Oleh : Hudy Majnun
Suatu sore yang cerah, ia menikmati
segelas teh hangat untuk menghangatkan diri, semakin hangat lagi saat ia
menikmati teh di dekat tungku api dapurnya. Rasanya seperti tak punya dosa
apapun, tidak ada pikiran apapun yang dapat mengganggunya. Sesekali tangannya
mengembangkan dekat api, agar semakin hangat yang ia rasakan. Setelah merasa
hangat, ia keluar dari dapur yang beralaskan tanah. Sengaja rumahnya tidak
dilapisi semen ataupun kramik, dengan begitu ia merasa lebih dekat dengan bumi.
Beberapa saat kemudian ia keluar dari rumah, menuju halaman yang dikelilingi
pepohanan. Setiap hari ia selalu menyempatkan diri untuk duduk di kursi halaman
rumahnya, menikmati setiap hembusan angin, menikmati lambaian dedaunan,
bunga-bunga, dan hangatnya matahari yang kadang menyengat. Setiap kali ia
merasakan ketenangan dan kenikmatan di halaman rumahnya, ia selalu berkata “Dunia
yang Agung” dengan menelentangkan kedua tangannya, seolah ia baru saja terbebas
dari kurungan panjang. Tak perlu mencari daerah yang tinggi/mendaki gunung
untuk menikmati senja ataupun matahari terbit, karena rumahnya berada di daerah
yang cukup tinggi. Rumahnya begitu sepi, hanya ia seorang diri. Tetangganya
cukup jauh dari rumahnya, tetangga paling dekat berada di jarak sekitar 100 M.
Dua anaknya ia sekolahkan di kota
yang cukup jauh dari rumahnya. Sebenarnya ia tak ingin menyekolahkan anaknya,
tapi karena sudah menjadi tanggungjawab dan tuntutan dari keadaan, ia terpaksa
menyekolahkan anaknya hanya untuk menjalani kewajibannya sebagai orang tua. Sekarang,
anak pertamanya sudah kelas 3 SMA dan anak keduanya baru kelas 4 SD. Sejak
sekolah, kedua anaknya sudah tidak tinggal dengan orang tuanya, mereka tinggal
dengan nenek dari ibu, karena lebih dekat dengan sekolah.
Ia memutuskan hidup sendiri ketika
ditinggal istrinya. Saat anak pertamanya baru lulus SD, istrinya pergi entah
kemana, meninggalkan dirinya tanpa pesan apapun. Setelah beberapa bulan
kemudian istrinya memberi kabar, bahwa ia berada di negeri tetangga dan sudah
bekerja disana. Itu cukup melegakan dirinya sejenak, walau ia tak terima dengan
perlakuan istrinya, ia tetap sabar dan mencoba berpikir baik mengenai istrinya,
hatinya masih lebih berfungsi daripada otaknya. Tapi, setelah kabar dan sabar
itu terjadi, sebulan kemudian istrinya memberi kabar lagi melalui surat. Ia
mengabarkan bahwa dirinya baik-baik saja dan bahagia, selain itu surat itu juga
berisi tentang permintaan cerai dari istrinya, dengan alasan ia lebih bahagia
seperti itu. Itu cukup membuat pria bernama Rasi ini terpukul, hancur hatinya,
sedih, kehilangan, dan sebagainya. Namun, itu hanya ia rasakan beberapa hari
saja. Karena ada sesuatu yang ia kerjakan, yang membuatnya menjadi lebih sabar.
Setelah itu ia kembali tenang dan
semakin tenang saat hidup sendirian, kemudian pindah rumah ke lokasi yang lebih
tenang, di daerah pegunungan. Di sanalah ia menemukan ketenangan, namun ia tak
pernah kesepian, karena di sekitarnya banyak hewan-hewan yang senantiasa
menjadi teman. Ketika pagi, ia disambut berbagai kicau burung yang merdu,
sampai sore tak pernah sepi hewan apa saja berkeliaran di pepohonan halaman
rumahnya. Sengaja ia tanami halamannya dengan pohon-pohon yang menjadi
kesenangan hewan-hewan. Ada pohon bringing yang berdaun lebat, pinus, dan
sebagainya. Halamannya lebih luas daripada rumahnya. Ada hal aneh yang sering
terjadi padanya, ketika berada di halaman rumahnya, ia kadang terdiam dalam
waktu yang lama, bisa dari pagi sampai sore ia duduk di kursi bawah pohon,
kadang seperti orang tidur, tapi ketika ada tetangganya memanggil ia langsung
menjawab. Ketika Rasi seperti orang tidur, kadang ada hewan mendekat dan
hinggap di kursi tempat ia duduk, kursi panjang yang terbuat dari kayu seadanya,
tanpa sandaran. Ia selalu bersandar ke pohon kalau sedang duduk disana. Entah
kenapa hewan-hewan itu tidak kabur meskipun ia bangun tiba-tiba.
Kedua anaknya kadang datang ke
tempat itu, untuk minta jatah uang jajan dan sebagainya. Ia tak pernah
kekurangan, sawah yang ia tanami selalu mencukupi kebutuhan ekonomi dan biaya
untuk anaknya. Suatu sore, anak pertamanya datang ketika Rasi sedang tertidur
di kursi biasanya. Anaknya melihat ayahnya sedang tertidur di kusri, kemudian
ia ingin membuat kejutan dengan mengagetkan ayahnya. Ia mendekat pelan-pelan,
ketika ia sudah berada di belakangnya ayahnya dan siap mengagetkan, tiba-tiba
ayahnya lansung menoleh dan berkata “hayooo, mau ngagetin ayah ya..?”, “ahh...
ayah selalu begitu”, “duduk sini” lanjut ayahnya.
Setelah obrolah di halaman selesai
mereka masuk ke dalam rumah, ayahya sudah menyediakan masakan kesukaan anaknya,
jamur... ya, itu adalah sayur kesukaannya sejak kecil, dan Rasi selalu
mencarikan jamur untuk anaknya setiap pagi. “wahhh... ayah selalu mengerti
kesukaanku” kata anaknya. Rasi hanya tersenyum. Dengan sangat nikmat mereka
melahap makanan yang ada di meja. Semua makanan adalah masakannya Rasi sendiri,
walau hanya makanan sederhana, itu adalah makanan yang paling nikmat
menurutnya. Mungkin menurut mereka berdua makanan yang mereka makan adalah
makanan yang lebih enak dari pada makanan di restoran. Mereka makan sambil
berbicara santai. Rasi banyak menceritakan tentang keadaan halamannya yang
semakin indah, tentang hewan-hewan, dan sebagainya. Sedang anaknya menceritakan
berbagai macam permasalahan yang terjadi sekolah, di lingkungannya, dan di
kota-kota besar, baik masalah bencana alam, penyakit, peperangan, teroris,
permasalah politik dan pemerintahan, dan sebagainya.
Ayahnya sangat tertarik dengan
semua cerita yang diceritakan anaknya. Apalagi semua cerita mengandung masalah.
Kadang memang hidup tidak luput dari masalah, tapi masalah tak harus
menimbulkan perpecahan, apalagi kebencian antar sesama.
“apa masalah yang paling hangat
menurutmu, anakku?” tanya Rasi
“semua masalah terasa hangat yah.
Soalnya selalu diulur-ulur penyelesaiannya, apalagi masalah di pemerintahan.
Wahh... pokoknya akan pusing kalau memikirkannya”.
“yasudah... aku tidak mau kamu yang
pusing karena menceritakannya padaku”.
Suap demi suap terus masuk ke dalam
mulut mereka, melalui ternggorokan, kemudian lambung, dan perut. Namun pada
akhirnya harus ada yang terbuang ke sungai ataupun toilet. Manusia seperti
hanya sebuah penyaringan, yang tak terbuang akan kau gunakan untuk berbagai
macam aktivitas, itu yang sering disebut energi. Mereka terus memakan makanan
sambil sesekali berbicara.
“memang apa yang menjadi penyebab
utama permasalahan itu, anakku?” tanya Rasi.
Setelah menelan makanan yang
dikunyahnya, anaknya menjawab. “tidak tau yah, mungkin mereka sedang bercanda
dengan hal yang main-main, hahaha”.
“kau bisa saja anakku. Mungkin hati
mereka dikalahkan oleh otaknya, jadi ambisi mereka tidak tertahankan. Padahal
solat mereka kadang masuk TV kan. Sudah solat kok masih begitu”.
“maksud ayah?”
“tidak ada maksud apa-apa, hanya
sekedar ngomong. Ayah kadang bingung, apa yang sebenarnya manusia cari”.
“cari masalah mungkin yah. Hehe.
Kalau aku sendiri ya cari ilmu”.
“cari ilmu ya memang wajib. Dengan
ilmu kamu akan menemukan apa yang kamu cari, bukan malah menyesatkan. Repot
kalau melihat mereka dengan berbagai permasalahan itu. Mending kayak ayah
disini, tidak ada sedikitpun masalah, dan tenang sekali, menikmati sebuah
kemerdekaan.”
“kita kan punya dunia dan pilihan
masing-masing yah”.
“begitulah yang ada dalam pikiran
orang. Ilmu mereka yang bermasalah begitu banyak, bahkan gelar mereka begitu
panjang, rata-rata sudah naik haji, namun pada akhirnya mereka terjebak banyak
permasalahan dan tidak ada yang mau mengalah”.
Tidak ada inti dari pembicaraan
itu. Makanan sudah habis, meja dibersihkan, dan anak Rasi berpamitan untuk
pulang. Rasi kembali ke halaman rumahnya. Ia terbayang-bayang cerita yang
disampaikan anaknya, bahkan cerita yang banyak mengandung masalah itu
menggingatkannya pada permasalahannya sendiri. Ia teringat istrinya, namun
tidak ada lagi sakit hati. Permasalahan dengan istrinya bukanlah sebuah
permasalahan yang banyak dibayangkan orang. Itu hanyalah sebuah peristiwa biasa
baginya, kehilangan sesosok istri bukan berarti kehilangan cintanya pada istrinya.
Bahkan ia semakin mencintai istrinya yang meninggalkannya. Semakin hari ia
semakin cinta kepada istrinya yang telah pergi, ia selalu menguatkan cintanya
dengan prasangka-prasangka baik. “istriku kini tak berwujud, seperti Tuhanku, dan
aku sangat mencintainya. Aku akan terus menanti dan mencari sebuah pertemuan
dengan dirinya.” Cerita anaknya membuatnya mengingat banyak hal. Bahkan
sesekali ia seolah seperti menjadi sisi lain dari masalah yang ada di
pemerintahan.
Tak salah ia memilih untuk hidup
sendirian. Sendirian bukan berarti kesepian, disitu kita akan menemukan
berbagai pengetahuna yang jernih untuk pikiran dan hati. Orang-orang yang
selalu hidup di tengah keramaian pasti akan rindu sebuah kesepian. Entah dimana
mereka akan menemukan kesepian, mungkin di kamar mandi, dalam lemari, atau
bahkan di dalam kubur. Aku tidak pernah membayangkan orang sesibuk presiden,
menteri, dan orang-orang pemerintahan lainnya bisa menemukan sebuah kesepian,
atau ketenangan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar