Oleh : Hudi Majnun
Sejak SMA saya sudah menyukai buku. Waktu itu, buku
paling berkesan adalah LKS (Lembar Kerja Siswa), yang wajib saya beli dari
sekolah. Di dalamnya terdapat materi singkat-mengenai berbagai macam mata
pelajaran-, dan dilengkapi dengan soal-soal latihan. Tentu semua orang yang
bersekolah pernah mengalami, dan mungkin buku itu masih menjadi kenangan indah sampai
saat ini. Meskipun begitu, saya sangat kesulitan memahami isi buku tersebut.
Karena waktu itu, saya tidak mengerti bagaimana cara membaca yang baik dan
benar. Setiap kali membaca, saya selalu berusaha mengingat kalimat demi kalimat
hingga lupa untuk memahaminya.
Ada beberapa guru yang menyuruh
menghafal materi dalam buku LKS. Kemudian, murid disuruh mengulangi kalimat
dalam buku tersebut di depan kelas, tanpa membawa teks. Secara tidak langsung,
hal itu menjadi kebiasaan yang melekat. Ketika membaca, saya sering berusaha
menghafalnya. Bahkan, kebiasaan seperti itu masih sering saya alami secara
otomatis sampai saat ini. Sesekali, setiap membaca buku, saya selalu membaca
dua sampai tiga kali, agar dapat mengerti dan sekaligus menghafalnya. Apalagi
buku yang berhubungan dengan angka-angka dalam sejarah. Misalnya, tanggal
dimulai dan berakhirnya Perang Dunia ke II, dan sebagainya.
Setelah kuliah, saya sering berkumpul
dengan teman-teman yang suka membaca. Namun, saya tetap tidak menemukan cara
terbaik dalam membaca. Apalagi yang saya baca adalah buku non fiksi atau materi
perkuliahan. Sebenarnya, membaca itu bukan untuk menghafal, tapi untuk memahami
dan memberi pengalaman bagi si pembaca. Pada akhirnya, pembaca akan semakin
memperkaya wawasan. Meski begitu, sesuatu yang melekat sejak SMA itu sulit
dihilangkan.
Setelah saya bosan dengan bacaan non
fiksi, saya berusaha mencari pelarian dengan membaca buku fiksi, seperti novel,
kumpulan puisi, kumpulan cerpen, dan sebagainya. Ternyata membaca buku fiksi
membuat saya sedikit menghilangkan penyakit yang saya idap sejak SMA, yaitu
gairah untuk menghafal. Karena buku fiksi tak sesulit buku non fiksi yang penuh
dengan teori. Bacaan fiksi ternyata sangat kaya akan pengetahuan, dan bukan
hanya sedekar fantasi belaka.
Oleh sebab itu, saya mulai mengoleksi
buku-buku fiksi. Pada bulan November 2013, saya datang ke sebuah toko buku, dan
selalu bingung setiap kali melihat tumpukan buku. Karena di sana, setiap jenis
buku berada pada rak yang berbeda. Apalagi uang untuk membeli buku sangat
sedikit, mungkin hanya bisa beli satu buku. Saat itu saya sangat tertarik untuk
mengetahui filsafat, tapi saya sedang menyukai novel. Akhirnya saya
melihat-lihat rak novel barat, dan di sana bertemu dengan Sophie. “Ini dia”
dalam benakku. Ia bukan seorang wanita, melainkan sebuah novel yang ditulis oleh
Jostein Gaarder, dengan judul Dunia Sophie. Itu adalah novel yang berisi
perjalanan seorang anak perempuan bernama Sophie dalam belajar filsafat.
Gaarder sangat pandai menyampaikan
sesuatu yang berat dengan ringan. Sebenarnya, dalam buku tersebut, Gaarder
ingin menjelaskan mengenai perkembangan filsafat barat. Akhirnya dengan bantuan
Sophie dan guru filosofnya, ia dengan sangat ringan menjelaskan hal tersebut.
Dan saya bisa sedikit memahami. Buku setebal 798 halaman tersebut saya selesaikan
dalam waktu sekitar 6 bulan. Banyak fantasi-fantasi yang saya alami ketika
membacanya. Rasanya pikiran saya mulai terbuka sejak membacanya.
Di dalam novel tersebut, banyak membahas
tentang asal-usul hidup dan berbagai Tuhan. Banyak pencarian Tuhan yang
dilakukan oleh para filsuf dengan menggunakan akal. Ada yang percaya dan ada
yang tidak. Bahkan ada seorang filsuf yang menganggap bahwa Tuhan telah mati. Mereka
selalu melakukan pembuktian-pembuktian dengan akal. Sesuatu yang rasional/masuk
akal. Kurasa mereka tidak akan menemukannya, sebab Tuhan itu gaib.
Saya sempat terpengaruh oleh buku
tersebut, dan mungkin sempat menjadi seorang atheis. Ya, ternyata buku yang
kita baca akan memberi pengalaman, serta bisa membentuk pola pikir dan perilaku
kita. Sama halnya ketika kita membaca buku percintaan, maka kita akan menjadi
romantis, atau setelah membaca buku humor, sseeorang bisa berbakat menjadi
pelawak, dan seterusnya.
Karena tertarik dengan tulisan Gaarder,
saya mengoleksi berbagai judul buku karyanya. Tentunya masih dengan pembahasan
mengenai Filsafat yang ia sajikan serenyah kerupuk.
Akibat pengaruh buku tersebut, saya
meninggalkan tugas akhir yang bernama skripsi selama lebih dari satu semester.
Rasanya, tema penelitian yang saya ambil tidaklah masuk akal, karena berurusan
dengan ajaran Tuhan atau agama. Tema yang diangkat mengenai sejarah Islam. Saya
harus meneliti sejarah dan perkembangan sebuah pesantren beserta ajarannya. Itu
sesuai dengan jurusan saya, yaitu Sejarah. Judul yang saya ajukan sudah
terlanjur disetujui sebelum saya membaca Sophie. Namun harus terbengkalai.
Tekanan dari dosen pembimbing terus
datang bertubi-tubi, bagaikan hujan dan petir yang membentak bumi. Akhirnya
saya menyerah, karena tekanan juga datang dari orang tua dan kekasih. Saya
mencoba mencari berbagai referensi mengenai tema penelitian, yaitu buku-buku
Islam. Itu terpaksa saya lakukan, karena sangat sulit mengganti tema
penelitian, apalagi sistem administrasi yang harus dilewati sangat ruwet.
Sekitar Juli 2014, saya mulai kembali
mengerjakan skripsi tersebut. Saya mulai membaca buku referensi mengenai ajaran
Islam, pesantren, dan sebagainya. Betapa bacaan itu sangat sulit untuk dicerna,
karena pengaruh Sophie masih sangat kuat di kepala. Selain membaca buku jenis
tersebut, saya juga harus melakukan penelitian di lapangan. Saya datang ke
sebuah pesantren. Tempat itu terasa sangat asing, karena sejak kecil saya tidak
pernah hidup di pesantren. Tapi, ketika masuk, kesan baik langsung saya
dapatkan. Orang-orang di sana sangat ramah, murah senyum, wangi, dan banyak
yang memakai sarung. Kemudian saya melakukan wawancara dengan beberapa orang di
sana. Setelah itu, saya harus menuliskan hasil wawancara. Kemudian menemui
dosen pembimbing, untuk menyampaikan hasilnya.
“Kamu harus terlibat dalam kegiatan di sana. Supaya
kamu benar-benar paham dan mengerti” kata dosen pembimbing. Tidak tahu harus
berkata apa waktu itu, jadi saya iya-kan saja sarannya. Yang penting, tugas ini
cepat selesai.
Saya datang lagi ke pesantren, untuk
menanyakan kegiatan pengajian yang mereka lakukan dan terbuka untuk umum. Ternyata
ada kegiatan pengajian yang tiap tengah malam mereka lakukan, dan itu terbuka
untuk umum. Mereka menyarankan agar saya datang di acara itu. Dalam kepala dan
hati saya berkecamuk, karena itu tidak masuk akal menurut buku Sophie. Ya, saya
sadar, bahwa pikiran masih dalam pengaruh buku itu. Lagi-lagi saya terpaksa
mengikutinya demi sebuah data.
Banyak sekali orang-orang yang datang, masjid
terpenuhi hingga halamannya. Mereka berdzikir dan bersholawat dengan khusuk, dan saya hanya tolah-toleh melihat mereka. Saya
berusaha mengikuti mereka, agar terlihat khusuk
juga. Rasanya sakit hati ini, melihat diri yang sia-sia di antara mereka. Pengajian
dan dzikir bersama itu dimulai dari jam 00.00 sampai 02.00 dini hari.
Sejak saat itu saya berhenti sejenak
membaca buku-buku fiksi, dan fokus membaca tentang Islam dan pesantren. Lambat
laun, saya mulai memudarkan segala ajaran yang ada di dalam buku Dunia Sophie,
dan mulai memperkaya pengetahuan tentang Islam. Ternyata, dalam buku tersebut,
para penulis sudah tidak lagi mempermasalahkan Tuhan. Pasti mereka sudah
menemukan Tuhannya dan lebih banyak membahas tentang bagaimana ajaran Tuhan,
Allah.
Setiap hari saya membaca buku tentang
Islam, sejarah, dan perkembangan pesantren, kamudian menulis untuk skripsi. Banyak
pengalaman yang sangat luar biasa membaca dan menulis mengenai hal tersebut.
Dengan datangnya Islam, manusia sudah menemukan Tuhannya. Terutama di
Indonesia. Sebelum datangnya Islam, orang-orang masih menyembah berhala, yang
disebut Animisme dan Dinamisme. Mereka percaya kepada benda-benda dan Roh halus.
Kemudian mereka menganut agama Hindu dan Budha, baru setelah itu datanglah
Islam sebagai penyempurna. Meskipun begitu, kepercayaan tersebut masih tetap
ada. Hindu, Buhda, dan Islam hidup berdampingan dengan damai.
Perjuangan orang-orang terdahulu memang
patut kita hargai, karena mereka mengorbankan banyak hal dalam menyebarkan kebaikan
agama Islam. Salah satu sarana dalam menyebarkan Islam adalah pesantren. Dengan
begitu, banyak hal positif yang saya dapatkan. Selain menambah pengetahuan,
ternyata juga bisa menambah keimanan. Akhirnya pada awal semester 9, saya mampu
menyelesaikan skripsi tersebut.
***
Perang telah terjadi di dalam pikiran dan diri saya.
Secara tidak sadar, ketika membaca tulisan orang, akan membuat kita menjadi apa
yang penulis pikirkan. Jika banyak buku yang kita baca, maka pikiran kita akan
menjadi medan perang dari pikiran penulis yang berbeda-beda. Di dalam beberapa
buku, terdapat banyak hal yang berbeda dan bertentangan. Misalnya, buku
filsafat dan buku Islam, atau penulis Indonesia dan penulis barat. Dalam buku
filsafat banyak pemikiran yang menentang Tuhan, tapi dalam buku Islam banyak
membahas tentang pemujaan dan ajaran Tuhan.
Penulis barat, kebanyakan menulis sesuai
dengan kebudayaan mereka, dan penulis Indonesia juga menyesuaikan dengan adab
negaranya. Tentu itu adalah hal yang sangat berbeda. Agar tidak selalu menjadi
medan perang, maka menulislah, kita ciptakan perang yang lebih indah di pikiran
orang lain.
Memang, terpengaruh oleh bacaan sudah
menjadi hal biasa, apalagi seorang pembaca awan seperti saya. Labil. Namun dapat saya simpulkan,
membaca buku apapun tidaklah haram. Asal jangan terlalu menganutnya, cukup kita
jadikan referensi untuk memperkaya pengetahuan. Dengan membaca buku, kita akan
semakin bodoh, sebab kita akan menyadari, bahwa masih banyak buku lain yang
belum dibaca, dan itu adalah pengetahuan, jendelanya dunia.
“Sebuah buku
adalah dunia ajaib penuh simbol yang menghidupkan kembali si mati dan
memeberikan hadiah kehidupan yang kekal kepada yang masih hidup. Sungguh tak
dapat dibayangkan, fantastis, dan “ajaib” bahwa kedua puluh enam huruf dalam
alfabet, bisa dipadukan sedemikian rupa sehingga bisa memenuhi rak raksasa
dengan buku-buku dan membawa kita ke sebuah dunia yang tak pernah berujung.
Dunia yang selalu bertumbuh dan bertumbuh, selama masih ada manusia di muka
bumi”_Jostein Gaarder.
asslamaualaikum
BalasHapus