Cerpen-
Oleh : Hudy Majnun
Sangat
jelas terlihat, awan-awan hitam berbondong-bondong ke arah utara. Bulan
sesekali hilang ditelan awan gelap. Malam itu, gerimis mulai berjatuhan. Ragu rasanya
melangkahkan kaki, menuruti keinginan hati. Takut kalau pada akhirnya harus
terguyur hujan, cuaca yang dingin akan semakin dingin jika terguyur hujan. Namun,
Lufi dan Eri meyakinkannya untuk berangkat, menonton pertunjukan. “angin cukup
kencang, tak mungkin turun hujan” ucap Eri. “bintang-bingtang mulai terlihat
dan semut-semut juga tak terlihat berkeliaran” Lufi menambahkan keyakinannya. Mereka
bertiga berangkat menonton pertunjukan itu.
Sesampainya
di lokasi, ternyata acara sudah berlangsung. Sesi pertama tinggal menit-menit
terahir. Kubu kuning menang tipis. Pertunjukan masih berlangsung seru, sorak
penonton membuat pertunjukan semakin panas. Ada yang menyoraki dengan provokasi
“pukul yang keras. Kenakan kepalanya” ada juga penonton yang memaki “pemain goblok,
keluar saja kau”. Sesekali ia memperhatikan sekeliling. Wajah-wajah itu memang
tak asing, hanya saja ia tak mengenali mereka semuanya. Mereka adalah
orang-orang di kampung Soir, mereka sangat antusias menonton pertunjukan itu.
Pengadil
pertunjukan itu adalah teman akrabnya waktu SMP, ia anak pak Kades. Sebut saja
si Nades “anak kades”. Nades sangat jeli memimpin pertunjukan, tidak ada
pelanggaran yang tidak dia temukan. Sekecil apapun pelanggaran yang dilakukan,
pasti Nades mengetahuinya, lalu dia menghentikan pertunjukan sejenak untuk
memperingati si pelangar. Dia hanya mengingatkan, bukan menghakimi dan si
pelanggar hanya akan mendapat teguran bukan hukuman. Karena ini memang sebuah
permaianan, bukan seperti permaianan pemerintahan. Kalau di pemerintahan, yang
melanggar akan dihukum dan pengadil yang menentukan hukuman. Dalam permainan
ini, pemain tidak bisa menyogok pengadil, mungkin kalau di pemerintahan
pengadil masih bisa menjual keadilannya.
Si Nades memang sangat menguasai pertunjukan
ini. Dulu waktu SMP dia merupakan pemain andalan sekolah, jika ada kejuaraan
seperti itu. Meskipun dia sangat ahli, sekolahnya tidak pernah lolos untuk
pertunjukan selanjutnya. Itu pasti karena patnernya yang lain tak se-ahli dia. Ya...
teman Soir itu memang ahli, tapi ia tak bisa berbuat apa-apa kalau tak ada
teman-teman yang tidak ahli lainnya. Dulu dia sempat mengajari Soir melakukan pertunjukan
seperti itu, tapi ia tak berminat untuk melakukannya. Soir lebih suka melihat
saja, sebagai penonton. Tanpa resiko mendapat cacian dari penonton.
Sebagai
penonton yang baik, ia tidak mengikuti penonton lain yang bersorak dengan cacian
atau pujian itu. Sesekali ia hanya bertukar komentar dengan kedua temannya. Sok
pintar mengomentari jalannya pertunjukan, tapi paling tidak mereka tidak
menggunakan komentar-komentar yang bersifat buruk. Soir sempat dipelototi
penonton yang bersorak dengan cacian. Orang itu melototinya karena Soir
melototinya lebih dulu. Orang itu pikir pandangannya seperti sebuah tantangan, padahal
ia hanya keheranan melihat tingkahnya seperti itu. Maklum saja, mungkin
penonton itu sedang emosi karena pertunjukan itu tak sesuai keinginannya. Soir
mengalah, tak lagi meladeni pelototannya. Pandangannya dialihkan ke penonton
yang lain, yang tidak tau kalau ia sedang memperhatikannya.
Soir
tak lagi fokus melihat pertunjukan, karena baginya perilaku penonton yang
demikian lebih seru dibandingkan dengan pentunjukan di lapangan. Pandangannya
terhenti di dekat stand komentator pertunjukan. Di sana ada seorang wanita yang
sedang memperhatikannya. Wajah wanita itu sepertinya tidak asing. Lama Soir bertukar pandang dari kejauhan dengan
lampu yang sedikit remang. Sedikit demi sedikit ia mulai mengingat wanita itu. Yaa...
wanita itu pernah hidup di masa lalunya. Soir sekarang ingat, yang paling jelas
adalah tatapannya. Ia adalah kekasihnya dulu. Tatapannya masih sama persis
ketika dulu Soir sering menggodanya. Tatapan yang sedikit nakal, aku yakin tak
hanya Soir yang tertarik ketika mendapatkan tatapan itu.
Pertunjukan
pertama usai, semua pemain pertunjukan bersalaman, setelah lebih dari 1 jam
saling serang. Teman Soir yang jadi pengadil digantikan orang lain yang sama
sekali tak dikenal. Aku sedikit ragu dengan kemampuan pengadil asing ini.
Penampilan dan dandanannya pun tidak seperti teman Soir tadi. Tapi yasudahlah,
itu tak berpengaruh apa-apa bagi Soir. Semua pemain pertunjukan inti mulai masuk
lapangan. Soir heran ketika temannya yang jadi pengadil tadi juga ikut menjadi
pemain pertunjukan. Memang sia-sia jika kemampuannya hanya digunakan untuk jadi
pengadil saja. Kemampuannya tidak sebagus dulu, sekarang dia sudah lumayan tua,
tenaganya sedikit berkurang. Tak sekuat dulu, perutnya pun tak se-seksi dulu.
Dia sekarang seperti wanita hamil 4 bulanan, perutnya buncit. Mungkin akibat
makan enak terus, jadi dia lupa diet.
Pertunjakan
inti dimulai. Pikiran soir masih dihantui wanita masa lalu yang kini sesekali
memperhatikannya. “Dari pada penasaran dengan nasibnya sekarang, lebih baik aku
tidak menghampirinya, aku menanyakan ke Lufi saja” perasaan Soir menggugah.
“itu
si Ila ya?”
“yang
mana?”
“ituu,
di dekat stand komentator”
“owhh,
iya. Itu suaminya lagi main”
“hah..#@^%*”
Lufi
menunjuk lurus si Nades. Soir tiba-tiba seperti terkena sengatan listrik,
seperti ada sesuatu yang membuat badannya langsung memanas. Mungkin ia sedikit
cemburu, atau tidak terima, mungkin karena lelaki itu tak pantas untuknya, atau
wanita itu tak pantas untuknya. Lufi mungkin bercanda, karena dia sedikit
mengerti dengan masa lalu Soir dan Ila. Soir dan Ila adalah sepasang kekasih
kontroversi, dulunya. Soir pernah dihakimi ayah Ila, karena ada orang yang
memberitahu kepada ayahnya tentang hubungan mereka. “kalian masih kecil, jadi
tolong jangan main pacar-pacaran dulu” begitu kata ayah Ila. Ayahnya baik,
meskipun Soir bersalah telah mencuri hati anaknya ia tidak marah, tepatnya ia
memberi nasihat. Soir dihakimi ketika ada pengajian bersama ayahnya, di situ ia
disaksikan teman-temannya.
Seandainya si Nades mengerti tentang
masa lalu wanita itu, mungkin ia akan berpikir lagi untuk menikahinya. Apalagi
mengerti kalau ia adalah kekasih Soir, dulunya. Tapi, mungkin Nades dan Ila
sekarang sedang dibuai asmara, hingga muncul perjanjian antara mereka untuk
tidak pernah mengungkit masa lalu. Kupikir Nades juga memiliki masa lalu yang
tak begitu baik juga. Tidak hanya dia, kita semua pasti pernah memiliki masa
lalu yang buruk bukan. Tapi, bukan berarti kita harus mengulanginya. Kalau kita
mengulanginya, berarti kita selalu jatuh dilubang yang sama. Masih banyak
lubang di dunia ini, kau bisa memilihnya sesuka hati sebagai tempat terjatuh. Cinta
memang bisa membutakan semuanya, logikapun bisa lumpuh kalau cinta sudah
dirasa. Semoga itu salah.
Pertunjukan itu berakhir dengan
mengecewakan, lampu mati sebelum pertandingan selesai. Pemenangnya entah yang
mana, kupikir masih seri. Karena sebelum lampu mati masih berjalan babak kedua,
dan mata Ila masih liar. Lampu mati, tatapan itupun hilang ditelan kerumunan.
Suara keluhan pononton terdengar seperti suara balapan motor, saling suang suing. Mereka sama kecewanya
dengan Soir. “panitianya payah, gak niat” suara dari penonton yang ditelan
gelap. Entah pada siapa mereka mengucapkan itu, yang jelas kepada panitia
penyelenggara bukan pada penjual kacang atau penjual yang menumpang rejeki.
Wanita
itu hilang begitu saja, mungkin ia sedang bersama si Nades, berpelukan dalam
gelap, karena wanita itu takut gelap, Soir sangat mengerti itu. Sebab, dulu Soir dan wanita itu pernah berada
dalam gelap, dan ia memeluk erat tubuh
Soir. “aku takut gelap” kata wanita itu. Soir membalas pelukan itu, semakin
lama semakin erat, lama-lama pelukan itu bukan saja pelukan ketakutan, tapi
pelukan penuh hasrat. Aku tidak tau apa yang terjadi setelah itu, yang jelas
mereka bebas melakukan apapun di tempat yang hanya ada mereka berdua.
Dalam
sekejap tempat itu menjadi sepi, tidak ada lagi sorakan ataupun cacian dari
penonton. Hanya tersisa nyala lampu dari penjual kacang dan penjual kopi yang
berharap lampu menyala lagi, agar rupiah bisa mereka kumpulkan. Namun sayang,
penonton sudah tidak ada lagi, mereka pun berkemas dengan kekecawaan yang lebih
mendalam daripada para penonton. Penjual itu bukan mengaharapkan suatu hiburan,
melainkan mengharap rupiah dari hiburan itu. Dengan muka yang sedikit murung
penjual itu pergi, tanpa keluhan dari mulut mereka. Tapi keluhan itu
benar-benar terlihat jelas di wajah mereka, wajah mereka bisa berbicara.
Mungkin seperti ini “rupiahku lenyap ditelan gelap”.
Pertunjukan
tidak berujung, semuanya selesai tanpa tau bagaimana akhirnya. Itu seperti
cerita yang mengambang. Berakhir sebelum titik akhir, selesai sebelum usai.
Sama seperti tatapan mata wanita itu, hilang sebelum kumengerti arti
tatapannya. Memang tatapan itu sudah pernah Soir rasakan, itu sudah lama
sekali. Dan hubungan Soir dengan wanita itu belum sepenuhnya berakhir. Mereka
tidak pernah mengakhiri hubungan mereka secara resmi. Mereka hanya hidup
masing-masing dan di tempat masing-masing. Soir memang tidak mengharapkan
wanita itu lagi, tapi bagaimana dengan kesepakan yang pernah mereka buat dulu. Siapakah
yang saat ini mengingkari.
Tapi,
kupikir wanita itu sudah lupa dengan kesepakatan mereka dulu. Itu memang sudah
terjadi sekitar 5 tahun yang lalu. Setelah itu tidak ada lagi komunikasi
diantara mereka. Mungkin saja wanita itu bosan menunggu Soir, hingga dia
menerima lelaki lain. Atau Soir sendiri sudah tidak peduli dengan wanita itu,
hingga dia merelakan wanita itu untuk orang lain. Sekarang semuanya sudah
terjadi, wanita itu telah menjadi milik temannya sendiri. Jadi, sisa rasa yang
mereka miliki tidak perlu dihiraukan lagi.
Sekarang
wanita itu sudah banyak berubah, dandanannya pun sudah seperti wanita dewasa,
tepatnya seperti ibu rumah tangga. Soir memang sedikit pangling dengan
wajahnya, tapi tidak dengan tatapannya. Tatapan tajam dan liar. Soir pergi
keluar kota seminggu setelah ia dihakimi oleh ayahnya, dan mulai saat itu Soir
tidak pernah bertemu lagi dengannya. Dan waktu itu belum ada kesepakatan antara
Soir dan Ila untuk mengakhiri hubungan mereka. Jadi mereka berpisah begitu saja
dan kupikir hubungan mereka tetap menjadi sepasang kekasih, karena belum ada
kesepakatan untuk mengakhiri. Tapi, kini kekasih itu telah menjadi istri orang
lain. Mau tidak mau Soir harus menerima kenyataan itu. Kekasihnya adalah istri
temannya. Hubungan suami istri lebih kuat dari pada hubungan Soir dan wanita
itu.
Pernikahan
itu dilindungi hukum dan agama, jadi tak bisa diakhiri begitu saja. Berbeda
dengan hubungan cinta monyet yang dialami Soir, mereka hanya terikat oleh rasa
dan perjanjian biasa. Itu dapat berakhir dan diakhiri kapan saja dia mau. Tapi
kau tau, Tuhan dan hamba tidak pernah mempunyai hubungan formal seperti suami
istri. Tetapi seorang hamba yang sangat cinta kepada Tuhannya tidak bisa
dipisahkan oleh apapun. Itu memang sangat berbeda, Tuhan bukan manusia, dan
manusia bukan Tuhan. Tapi ada kata-kata seperti ini “Tuhan ada dimana-mana”,
mungkin saja di dalam tubuh Soir atau Ila, atau di dalam dirimu. Itu hanya
perkiraanku saja, dan ini belum tentu benar.
Soir
dan 2 temanya pulang sebelum pertunjukan belum benar-benar berakhir. Pikiran
tentang wanita itu seperti hantu penasaran. Dalam perjalanan pulang awan hitam
sudah tidak terlihat lagi, bulan sudah muncul dengan sempurna, tanpa dihantui
awan-awan. Berikut nasib wanita dan hubungan itu, sudah bukan menjadi rahasia
lagi. Kini nasibnya sudah pasti dengan lelaki itu, dan kupikir nasib hubungan
cinta monyet Soir sudah jelas. Berakhir. “selamat kekasih lamaku” dalam hati
Soir.*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar