[sebuah cerpen]
Mimpi dari Blambangan
Mimpi dari Blambangan
Oleh : Hudy Majnun
Minggu, 25 Oktober 1999, 14.45
Sekilas tanggal di atas seperti
sebuah jadwal pemberangkatan kereta pada sebuah stasiun. Ya, memang benar, itu
adalah jadwal pemberangkatan sebuah kereta. Kereta terakhir yang harus Soir nikmati
sebuah kepergiannya atau sebuah kepulangan. Kereta terakhir yang harus membuatnya
melambaikan tangan, kereta terakhir tanpa salam seperti biasanya, kereta yang
di dalamnya adalah seorang yang dianggap kekasih oleh Soir. Di kereta itu ada
seorang perempuan bernama Medi, seorang sarjana muda. Ia adalah kekasih Soir,
seorang mahasiswa di ujung barat. Mahasiswa semester tua yang hampir
gelap.
Beberapa jam sebelum keberangkatan
kereta “pandanwangi” ada cerita yang menceritakan banyak cerita yang berlalu,
yang menceritakan banyak skenario Tuhan yang berlalu, Soir bilang itu takdir. Karena
sebelum dua sejoli ini bertemu pada hari itu, mereka telah banyak berdebat
mengenai apa itu Takdir. Bahkan pada akhirnya Medi pun marah karena mendengar
pendapat Soir yang terkesan egois dan menjengkelkan. “kita harus melawan takdir tuhan”, kata Soir, tapi Medi bilang “takdir
tuhan tidak bisa berubah, kita hanya bisa berusaha tapi Tuhan yang menentukan”.
Persepsi yang sedikit rumit, tapi itu seperti sebuah perlawanan terhadap takdir,
adalah usaha untuk merubah nasib/hidup, dan Soir pikir itu termasuk dalam
takdir Tuhan. Diakhir pembicaraan adalah kesimpulan yang tak berkesudahan, Medi
pun marah, atau mungkin mereka marahan. Perdebatan yang mereka lakukan adalah
sama-sama tidak mempunyai dasar yang kuat, Medi dengan pengetahuan agamanya
yang biasa-biasa saja menggunakan agama sebagai pedoman berdebat, sedang Soir
tak berpedoman apa, ia menempatkan dirinya sebagai suatu yang netral, terus
bertanya semakin dalam dan disana ditemukan ketiadaan.
Malam minggu Medi memberanikan diri
untuk datang ke kota tempat Soir tinggal, Medi bilang akan memberi kejutan.
Tapi sungguh sayang Soir tak mengharapkannya datang waktu itu, karena banyak
tanggungjawab yang harus Soir selesaikan. “kupikir
kamu senang aku ke Binong” dalam pesan yang dikirim Medi melalu medsos. Soir
terpaksa berbohong, agar tak meninggalkan tanggungjawabnya dan tak mengecewakan
Medi. Dalam hati Soir bermaksud bahwa kebohongan itu adalah satu-satunya cara
agar hubungan mereka masih baik. Tapi kemungkinan lain Medi akan tambah sakit
hati atau kecewa dengan hal demikian. Memang pada waktu itu Soir sedang sibuk
dengan berbagai tanggungjawab yang ia pikul, maklum Soir adalah salah satu
mahasiswa yang aktif dalam sebuah ormawa. Kemungkinan juga bahwa Soir adalah
lelaki yang sangat tega, entah menurutmu seperti apa dan bagaimana.
Medi tetap berangkat ke Binong,
dari blambangan ia naik kereta. Sekitar
pukul setengah 11 malam ia sampai di Binong, tanpa dijemput oleh Soir, Medi
bermalam di tempat teman wannitanya. Teman saat masih kuliah. Dulunya Medi
kuliah di salah satu universitas besar di Binong, namanya UBI. Soir pun kuliah
di universitas yang sama, namun beda fakultas. Tak perlu kujelaskan mereka
fakultas apa, jurusan apa, mata kuliahnya apa, atau nilai mereka bagaimana
karena itu tak terlalu berpengaruh terhadap kisah ini. Maksud Medi datang ke
Binong hanya untuk menyampaikan sebuah perasaan. Medi ingin berbicara mengenai
hubungan mereka yang semakin tak pasti menurut Medi. Lagi-lagi, mereka juga
sering berdebat mengenai apa itu sebuah hubungan “pacaran”, mereka memiliki
persepsi yang berbeda mengenai hubungan. Hubungan menurut Soir, hanya masalah
komitmen, dan tak perlu komunikasi yang berlebihan. Soir lebih suka kalau hubungan
itu adalah milik berdua dan jadi rahasia berdua, karena Soir pikir hubungan
pertemanan biasa dengan pacaran tidak mempunyai batas yang jelas. Orang
berteman bisa saja seperti orang pacaran kalau mereka saling suka, sebaliknya
orang pacaran bisa seperti orang berteman, bisa seperti musuh kalau sudah
saling marah. Semuanya bergantung pada perasaan dan komitmen mereka terhadap
perasaan masing-masing. Bagi Soir kehidupan sepasang kekasih masih mempunyai
rahasia masing-masing “mandiri”, artinya tak harus semua masalah dalam hidup
mereka harus saling tahu. Berbeda dengan Medi, hubungan dalam persepsinya harus
selalu komunikasi, baik pesan tulis ataupun suara. Baginya pacar adalah tempat
mengadu, tempat berbagi dalam segala masalah, dan sebagainya. Itu seperti
pacaran yang dirasakan Soir saat masih sekolah. Tidak jarang juga Medi marah
hanya gara-gara Soir tak mau memasang foto Medi pada sebuah akun medsos yang
dimiliki Soir. Masalah sepele yang tak patut menjadi masalah.
*
Malam pun berlalu, hanya sedikit gelap
yang dinikmati Soir dengan bermimpi, karena sampai larut malam ia berdiskusi
dengan teman-temannya. Matahari sungguh menyilaukan, dengan kesadaran yang tak
100%, pagi-pagi Soir menjemput Medi untuk membicarakan misi yang ia bawa dari
tanah blambangan. Mereka sepakat untuk berbicara dalam ruang tanpa skat, dan
mereka bebas untuk sedekat apa dan berbuat apa. Namun, yang terasa di hati mereka
tak mendukung untuk sebuah kedekatan yang dibayangkan. Pembicaraan berlangung
begitu lama dalam hitungan waktu, namun begitu sebentar dengan hitungan rasa.
Tak sedikit air mata yang tercurah, tak sedikit gelisah yang membuat Soir
gerah. Soir tetap tenang dengan diam tanpa rasa, dan Soir tak tega mengatakan
mengapa ia demikian. Medi banyak menceritakan bagaimana agar hubungan mereka
tetap baik dan tak memakan hati masing-masing. Selama ini hubungan mereka
memang indah di awal, namun pada akhirnya, entah karena apa, rasa yang dulu
muncul tiba-tiba kini perlahan menghilang sia-sia. Mungkin karena jalan pikiran
yang berbeda, mungkin juga karena mereka sering berdebat dan tak ada yang mau
mengalah, kemungkinan lain salah satu dari mereka sudah bosa, kemungkinan kecil
mereka telah saling berkhianat dan telah menemukan orang lain yang baru atau
orang dari masa lalu. Semua kemungkinan masih bisa menjadi mungkin, walau
peluangnya untuk terjadi sangat kecil. Tapi, dalam kehidupan kemungkinan yang
kecil bisa mengubah banyak hal.
Soir dan Medi baru bertemu sekitar
3 bulan yang lalu, pertemuan mereka memang tak dapat dilupakan. Pertemuan yang
konyol, tapi mengesankan. Kesempatan mereka untuk menjalin hubungan pacaranpun
terjadi setelah 2 hari mereka lewati bersama, menyusuri kota-kota,
gunung-gunung, dan jalan berselimut hujan. Di awal mereka menyepakati hubungan,
sudah harus ada air mata. Medi menangis karena Soir membuatnya kecewa. Pada
waktu itu, Medi bersikeras untuk pulang, padahal itu dini hari, sekitar jam 2
malam. Soir membujuk dan merayu agar Medi lebih sabar dan tenang dulu, dan itu
berhasil, Medi mau untuk pulang keesokan harinya dengan perasaan bahagia walau
ada air mata. Mereka istirahat disebuah gubuk yang ditinggalkan penghuninya.
Penghuninya masih menikmati musim libur panjang hari raya idul fitri. Soir
memutuskan untuk istirahat digubuk itu, karena Soir adalah salah satu penghuni
gubuk itu, sebuah gubuk dibawah rimbun pepohonan. Gubuk yang biasa Soir gunakan
sebagai tempat berkumpul dengan teman-temannya, sekaligus tempat berdiskusi.
Hubungan Soir dan Medi terjadi
dengan sangat singkat, tapi dari awal mereka berkenalan di medsos, sudah mulai
tumbuh benih-benih rasa saling menyukai. Akhirnya mereka sepakat untuk
melakukan pertmuan dengan berpetualang bersama. Di situ benih-benih rasa mereka
semakin tumbuh lalu terjadi kesepakatan. Tapi ada kemungkinan kecil, yaitu
benih-benih rasa mereka mati atau hilang, karena pertemuan yang berlangsung
cukup lama banyak mengundang nafsu, dan mungkin karena nafsu itulah mereka
menjalin hubungan. Entahlah. Aku tidak bisa memprediski atau menentukan
kemungkinan mana yang benar-benar terjadi. Atau kita bebas menggunakan
kemungkinan mana saja sebagai alur cerita yang kita sukai.
**
Tidak terasa waktu sudah
menunjukkan hampir jam 2 siang, berarti pemberangkatan kereta Medi tinggal
beberapa menit lagi. Soir kemudian mengantar Medi ke stasiun. Sebelum kereta
terakhir berangkat, mereka menyimpulkan pembicaraan pada satu kesepakatan baru.
Mereka mengakhiri hubungan yang disepakati. Soir dan Medi tak perlu saling
mencari tahu lagi, mungkin Soir juga tak perlu merindunya lagi. Kini mereka
bisa hidup lebih masing-masing, daripada masing-masing yang sebelumnya, lebih
mandiri dari mandiri yang sebelumnya.
Ada hal aneh yang Medi lakukan
ketika kepergiannya diambang pintu, Medi membuka handphone Soir, lalu menemukan
pesan dari seorang teman wanita Soir. Medi pun marah. Soir mengerti kemarahannya
adalah kecemburuan atau karena prasangka buruk tentang perilaku Soir. Padahal
dalam pesan itu hanya percakapan biasa, hanya berupa ucapan selamat tidur,
untuk teman wanita Soir dan dari teman wanita Soir. Wanita itu bernama Lala. Dalam
hati Soir berkata “Itu memang teman
wanitaku yang dulu sempat spesial di hatiku, dan sempat menjadi cerita penting
dalam hidupku, dan wanita itu adalah sebuah rasa yang selalu menemani dan tak pernah
pergi, walau aku tak tau dalam hati yang mana. Mungkin hati yang paling dalam”.
Kesimpulannya, wanita dalam hp itu memang pantas dicemburui, meski tak ada
hubungan apa-apa dengan Soir, ia adalah pendamping dalam hidup Soir yang
sebenarnya, penolongnya saat dalam lelap keduniawian. “maafkan sayang, itu adalah hal yang tak pernah aku ceritakan kepada siapapun
pendampingku di dunia. Karena ceritakupun takkan masuk dalam akal sehat. Sebab
itu adalah sebuah kegilaan” dalam hati Soir.
Semua berlalu, Soir mengantar Medi
ke stasiun kereta, tempat Medi biasa melambaikan senyuman terakhir untuk Soir.
Sebelum-sebelumnya Soir merasa binasa dengan suara klakson kereta, bertanda
mereka akan ada dalam ruang yang berbeda. Tapi setelah terjadi kesepakatan
untuk memutus hubungan pacaran mereka, suara klakson kereta seperti sebuah
trompet perayaan tahun baru, dalam hati Soir senang, meski dia tak bisa
mengekspresikannya dengan tawa ataupun dengan apapun indra yang ia miliki, itu
karena Soir sedang lemas, akibat kurang tidur. Dalam perjalanan, Medi hanya
diam, mungkin sedang memendam rasa sakit, akibat pesan dari teman wanita Soir,
atau mungkin rasa ingin cepat pergi, karena tak tahan bersama Soir, atau karena
ada seseorang yang entah siapa sedang menunggunya di tanah Blambangan, semuanya
adalah kemungkinan yang tidak dapat dipungkiri.
Hari itu Soir seperti “innocent” tanpa ekspresi dengan apapun
yang terjadi, bahagia atau duka, mukanya tetap datar. Di dalam kereta terakhir
tak ia temui Medi duduk dimana, biasanya Medi berada di jendela samping kanan,
agar bisa melihat Soir pada batas kaca jendela yang remang-remang. Soir terus
menempelkan muka pada kaca jendela ruang tunggu, satu-satunya tempat agar bisa
melihat keberangkatan kereta. Soir tak peduli terlihat konyol, dengan tatapan
penuh tanya, dengan tatapan yang mencari, mencari Medi yang dibalik jendela
berkaca hitam. Orang-orang di stasiun banyak yang memperhatikan Soir, karena
tingkah Soir seperti orang gila, termenung dengan wajah menepel kaca, dan
dengan tatapan kosong. Tapi Soir merasa bahwa dirinya sedang sendiri, ia tak
mengerti apa atau siapa yang sedang terjadi di sekitarnya. Soir merasa bingung, haruskah ia hancur hati
? sedang kepergian Medi adalah takdir yang ia harapkan.
Perilaku Soir saat menyaksikan
keberangkatan kereta bermaksud hanya agar Medi tak terlalu buruk memikirkan
tentang Soir, agar Medi berpikir bahwa Soir merasa sangat kehilangan. Itu saja.
Dilain sisi, Soir seperti benar-benar merasa kehilangan dan hancur, mungkin itu
terjadi karena Soir adalah aktor yang pandai memainkan segala peran. Kereta
berlalu, Soir pun beranjak pergi meninggalkan stasiun. Sampai di tempat
kostnya, Soir langsung tertidur tanpa mengubah apapun yang dipakainya. Blak ! Soir menjatuhkan diri pada kasur
yang tergeletak di lantai kamarnya. Seketika Soir tertidur, dalam mata yang
terpejam ia mulai mengerti, bahwa semua yang terjadi seperti mimpi, atau
mungkin itu memang mimpi yang benar-benar ia lalui. Dan ketika Soir terbangun
dan membuka mata, ia seperti kembali bermimpi. Entahlah, hidup yang sebenarnya
apakah saat ia membuka mata atau saat ia membuka mata. Dalam benak Soir
bertanya “apa yang sebenarnya aku lihat
saat tertidur, dandengan apa aku melihat, sedang mataku terpejam?”, tak tau
pertanyaan itu ditujukan kepada siapa. Dilain sisi, Medi benar-benar telah
menangis sambil menikmati pemandangan dari jendela kereta. Medi menganggap
semua yang terjadi hari itu adalah kenyataan yang entah masuk dalam takdir
Tuhan atau tidak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar