senin adalah hari libur tambahan. Kita tidak bolos
bersama-sama, tapi kami berpencar dengan membagi menjadi beberapa kelompok. Ada
yang ke kolam renang, ada yang nongkrong di PS-an, ada juga yang nongkrong di
warung kopi. Itu kami lakukan agar tidak dicurigai oleh guru di sekolah.
Sebelumnya kami tidak pernah
membayangkan, bagaimana kondisi sekolah jika satu kelas tak ada di lapangan
saat upacara, pastilah itu hal yang unik dan menganjal. Kami juga tak
membayangkan, itu akan membuat semua guru terheran-heran. Meskipun begitu, upacara
terus berjalan seperti biasanya, tanpa kelas XI IPS. Namun ada yang hampir kami
anggap penghianat, ia adalah Febri, ternyata ia masuk seorang diri. Dan
dilapangan upacara ia berdiri sendiri pada barisan kelas XI IPS. Ia juga
diinterogasi oleh guru, “kemana teman-temanmu?” tanya seorang guru. “saya tidak
tahu pak. Hari sabtu saya tidak masuk”. Jawab Febri. Untungnya ia bukanlah
pengkhianat, karena ia tidak tahu rencana rahasia yang kami susun hari sabtu,
maka ia tetap masuk seorang diri pada hari senin itu.
Setelah upacara selesai,
beberapa guru melakukan operasi keliling, mencari anak-anak XI IPS yang entah
kemana. Namun apes, ada beberapa teman yang tertangkap basah sedang nongkrong
di dekat kolam renang. Mereka berlima tidak tahu kalau guru-guru akan mencari
kami semua. Mereka berlima tetap santai denga seragam sekolah di luar sekolah,
al-hasil mereka tertangkap dan digiring oleh guru ke sekolah. Setelah itu
mereka di tanya berbagai macam hal tentang kejadian itu. Untungnya mereka tidak
dihukum terlalu berat. Guru itu hanya mencari tau siapa yang menjadi dalang
atas semua ini. Setelah itu mereka disuruh pulang kembali. Ya mungkin mereka
hanya mendapatkan bentakan, dan itu sudah biasa bagi mereka.
Ada juga yang hampir kepergok seorang guru, yang waktu itu guru tersebut cukup kami segani karena sikapnya yang cukup keras dalam mendidik kami. Itu Heri dan Deri, mereka hanya bolos di perumahan yang tak jauh dari sekolah, dan mereka tetap mengenakan seragam. Akhirnya, untuk menghindari guru yang mencari tersebut, mereka harus masuk ke pekarangan orang-orang. Lucunya, ketika mereka berdua bersembunyi di pekarangan, mereka bertemu dengan ayah Heri yang kebetulan melewati pekarang tersebut. Mereka berdua kaget dan salah tingkah. Keluar dari mulut buaya, masuk ke mulut harimau. “ngapain kalian disini” tanya ayah Heri. Dengan gelagapan mereka menjawab “dicari pak Yudi pak” kata Heri. Untungnya ayah Heri sangat pengertian, jadi dia tak memarahi atau menghukum mereka berdua. Dan setelah itu Heri menceritakan kejadian sebenarnya pada ayahnya.
Hari senin itu begitu
membuat kami berdebar-debar. Kami saling memberitahu melalu SMS tentang
keberadaan dan kondisi di tempat kami bolos. Kami seperti dihantui oleh
bayang-bayang guru. Hari yang menegangkan itu hampir usai setelah melihat
anak-anak SMASAS pulang dan menghamburkan diri dijalanan. Hanya ada 5 orang
yang tertangkap dan yang lain cukup aman untuk hari itu.
Senin kembali memetang,
tanda siang akan berlalu. Dan kami semua harus tergelisahkan lagi menghadapi
hari selasa. Kami tahu akan ada hukuman yang akan kami terima dan itu telah
menanti kami dan kami tidak dapat menghindarinya lagi. Tapi tidak semuanya akan
dihukum. Hari selasa dua orang yang menjadi dalang waktu itu dipanggil oleh
guru BP. Entah apa yang terjadi di dalam ruang BP itu, yang jelas mereka berdua
yang dianggap bertanggungjawab atas peristiwa itu. Apapun yang terjadi dan
apapun alasannya, guru akan selalu menang atas perbuatan yang kami lakukan,
walaupun itu adalah bentuk kekecewaan kami atas kebijakan yang telah mereka
buat. Mereka selalu meliak-liukkan alasan agar kami tak berkutik. Kejadian di
dalam ruang BP tidak bisa aku ceritakan, karena itu adalah rahasia sekolahku,
dan kau bisa membayangkan dengan imajinasi liarmu tentang apa yang terjadi di
dalam ruang BP.
Setelah panggilan itu, kedua
dalang tersebut kembali lagi ke dalam kelas, tak ada kesedihan di muka mereka,
malah mereka terlihat bangga bisa melakukan itu. Mereka menceritakan pada semua
teman sekelas, dan kami cukup bangga dengan perbuatan berani yang kami lakukan,
walau itu tak sesuai aturan. Kadang aturan membuat kami terpaksa menjadi
pengecut. Kami berkumpul di kelas dengan kegaduhan cerita seru masing-masing.
Semua anak bergantian bercerita tentang yang mereka alami pada hari senin itu.
Dan sedikit cerita yang tertulis ini adalah bagian kecil yang dapat aku rekam
sampai saat ini.
Selain itu, kami mendapatkan
berbagai macam tanggapan atas perbuatan yang kami lakukan, entah dari guru
ataupun teman kelas yang lain. Ada yang memuji, ada yang terheran-heran kami
melakukan itu, namun untungnya tidak ada yang mencemooh kami. Ada seorang guru
yang sempat berkata “kalian hebat, kalian memang kompak”. Semua komentar kami
tanggapi dengan senyuman saja. Kami tahu itu perbuatan nakal yang akan jarang
sekali terjadi dengan sebuah kekompakan. Tolong jangan tiru adegan berbahaya
ini.
Setelah kejadian itu, kami
membuat suatu kekompakan lain yang menjadi contoh bagi kelas lain. Kami
melakukan pertangdingan sepak bola dengan kelas-kelas yang lain. Kami menantang
mereka dengan tulisan pada kotak tempat sampah di depan kelas. Kelas-kelas lain
yang lewat depan kelas kami menanggapi tantangan tersebut. Setiap minggu kami
meladeni kelas-kelas yang lain utnuk bertanding, tentunya dengan taruhan. Kami
tahu, kami tidak memiliki kemampuan yang baik dalam bermain sepak bola, tak
jarang kami harus berbuat curang untuk menang ataupun untuk mencegah kekalahan
yang begitu besar. hanya satu kali kami imbang melawan kelas-kelas yang lain,
dan sisanya kami kalah terus, untungnya kami bisa curang dengan tidak membayar
taruhan. Tidak hanya itu yang kami lakukan, kami juga sangat kompak saat ada
perlombaan lain antar kelas yang diadakan oleh OSIS.
Semoga kekompakan demikian
terus terjadi pada generasi-generasi penerus. Kompak, memang hal yang sulit
untuk kita lakukan. Sebab kompak harus melupakan diri sendiri, dan tujuan
bersama adalah inti. Di sekolah adalah kesempatan untuk berkompak dalam skala
yang cukup besar. Walau certia diatas adalah kekompakan yang dianggap salah,
sampai saat ini hal itu tidak pernah menjadi kenangan yang salah, ia akan terus
diingat, mungkin juga ada beberapa guru yang masih mengingatnya. Dan, saat ini
dan kemarin aku sering merasa rindu dengan kekompakan demikian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar