Oleh : Hudy Majnun
Kepada Pak Presiden, Pemprov, Pemda, dan aparatur negara lainnya,
yang masih normal. Pak, anda harus benar-benar turun kebawah, jangan hanya
kebawah kaki, tapi turunlah sampai kebawah keset. Andai bapak tau, praktek
pungli masih sangat marak di berbagai daerah, termasuk tempat daerah saya
tinggal. Nama Desa saya adalah Wonokusumo, Kec. Tapen, Bondowoso. Setelah
beberapa tahun tidak mengurusi hal-hal yang berhubungan dengan birokrasi
pemerintahan atau desa, saya kira hal-hal demikian sudah tidak ada lagi.
Apalagi saya melihat dan mendengar -kalau tidak salah- pak presiden pernah
berkata bahwa pemerintahan harus bersih dari KKN dan Pungli (pemungutan liar),
semoga saja saya salah. Sebagai pejabat dan masyarakat yang normal tentunya
ingin memliki pemerintahan yang bersih. Tetapi dugaan saya sangat keliru.
Praktek-praktek demikian masih sangat marak, di desa saya terutama. Saya sempat
menjadi saksi praktek pungli yang terjadi di desa saya. Waktu itu saya sedang
mengantarkan seorang teman membuat Surat Keterangan Domisili dan surat
pengantar pembuatan SKCK. Bacalah ceritaku pak.
Awalnya saya berpikir sangat baik tentang birokrasi desa.
Karena sebelum ke balai desa, teman saya yang bernama Santu harus minta surat
pengantar dari kepala dusun. “Kalau tidak ada surat pengantar dari kepala dusun
tidak bisa mendapatkan tanda tangan dari kepala desa” begitu kata petugas di
balai desa. Akhirnya Santu datang ke kepala dusun dan saya menemaninya. Saya
rasa hal demikian merupakan alur birokrasi yang baik dan cukup benar, karena
harus melalui aparatur desa terkecil, kalau bisa ada pengantar dari RT/RW,
sayangnya itu tidak ada. Tapi itu tidak masalah, saya pikir sudah ada perkembangan
dari 4 tahun lalu ketika saya pernah membuat SKCK. Dulu saya langsung ke kecamatan
dan ke Polsek, sudah selesai sampai disitu saja. Sekarang sudah mulai tertata
dengan baik, setidaknya lebih baik dari 4 tahun yang lalu. Entah kapan mulai
seperti itu aku tidak cukup tahu. Kepala dusun di desa saya baik, karena mau
melayani masyarakatnya meskipun diluar jam kerja, saya dan Santu datang sekitar
pukul 7.00 malam. Ketika di rumah kepala dusun, ada kata-kata yang saya ingat,
setelah saya mengucapkan bahwa administrasi sekarang sudah tertib ya pak.
Kemudian Kasun menjawab “iya dek, sekarang sudah mulai tertib. Ya, biar
masyarakat tau kalau masih punya kasun”. Entah apa maksudnya ia berkata seperti
itu, mungkin sebelumnya Kasun seperti kekasih yang tak dianggap. Untuk surat
pengantar ini, Santu tidak dikenakan biaya apapun. Memang sewajarnya seperti
itu, sudah tugas Kasun melayani masyarakatnya, karena ia sudah dibayar oleh
pemerintah untuk melayani rakyat.
Keesokan harinya, saya diajak kembali oleh teman saya untuk
mengurusi kelanjutan surat keterangan domisili dan SKCK di balai desa sampai ke
Polres. Kami tiba di balai desa sekitar pukul 08.30 pagi, waktu itu hanya ada
tiga orang petugas. Saya rasa tidak mungkin hanya ada tiga petugas. Kepala Desa
juga tidak ada di kantor. Surat Domisili dan SKCK dikerjakan oleh salah satu
petugas yang ada, mungkin dia sekretarisnya. Sambil menunggu, petugas yang
lainnya mulai berdatangan, ada 2 orang yang baru datang. Untungnya tidak ada
guru yang menghukum mereka meskipun telat masuk kantor. Seharusnya jam kantor
dimulai pukul 08.00 kan pak. Karena pak Kades tak kunjung datang sampai pukul
09.00 maka petugas yang membuat surat mendatangi rumah kades untuk minta tanda
tangan dan stempel. Mungkin pak Kadesnya sedang sakit atau sedang ada keperluan
keluarga, sehingga tidak bisa masuk kantor. Setelah petugas itu datang, ia
menyerahkan surat pengantar tersebut ke teman saya. Sebelum saya dan Santu
pergi, petugas wanita itu berkata “uang kasnya sudah ?”, “belum mbak” jawab
Santu. “berapa mbak ?” tanya Santu, “satu surat 10 ribu, 2 surat berarti 20
ribu” katanya. Tanpa pikir panjang Santu menyerahkan uang 20 ribu tersebut ke
petugas itu. Surat Domisili cukup sampai di situ, tapi SKCK harus terus berjalan
sampai ke Polres.
Kami melanjutkan perjalanan menuju Kantor Camat/Kecamatan
dengan motor. Waktu perjalanan, pikiran saya dihantui tentang uang kas yang
dibayar Santu. Karena jalanan agak menurun maka saya matika mesin motor, namun
tetap bisa berjalan meskipun mesin mati. Dalam benak selalu bertanya-tanya, bukankah
tidak ada biaya apapun hanya untuk membuat surat keterangan Domisili dan surat
pengantar SKCK ?. Ada yang aneh ketika petugas itu meminta uang dengan alasan
untuk Kas. Entah kas apa, mungkin saja kas desa, atau kas pribadi. Saya tidak
tahu. Seharusnya untuk pembayaran seperti itu juga disertakan kwitansi, agar
jelas pembayaran yang dilakukan untuk apa dan masuk ke kantong siapa. Karena
saya rasa itu mencurigakan, maka proses selanjutnya di kecamatan, saya dan
Santu sepakat untuk menanyakan penarikan tersebut dan kami berniat untuk
mengadukan pemungutan liar tersebut. Sesampainya di Kecamatan kami lapor ke Pol
PP yang berjaga di pintu masuk. Ia kemudian menanyakan keperluan kami, “ngurusi
keperluan SKCK pak” kata Santu. Kami dipersilahkan duduk di depan kecamatan dan
ia meminta surat pengantar dari desa, kemudian membawanya masuk ke dalam kantor
kecamatan. “tunggu sebentar” katanya. Berselang beberapa menit, bapak itu
kembali.
“sudah selesai dek” kata bapak itu, dengan wajah wibawa dan
sangar karena seragamnya.
“terimkasih pak” jawab Santu.
“uang kasnya 10 ribu dek” ucap bapak itu.
“lohh, tadi sudah bayar di kantor desa pak”
“wahh, ya beda lagi kalau disini”
Sepertinya ini tidak beres lagi, pikirku menyaksikan
percakapan itu. Kemudian aku menyarankan agar temanku minta kwitansi sebagai
bukti pembayaran.
“yasudah pak. Saya minta kwitansi ya pak” lanjut Santu.
“tidak ada kwitansi dek, ini cuma buat kas saja” jawab bapak
itu.
“kalo kas kok minta ke saya pak?”
“kan untuk biaya suratnya”
“kan hanya stempel dan tanda tangan camat saja ini pak”
“ya, tapi memang peraturannya seperti itu dek”.
Pembicaraan semakin memanas, terdengar nada Santu dan bapak
itu semakin meninggi.
“kalau hanya buat kas itu bisa minta dari iuran tiap pegawai
yang ada disini kan pak. Saya kan hanya minta tanda tangan saja pak. Bukannya
sudah tugas pewagai kecamatan untuk melayani masyarakatnya pak”.
“tapi, peraturannya dari dulu memang seperti itu dek” ngotot
bapak itu.
“kalau memang ada aturannya, boleh tunjukan kepada saya
aturan tertulisnya pak?”
Bapak itu terdiam beberapa saat. Mungkin memang tidak ada
aturan tertulis mengenai penarikan kas kepada masyarakat yang membuat
surat-surat di tingkat desa ataupun kecamatan. Kalaupun ada pastilah surat itu
ilegal, dan kalau pak presiden tahu, pasti mereka yang terkait akan dipecat.
“yasudah dek ngak apa-apa kalau ngak mau bayar, ini kan hanya
buat kas kecamatan” lanjut bapak itu dengan nada menyerah.
“memang kasnya buat apa nanti pak?” tanya Santu lagi.
“ya nanti buat keperluan kecamatan, seperti beli cat,
ngeprint baner-baner, dan buat keperluan lainnya”
“lohh, bukannya untuk anggaran seperti itu bisa ngajukan ke
pemda pak?. Kan juga ada APBD untuk hal-hal semacam itu pak?”.
Bapak itu kembali terdiam. Setelah beberapa saat ia mulai
berbicara lagi. Sepertinya ia menyerah. “ya sudah dek, bawa saja suratnya. Ngak
perlu bayar kalau tidak mau”
“bukannya saya tidak mau bayar pak, tapi hanya ingin tahu
peraturannya. Kalau memang ada aturan seperti itu, pasti saya bayar pak. Saya
hanya khawatir saja pak, soalnya kan sekarang rawan sekali pemungutan liar
(Pungli). Itu masalah pemerintahan yang tak kunjung usai solanya pak” dengan
berani Santu mengatakan itu.
“yasudah dek, silahkan bawa suratnya dan tidak perlu bayar”
“beneran ini pak?. Kalau memang peraturannya harus bayar, ya
saya bayar pak” jawab santu dengan nada sedikit bercanda.
“iya, iya. Tidak usah bayar tidak apa-apa”
“yasudah kalau begitu pak. Terimakasih banyak ya pak”
Kami melangkah menuju parkiran motor, sesekali kami mendengar
mereka sedang bergerumul, sepertinya mereka membicaraka kejadian tersebut. Kami
tidak meliriknya. Kurasa sudah benar yang Santu lakukan. Sudah seharusnya hal
seperti itu dibersihkan, agar ucapan para pemimpin tidak sia-sia, sebagai orang
yang sadar, kita harus menyadarkan mereka yang berbuat seperti itu. Walaupun
cukup beresiko melakukan seperti itu di desa. Biasanya mereka akan membenci
kita atau bahkan mengancam. Semoga hal kecil itu tidak luput dari perhatian pak
presiden.
Niat untuk mengadukan pemungutan di kantor desa urung begitu
saja. Sepertinya di kecamatan juga sama seperti di kantor desa. Entah kami
harus mengadukan kepada siapa. Kalau ada pak presiden, pasti kami mengadu
langsung. Kami yakin pak presiden akan membela rakyat, apalagi kami adalah
rakyat yang mendukung pak presiden, meskipun dalam pemilihan presiden saya
sendiri memilih untuk golput. Hal-hal semacam itu kadang membuat rakyat enggan
untuk mengurusi hal-hal yang terkait dengan pemerintahan, banyak tetangga-tetangga
saya yang tidak mempunyai KTP, KK, Akte, dan sebagainya. Alasan mereka
bermacam-macam, ada yang bilang ribet, lama, harus bayar, dan sebagainya.
Selanjutnya kami menuju ke Polsek yang jaraknya hanya sekitar
50 Meter dari Kecamatan. Disana tidak ada masalah, hanya saja teman saya diusir
karena mengenakan celana pendek. Ia disuruh pulang untuk ganti celana panjang,
tapi akhirnya mereka memberikan solusi untuk bertukar celana denganku.
Untungnya saya mengenakan celana panjang. Kami menumpang kamar mandi Polsek untuk
bertukar celana, beruntung tidak ada yang tau kami berdua berada di dalam kamar
mandi. Kalau ada yang melihat pasti mereka akan berpikir negatif.
Santu kemudian masuk ke ruang petugas SKCK, saya tidak
diperbolehkan masuk karena celana pendek. Katanya itu tidak sopan, itu tidak
terlalu salah. Aku menunggu di luar kantor sambil melihat kendaraan yang
melintas di jalan, itu cukup menjenuhkan. Sekitar 20 menit di dalam ruangan,
Santu kemudian keluar.
“Gimana, ditarik biaya lagi apa ngak?” tanyaku.
“Aku beri dia 10 ribu” jawab Santu.
“Loh, kok mau bayar toh kamu?”
“sebenarnya ia tidak minta, aku cuma pengen ngasik saja,
sebagai ucapan terimakasih. Orangnya baik” jawab Santu sambil memamerkan giginya
yang tidak terlalu putih.
“oohhh... yasudah kalau begitu”.
Selanjutnya kami bergegas menuju Polres. Sampai di pintu
masuk kami diarahkan menuju ke tempat pembuatan SKCK. Kali ini kami disambut
dengan ramah, celana pendek pun tidak masalah masuk ke dalam kantor. Kami
mencari ruangan pengambilan sidik jari, disana Santu harus mengisi formulir,
kemudian mengecek sidik jarinya. Setelah selesai dan hendak masuk ke ruangan
pembuatan SKCK, petugas sidik jari meminta uang lagi pada Santu. “sepuluh ribu”
kata petugas itu. Santu langsung memberikan uangnya. Kali ini ia tidak lagi
curiga dengan penarikan biaya tersebut, karena Santu tahu mengenai peraturan
penarikan biaya untuk pengambilan sidik jari. Selanjutnya masuk ke ruang
administrasi pencetakan SKCK. Disana Santu ditarik biaya lagi sebesar 10 ribu. Tanpa
curiga lagi ia membayarnya. Peraturan mengenai biaya pembuatan SKCK baru dan
pengambilan sidik jari jelas tertera dalam Undang-Undang RI No.2 Tahun 2002,
tentang kepolisian Negara Republik Indonesia, dan PP RI No.50 Tahun 2010,
tentang Tarif atas penerimaan bukan pajak yang berlaku pada Instansi Polri.
Maka pembuatan SKCK baru/perpanjangan dikenakan tarif administrasi sebesar Rp.
10.000 dan pengambilan sidik jari Rp. 10. 000.
Sebagai rakyat biasa saya hanya takut pak presiden, takut
kalau pemerintahan anda dianggap gagal oleh sebagian orang hanya gara-gara
orang-orang semacam itu. Saya tahu rencana dan pemikiran anda bagus, tapi saya
tidak yakin rencana dan pemikiran anda akan sampai di pelosok desa tempat saya
tinggal. Desa saya cukup jauh, berada di ujung timur Pulau Jawa, kalau dari
jakarta mungkin membutuhkan waktu sekitar 30 jam perjalanan darat, kecuali anda
pakai helikopter. Tapi saran saya, jangan naik pesawat pak, karena di tempat
saya tidak ada lapangan terbang. Ada tapi di kota sebelah. Baru aktif beberapa
bulan lalu, setelah lama mati dan menjadi arena balap liar. Pak presiden, saya
senang sekali melihat anda senang blusukan, tapi mustahil sepertinya anda akan
blusukan di daerah saya, apalagi anda sekarang sangat disibukkan dengan
konflik-konflik di pemerintahan anda sendiri. Ada KPK vs POLRI, Partai anda, banjir,
pesawat jatuh, BBM, dan sebagainya.
Sebenarnya saya ingin menceritakan ini kepada Polsek atau
Polres, tapi saya khawatir mereka sudah tidak senormal yang saya bayangkan. Pak
presiden merupakan urutan kedua yang saya percayai, yang pertama saya percaya
kepada Tuhan. Kalau ini saya adukan kepada orang selain pak presiden, saya takut
ini akan berbalik menjadi bumerang bagi saya. Saya hanya ingin membantu mewujudkan
impian pak presiden, dari bagian Indonesia yang jauh dari tempat anda. Saya
juga prihatin dengan daerah saya, setelah beberapa saat yang lalu saya membuka
internet kemudian membuka web yang berisi daftar daerah 3T (terluar, tertinggal,
terdepan). Ternyata Kabupaten Bondowoso masuk dalam kategori daerah Tertinggal.
Sebenarnya Bondowoso kaya akan alam pak, tempat wisata, perkebunan, pertanian,
dan sebagainya. Tapi entah mengapa Kota Tape ini masih termasuk kota
tertinggal. Saya khawatir orang-orang seperti yang saya ceritakan di atas yang
membuat Kota Tape ini masuk dalam kategori Tertinggal. Sebenarnya tidak hanya
itu, mungkin masih banyak permasalahan lainnya dalam pemerintahan Bondowoso,
sehingga Bondowoso bisa di olok-olok seperti itu. Bahkan ada yang bilang kalau
Bondowoso merupakan Kota Mati, itu sering saya dengar selama saya tinggal di
Kota Jember, tetangga Kota Tape. Tentu anda tidak mau kan, ada bagian dari
Indonesia mendapatkan hujatan semacam itu, tentu anda juga tidak akan menganaktirikan
bagian dari Indonesia ini.
Sekian cerita ini saya sampaikan. Saya tidak tau cerita ini
akan sampai kemana, semoga saja tidak hanyut oleh banjir yang terjadi di ibu
kota negara ini. Dari ujung timur Pulau Jawa, saya sampaikan salam hangat untuk
yang merasa dingin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar