Oleh : Hudy Majnun
Kekasihku –di Surga- yang baik,
semoga kabarmu sedang baik saat membaca surat ini, dan terus baik setelah kau
membaca surat ini.
Saat ini aku membayangkan banyak
hal, yang penting dan yang tidak penting. Pada akhirnya, aku memutuskan untuk
membuat surat ini, karena bayangan yang lewat adalah, kita saling berbicara via
surat, dan bayangan lain yang lewat ketika aku menulis ini adalah kita sedang
berada di tempat yang jauh berbeda, dan tak ada teknologi yang membuat kita mudah
berkomunikasi. Oleh sebab itu, hanya dengan surat ini kita bisa saling berbagi
kabar, berbagi cerita, pikiran, gagasan, dan sebagainya. Sekaligus kita bisa
saling belajar menulis walau dengan kata-kata yang begitu rapuh.
Aku pernah mendengar kata-kata
begini “penulis yang baik selalu menyampaikan sesuatu dengan cara seperti orang
berbicara, ringan dan menarik”, tapi aku tidak ingat betul mendengarnya dari
mana dan siapa, yang jelas itu seperti sebuah motivasi bagiku, untuk terus
belajar. Coba saja bayangkan, berapa banyak kita saling berbicara setiap hari,
baik via Hp, medsos ataupun ketika bertemu langsung. Kupikir pembicaraan kita
–kalau ditulis- bisa melampaui 1000 kata setiap harinya. Ya, betapa mudahnya
menciptakan kata-kata, tapi betapa sulit merangkainya menjadi sebuah tulisan.
Aku ingat pada masa kecilku dulu,
ketika tanteku sedang berada di luar negeri. Itu sekitar tahun 2000an awal, dan
waktu itu keluargaku masih tidak mengenal tlpn, apalagi Hp. Jadi komunikasi
kita lakukan dengan cara saling kirim surat. Kau tau kan, membuat sebuah surat
atau tulisan sebanyak satu halaman itu rasanya sangat sulit, apalagi kita
kehabisan inspirasi untuk melanjutkan tulisan. Yang menurutku menarik adalah,
secara tidak langsung orang dulu sudah belajar untuk menulis, walau itu hanya
sebuah curhatan atau cerita biasa mengenai hidupnya. Aku sering membaca
surat-surat yang dikirimkan oleh tanteku itu, gaya bahasanya sangat ringan,
mudah, dan menarik, seolah tanteku adalah seorang penulis hebat. Ia mampu
membuat orang yang membaca suratnya mempunyai gambaran/bayangan yang cukup
jelas mengenai apa yang diceritakan, hingga kadang orang yang membaca surat
tanteku mengeluarkan air mata, ya, aku kadang ikut menangis juga, walau dulu
aku tidak begitu lancar membaca, karena dulu aku masih SD.
Kadang, ketika keluargaku ingin
membalas surat itu, aku juga ikut terlibat membantu pembuatan surat, baik
membantu menulis ataupun membantu mengarang dan merangkai kata, walau hanya
sedikit. Biasanya, dulu kakak sepupuku yang selalu menulis surat, dia adalah
anak tanteku yang masih SMP. Dia begitu pandai menulis surat, apalagi tulisan
tangannya sangat bagus. Tapi ia sering kehabisan kata, saat itulah dia selalu
memanggilku untuk minta pendapat harus menulis apa. Aku selalu memberinya saran
walau hanya beberapa cerita pendek yang bisa disampaikan ke luar negeri. Kami
tidak ingin rugi mengirim surat ke luar negeri hanya dengan tulisan sedikit dan
kurang bagus, karena biaya kirim surat ke luar negeri cukup mahal. Jadi, keluargaku
selalu berusaha menulis begitu banyak, cerita ini dan itu, tapi yang paling
dalam adalah masalah kerinduan mereka. Mengenai harapan-harapan ketika tanteku
pulang, dan rencana-rencana untuk berlibur bersama, ke pantai, ziarah makam,
dan sebagainya. Aku sangat merindukan hal semacam itu, rindu saling bertukar
surat, apalagi dulu masih harus tulis tangan.
Sekarang sudah sangat berbeda, kita
dimudahkan dengan teknologi untuk berkomunikasi, dengan Hp canggih dan media sosial
lainnya. Secara tidak langsung, hal itu membuat kita berhenti belajar menulis. Termasuk
kakak sepupuku dan juga tanteku. Kini kakak sepupu sudah memiliki android, juga
tanteku. Mereka sekarang lebih sering berkomunikasi via BBM ataupun video call.
Kemampuan mereka menulis sudah sangat menurun daripada dulu, kakak sepupuku
paling tidak hanya bisa membuat paling banyak delapan kalimat pada status akun
media sosial miliknya, berikut tanteku juga. Lebih parahnya lagi, yang mereka
tulis adalah hal yang kurang penting, seperti keluhan, rencana, ataupun sesuatu
yang mereka lakukan. Contohnya “jalan-jalan sambil makan tusuk sate. Enak
beuddd” begitu.
Kekasihku, ku yakin, di tempatmu
sekarang, di Surga, tidak ada teknologi seperti disini. Engkau tentu akan
kesulitan untuk berkomunikasi dengan orang-orang yang berada jauh darimu, tapi
aku punya keyakinan lain, yaitu kau dikaruniai kemampuan untuk berkomunikasi
via batin. Semoga itu benar. Karena aku tidak mempunyai kemampuan sepertimu,
maka aku hanya bisa menulis surat ini, dan aku berharap engkau bisa
membalasnya.
Dalam surat ini aku tidak ingin
membahas sesuatu yang berat denganmu, aku tidak ingin orang yang aku sayang
merasa pusing karena harus memikirkan suatu yang berat, seperti filsafat
misalnya, aku kira itu akan membuat pikiranmu terkuras. Melalui surat ini, aku
atau kamu bebas untuk menulis apa saja, tapi kita harus saling membalas surat.
Terserah kamu ingin menceritakan apa, masalahmu dengan Tuhan, dengan
teman-teman di Surga, dan sebagainya. Aku akan senantiasa menjadi pendengar
yang baik ketika kau membalas suratku, dan aku akan berusaha menjadi pencerita
yang baik ketika membalas suratmu.
Sebenarnya, aku punya satu rahasia yang
ingin aku ceritakan padamu, dan itu cukup tidak masuk akal. Begini : dua malam
kemarin, setelah terguyur hujan deras, aku lupa membasuh kepalaku dengan air
yang bukan air hujan. Aku hanya mengeringkannya dengan handuk, tapi rambutku
masih sedikit basah, aku langsung saja tidur. Lalu, di pertengahan malam,
sekitar pukul 2 dini hari aku terbangun, aku sangat merasa pusing, badanku
meriang. Aku berusaha tidur lagi, nampaknya aku berhasil tidur, saat itulah aku
mengalami mimpi buruk tentangmu. Aku bermimpi kau sedang dilanda masalah. Saat
itu, kau memutuskan untuk pergi ke suatu tempat yang cukup beresiko -aku tidak
ingat betul tepat apa itu. Lalu dalam mimpi itu aku menasehatimu :
“asal kau
tau saja kasih, disana banyak sekali
masalah yang akan menguras pikiran, bukan untuk membuatmu semakin buruk, tapi
untuk membuat pikiran dan mentalmu semakin terasah. Pesanku, ketika kamu
menghadapi suatu masalah, kendalikan dirimu, emosimu. Ingat, sesuatu yang buruk
tidak boleh dibalas dengan yang buruk pula. Itu bukan sedekar nasehat dariku,
manusia manapun sudah mengerti itu, dan itu sudah terbukti. Memang
mengendalikan diri itu tak semudah mengendalikan bola ketika kita
menggiringnya, tapi yakinlah kau akan menemukan sebuah titik dimana kamu akan
mengenal dan mampu mengendalikan dirimu, apalagi kamu sudah punya dasar yang
cukup. Sesungguhnya belajar filsafat itu adalah untuk mengenal diri kita lebih
dalam, agar kita menggunakan diri kita lebih baik. Kalau yang ini hanya
menurutku saja, kau boleh tidak setuju, tapi inilah yang aku rasakan”.
Itu hanya sekedar nasehat dalam
mimpi. Aku tau itu mimpi, kerena setelah bangun kondisiku semakin parah.
Orang-orang di rumah sibuk melihat keadaanku, dan aku dibawa kerumah sakit oleh
mereka. Dan setelah tiga hari dirawat, kau baru menjengukku dalam keadaan sudah
baik.
Kasih, aku masih ingat saat pertama
kita berjumpa, kita bertemu karena kau takut terguyur hujan dan basah. Ya,
setidaknya kamu punya antisipasi yang baik untuk menghadapi masalah. Seandainya
kau terguyur hujan waktu itu, lalu kau lupa membasuh rambutmu yang panjang,
mungkin kau akan mengalami sakit yang lebih parah dariku. Tapi itu tidak pernah
terjadi.
Kasih, semoga gagasan mengenai
surat ini akan membuahkan sesuatu yang baik, baik untukku ataupun untukmu. Dulu
aku sering berkata padamu, kita mempunyai cara untuk ber-romantis yang sedikit
berbeda dari biasanya, mungkin berbeda dengan pasangan lainnya. sebenarnya itu
untuk mengalihkan bahwa diriku tak mampu membuat momen yang romantis denganmu. Aku
lebih suka kita saling bercanda dan tertawa, dan kau boleh menganggapku gila.
Kasih, mungkin saat ini kau lebih
dekat dengan Tuhan. Jika itu benar, aku ingin kau mendoakanku. Doakan, semoga
aku tidak pernah berhenti bercerita dengan surat seperti ini, dan semoga aku
tidak mengalami nasib yang sama dengan kakak sepupuku dan tanteku. Sebenarnya
yang bernasib seperti itu bukan hanya kakak dan tanteku, banyak teman-temanku
yang berhenti menulis/bercerita, bahkan banyak yang tak pernah menulis. Padahal,
ketika sekolah dulu mereka masih sering menulis surat, seperti surat ijin
ataupun surat sakit kepada wali kelas, meskipun itu hanya surat bohong yang
ditanda tangani oleh teman mereka sendiri, seolah dia adalah orang tuanya. Seandainya
mereka terus mengembangkan menulis surat itu, mungkin mereka sekarang sudah
menjadi penulis hebat, walaupun hanya penulis Fiksi. Saat ini, banyak dari
mereka telah diperkosa teknologi, mereka tak pernah menulis surat lagi, mereka
lebih banyak membuat status-status aneh di akun media seosial mereka. Aku cukup
prihatin dengan hal itu, ya meskipun tak semua seperti itu.
Ada banyak hal yang ingin aku
ceritakan, tapi sebaiknya aku menceritakannya pada surat berikutnya, setelah
kau membalasnya, via apapun yang bisa kau gunakan. Tapi jangan via batin,
karena aku tak memiliki kemampuan itu. Aku tidak menemukan tempat pelatihan
komunikasi via batin di sini.
Sekian sebuah surat awal ini kasih,
semoga kau selalu dalam kebaikan dan lindungan Tuhan. Terserah kamu mau Tuhan
yang mana. Sekian!.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar